Jakarta (ANTARA) - Hak untuk bertempat tinggal merupakan amanat yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, di mana setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Hal senada juga disampaikan oleh Proklamator Kemerdekaan, sekaligus Wakil Presiden Pertama RI Bung Hatta, yakni membangun rumah rakyat yang menjamin kesehatan dan kesenangan yang diam di dalamnya dan murah harganya. Itulah masalah yang harus dipecahkan.
Dengan demikian negara harus menjamin setiap rakyat di Bumi Pertiwi untuk mendapatkan rumah yang layak huni dan terjangkau, sebagai salah satu kebutuhan primer. Dalam hal ini, negara harus melindungi dan menyediakan akses bagi seluruh penduduk terhadap sistem pembiayaan perumahan yang disertai dengan berbagai kemudahan untuk pembangunan dan perolehan rumah, salah satunya melalui kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan perumahan, berupa skema pembiayaan, penjaminan atau asuransi, dan/atau dana murah jangka panjang.
Peranan negara tersebut sangat krusial mengingat kebutuhan masyarakat terhadap hunian sangat tinggi. Hal ini terlihat dari angka backlog kepemilikan rumah yang mencapai 9,9 juta orang dan ditambah lagi 26 juta orang menempati rumah tidak layak huni.
Angka backlog tersebut bukannya tidak teratasi, namun dikarenakan ketiadaan lembaga atau platform untuk mengatasinya. Sebagaimana diketahui bersama, satu-satunya cara masyarakat untuk mendapatkan rumah hanya melalui Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). Karakteristik KPR perbankan komersial saat ini yang memiliki suku bunga tinggi berdasarkan mekanisme pasar, dan prosedur kompleks membuat banyak masyarakat Indonesia sangat kesulitan untuk mendapatkan hunian layak.
Faktor lainnya adalah kecenderungan masyarakat kelas atas yang lebih suka membeli hunian sebagai investasi, bukan untuk dihuni, membuat harga perumahan semakin tinggi dan sulit dijangkau publik.
Dalam rangka menghadapi tantangan-tantangan tersebut, maka negara harus membentuk sebuah lembaga atau kebijakan untuk membantu masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan warga kurang mampu, melalui program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Bagaimana peranan strategis Tapera untuk mewujudkan perumahan terjangkau dan layak huni bagi seluruh masyarakat Indonesia?
Bantuan terjangkau
Salah satu peranan krusial yang dijalankan oleh Tapera adalah menghadirkan skema bantuan pembiayaan perumahan yang terjangkau dan dapat dinikmati oleh semua kelas sosial di masyarakat.
Di Tapera sendiri terdapat tiga manfaat yang dapat membantu masyarakat dalam sektor perumahan.
Pertama, KPR untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam memiliki hunian pertama.
KPR Tapera sendiri memiliki keunggulan berupa suku bunga tetap sebesar 5 persen, dengan tenor cicilan hingga 30 tahun. Pada umumnya masyarakat dalam upayanya memiliki hunian pertama sangat terbebani oleh suku bunga KPR komersial pada umumnya yang ditentukan oleh mekanisme pasar atau kalaupun bersifat tetap, angkanya sangat tinggi. Ditambah lagi tenor cicilan KPR komersial jarang pernah sampai 30 tahun. Kalaupun ada, maka bunga yang dibebankan kepada nasabah sangat tinggi.
Berbeda halnya dengan KPR Tapera. Melalui KPR ini, maka MBR bisa memiliki waktu lebih banyak untuk membayar cicilan dan mampu menyusun rencana jangka panjang dengan penuh kepastian, karena suku bunga tetap dan tenor cicilan yang panjang dari Tapera.
Sebagai komparasi, jika masyarakat ingin memiliki rumah tapak, dengan misalnya harga Rp175 juta, maka bisa disimulasikan dengan menggunakan KPR komersial bank atau lembaga keuangan lainnya, dengan suku bunga 11 persen (floating rates) dan tenor 20 tahun, maka masyarakat harus membayar cicilan sebesar Rp1,78 juta setiap bulan.
Semantara jika menggunakan KPR Tapera, dengan suku bunga 5 persen (fixed rates) dan tenor 20 tahun, maka bisa disimulasikan bahwa masyarakat yang ingin memiliki rumah tapak seharga Rp175 juta itu, cukup membayar cicilan sebesar Rp1,26 juta per bulan.
Simulasi lainnya sebagai komparasi KPR Tapera dan KPR komersial dalam kepemilikan rumah susun seharga Rp300 juta, jika mengambil KPR komersial dengan suku bunga 11 persen (floating rates) dan tenor 20 tahun, maka masyarakat harus membayar cicilan sebesar Rp3,06 juta per bulan. Jika menggunakan KPR Tapera dengan bunga 5 persen (fixed rates) dan tenor 20 tahun, maka masyarakat hanya membayar cicilan Rp2,1 juta setiap bulan.
Tidak hanya terbantu dalam pembayaran cicilan. Masyarakat yang menjadi peserta Tapera dan mengambil KPR Tapera juga tidak perlu membayar uang muka atau down payment (DP) seperti KPR komersial pada umumnya, karena peserta Tapera sudah memiliki tabungan Tapera.
Keunggulan lainnya dari Tapera adalah adanya fasilitas Kredit Bangun Rumah (KBR) dan Kredit Renovasi Rumah (KRR). KBR dapat digunakan oleh masyarakat yang menjadi peserta Tapera untuk membangun rumah dari awal di lahan yang telah mereka miliki. Kredit ini tentunya memberikan kemudahan bagi masyarakat yang sebelumnya memiliki properti lahan kosong, baik berstatus warisan maupun kepemilikan sendiri, namun terkendala dalam pembiayaan untuk pembangunan hunian.
Sementara KRR merupakan fasilitas bantuan kepada masyarakat yang ingin merenovasi rumah. Pada umumnya segmen masyarakat yang ingin merenovasi rumah merupakan masyarakat Desil 1 dan 2 (kurang mampu) yang tentunya dapat dikategorikan sebagai masyarakat unbankable. Hal ini tentunya dapat menciptakan lingkungan rumah yang kurang sehat akibat tidak layak huni dan berisiko menimbulkan stunting pada anak-anak.
Melalui KRR Tapera, masyarakat kurang mampu dapat merenovasi huniannya menjadi rumah layak huni, sehingga menciptakan lingkungan rumah yang sehat dan mencegah terjadinya stunting kepada anak-anak.
Keadilan sosial
Program pemanfaatan KPR, KBR dan KRR pada program Tapera tersebut tentunya bersumber dari tabungan yang disimpan oleh para peserta yang bersifat gotong royong.
Sifat gotong royong Tapera memiliki sejumlah manfaat dalam membantu MBR dan masyarakat kurang mampu untuk memiliki rumah layak huni.
Pertama, kepesertaan Tapera dapat mengendalikan KPR harga rumah yang selama ini sangat tinggi. Dengan KPR Tapera sebagai pengimbang KPR komersil, maka diharapkan suku bunga KPR komersial dapat turun secara bertahap, sehingga turut membantu MBR bisa memiliki hunian.
Manfaat kedua dari skema gotong royong kepesertaan tabungan Tapera adalah kanalisasi investasi. Sebelum Tapera hadir, banyak sekali masyarakat golongan berpendapatan di atas UMR atau dua-tiga digit, kalangan atas dan bahkan elite, cenderung mengalokasikan investasinya pada sektor hunian, seperti apartemen dan rumah tapak. Sayangnya investasi yang dialokasikan mereka terhadap sektor hunian pada akhirnya membuat harga pasar perumahan menjadi tinggi, sehingga investasi hunian tersebut tidak terhuni akibat harga sewa yang juga ikut terkerek tingginya harga pasar perumahan.
Melalui kepesertaan Tapera, maka masyarakat yang dikategorikan sangat mampu dan beruntung tersebut dapat menjadi peserta Tapera dengan memiliki tabungan di dalamnya dan bisa dianggap berinvestasi, karena dana tabungan Tapera dilakukan pemupukan yang kemudian untuk membantu pemerintah dalam membangun perumahan yang terjangkau dan layak huni bagi masyarakat berpendapatan rendah serta kurang mampu.
Tentunya tabungan Tapera dan hasil pemupukannya dapat diambil oleh masyarakat ketika kepesertaan mereka berakhir.
Dengan demikian jika pemerintah berhasil menghadirkan pembangunan perumahan terjangkau dan layak huni bagi masyarakat, maka sangat mungkin dapat menekan harga pasar perumahan secara bertahap.
Adapun besaran tabungan Tapera sebesar 3 persen merupakan angka yang cukup rendah jika dibandingkan dengan negara-negara yang menerapkan program sama seperti Tapera, yakni Singapura sebesar 20 persen, Malaysia 11 persen, Brazil 10 persen, Meksiko 5 persen, dan China 20 persen.
Kehadiran Tapera dari pemerintah pada intinya memiliki tujuan untuk mewujudkan semua lapisan masyarakat dapat memiliki rumah layak huni sesuai amanah UUD 1945 dan pesan Bung Hatta, sehingga Tapera merupakan bentuk kepedulian pemerintah untuk menjalankan sila kelima Pancasila, yakni Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal senada juga disampaikan oleh Proklamator Kemerdekaan, sekaligus Wakil Presiden Pertama RI Bung Hatta, yakni membangun rumah rakyat yang menjamin kesehatan dan kesenangan yang diam di dalamnya dan murah harganya. Itulah masalah yang harus dipecahkan.
Dengan demikian negara harus menjamin setiap rakyat di Bumi Pertiwi untuk mendapatkan rumah yang layak huni dan terjangkau, sebagai salah satu kebutuhan primer. Dalam hal ini, negara harus melindungi dan menyediakan akses bagi seluruh penduduk terhadap sistem pembiayaan perumahan yang disertai dengan berbagai kemudahan untuk pembangunan dan perolehan rumah, salah satunya melalui kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan perumahan, berupa skema pembiayaan, penjaminan atau asuransi, dan/atau dana murah jangka panjang.
Peranan negara tersebut sangat krusial mengingat kebutuhan masyarakat terhadap hunian sangat tinggi. Hal ini terlihat dari angka backlog kepemilikan rumah yang mencapai 9,9 juta orang dan ditambah lagi 26 juta orang menempati rumah tidak layak huni.
Angka backlog tersebut bukannya tidak teratasi, namun dikarenakan ketiadaan lembaga atau platform untuk mengatasinya. Sebagaimana diketahui bersama, satu-satunya cara masyarakat untuk mendapatkan rumah hanya melalui Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). Karakteristik KPR perbankan komersial saat ini yang memiliki suku bunga tinggi berdasarkan mekanisme pasar, dan prosedur kompleks membuat banyak masyarakat Indonesia sangat kesulitan untuk mendapatkan hunian layak.
Faktor lainnya adalah kecenderungan masyarakat kelas atas yang lebih suka membeli hunian sebagai investasi, bukan untuk dihuni, membuat harga perumahan semakin tinggi dan sulit dijangkau publik.
Dalam rangka menghadapi tantangan-tantangan tersebut, maka negara harus membentuk sebuah lembaga atau kebijakan untuk membantu masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan warga kurang mampu, melalui program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Bagaimana peranan strategis Tapera untuk mewujudkan perumahan terjangkau dan layak huni bagi seluruh masyarakat Indonesia?
Bantuan terjangkau
Salah satu peranan krusial yang dijalankan oleh Tapera adalah menghadirkan skema bantuan pembiayaan perumahan yang terjangkau dan dapat dinikmati oleh semua kelas sosial di masyarakat.
Di Tapera sendiri terdapat tiga manfaat yang dapat membantu masyarakat dalam sektor perumahan.
Pertama, KPR untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam memiliki hunian pertama.
KPR Tapera sendiri memiliki keunggulan berupa suku bunga tetap sebesar 5 persen, dengan tenor cicilan hingga 30 tahun. Pada umumnya masyarakat dalam upayanya memiliki hunian pertama sangat terbebani oleh suku bunga KPR komersial pada umumnya yang ditentukan oleh mekanisme pasar atau kalaupun bersifat tetap, angkanya sangat tinggi. Ditambah lagi tenor cicilan KPR komersial jarang pernah sampai 30 tahun. Kalaupun ada, maka bunga yang dibebankan kepada nasabah sangat tinggi.
Berbeda halnya dengan KPR Tapera. Melalui KPR ini, maka MBR bisa memiliki waktu lebih banyak untuk membayar cicilan dan mampu menyusun rencana jangka panjang dengan penuh kepastian, karena suku bunga tetap dan tenor cicilan yang panjang dari Tapera.
Sebagai komparasi, jika masyarakat ingin memiliki rumah tapak, dengan misalnya harga Rp175 juta, maka bisa disimulasikan dengan menggunakan KPR komersial bank atau lembaga keuangan lainnya, dengan suku bunga 11 persen (floating rates) dan tenor 20 tahun, maka masyarakat harus membayar cicilan sebesar Rp1,78 juta setiap bulan.
Semantara jika menggunakan KPR Tapera, dengan suku bunga 5 persen (fixed rates) dan tenor 20 tahun, maka bisa disimulasikan bahwa masyarakat yang ingin memiliki rumah tapak seharga Rp175 juta itu, cukup membayar cicilan sebesar Rp1,26 juta per bulan.
Simulasi lainnya sebagai komparasi KPR Tapera dan KPR komersial dalam kepemilikan rumah susun seharga Rp300 juta, jika mengambil KPR komersial dengan suku bunga 11 persen (floating rates) dan tenor 20 tahun, maka masyarakat harus membayar cicilan sebesar Rp3,06 juta per bulan. Jika menggunakan KPR Tapera dengan bunga 5 persen (fixed rates) dan tenor 20 tahun, maka masyarakat hanya membayar cicilan Rp2,1 juta setiap bulan.
Tidak hanya terbantu dalam pembayaran cicilan. Masyarakat yang menjadi peserta Tapera dan mengambil KPR Tapera juga tidak perlu membayar uang muka atau down payment (DP) seperti KPR komersial pada umumnya, karena peserta Tapera sudah memiliki tabungan Tapera.
Keunggulan lainnya dari Tapera adalah adanya fasilitas Kredit Bangun Rumah (KBR) dan Kredit Renovasi Rumah (KRR). KBR dapat digunakan oleh masyarakat yang menjadi peserta Tapera untuk membangun rumah dari awal di lahan yang telah mereka miliki. Kredit ini tentunya memberikan kemudahan bagi masyarakat yang sebelumnya memiliki properti lahan kosong, baik berstatus warisan maupun kepemilikan sendiri, namun terkendala dalam pembiayaan untuk pembangunan hunian.
Sementara KRR merupakan fasilitas bantuan kepada masyarakat yang ingin merenovasi rumah. Pada umumnya segmen masyarakat yang ingin merenovasi rumah merupakan masyarakat Desil 1 dan 2 (kurang mampu) yang tentunya dapat dikategorikan sebagai masyarakat unbankable. Hal ini tentunya dapat menciptakan lingkungan rumah yang kurang sehat akibat tidak layak huni dan berisiko menimbulkan stunting pada anak-anak.
Melalui KRR Tapera, masyarakat kurang mampu dapat merenovasi huniannya menjadi rumah layak huni, sehingga menciptakan lingkungan rumah yang sehat dan mencegah terjadinya stunting kepada anak-anak.
Keadilan sosial
Program pemanfaatan KPR, KBR dan KRR pada program Tapera tersebut tentunya bersumber dari tabungan yang disimpan oleh para peserta yang bersifat gotong royong.
Sifat gotong royong Tapera memiliki sejumlah manfaat dalam membantu MBR dan masyarakat kurang mampu untuk memiliki rumah layak huni.
Pertama, kepesertaan Tapera dapat mengendalikan KPR harga rumah yang selama ini sangat tinggi. Dengan KPR Tapera sebagai pengimbang KPR komersil, maka diharapkan suku bunga KPR komersial dapat turun secara bertahap, sehingga turut membantu MBR bisa memiliki hunian.
Manfaat kedua dari skema gotong royong kepesertaan tabungan Tapera adalah kanalisasi investasi. Sebelum Tapera hadir, banyak sekali masyarakat golongan berpendapatan di atas UMR atau dua-tiga digit, kalangan atas dan bahkan elite, cenderung mengalokasikan investasinya pada sektor hunian, seperti apartemen dan rumah tapak. Sayangnya investasi yang dialokasikan mereka terhadap sektor hunian pada akhirnya membuat harga pasar perumahan menjadi tinggi, sehingga investasi hunian tersebut tidak terhuni akibat harga sewa yang juga ikut terkerek tingginya harga pasar perumahan.
Melalui kepesertaan Tapera, maka masyarakat yang dikategorikan sangat mampu dan beruntung tersebut dapat menjadi peserta Tapera dengan memiliki tabungan di dalamnya dan bisa dianggap berinvestasi, karena dana tabungan Tapera dilakukan pemupukan yang kemudian untuk membantu pemerintah dalam membangun perumahan yang terjangkau dan layak huni bagi masyarakat berpendapatan rendah serta kurang mampu.
Tentunya tabungan Tapera dan hasil pemupukannya dapat diambil oleh masyarakat ketika kepesertaan mereka berakhir.
Dengan demikian jika pemerintah berhasil menghadirkan pembangunan perumahan terjangkau dan layak huni bagi masyarakat, maka sangat mungkin dapat menekan harga pasar perumahan secara bertahap.
Adapun besaran tabungan Tapera sebesar 3 persen merupakan angka yang cukup rendah jika dibandingkan dengan negara-negara yang menerapkan program sama seperti Tapera, yakni Singapura sebesar 20 persen, Malaysia 11 persen, Brazil 10 persen, Meksiko 5 persen, dan China 20 persen.
Kehadiran Tapera dari pemerintah pada intinya memiliki tujuan untuk mewujudkan semua lapisan masyarakat dapat memiliki rumah layak huni sesuai amanah UUD 1945 dan pesan Bung Hatta, sehingga Tapera merupakan bentuk kepedulian pemerintah untuk menjalankan sila kelima Pancasila, yakni Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.