Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari sejumlah universitas bidang vokasi Indonesia optimistis bangsa ini mampu menjadi pusat studi kebencanaan global sebelum berusia seratus tahun atau usia emasnya pada 2045.

"Keberhasilan para akademisi, peneliti, perekayasa Indonesia membuat dan mengembangkan teknologi inovasi peringatan dini bencana menjadi salah satu indikator kepercayaan itu," kata Komite Remote Sensing, Perkumpulan Pusat Kajian Teknologi dan Inovasi (CTIS), Dr. Agustan dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.

CTIS mencontohkan teknologi inovasi karya anak bangsa yang dimaksud di antaranya perangkat sensor pemantau tinggi muka air, Alat Deteksi Longsor (ADeL), SIJAMPANG, Rapid Timer, inovasi rumah tahan gempa, dan Denji dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Menurut dia, produk inovasi tersebut merupakan beberapa yang telah dikembangkan oleh perekayasa dan peneliti Indonesia dan dimanfaatkan untuk mendeteksi gejala alam hidrometeorologi dan seismotektonik di dalam negeri.

Dia juga menilai berbagai inovasi tersebut sudah siap diproduksi massal atau dikembangkan secara luas sehingga bisa dimanfaatkan secara domestik melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai pelaksananya dan bahkan oleh masyarakat global.

Termasuk dalam hal ini produk tersebut juga akan diperkenalkan dalam pameran ADEXCO (Asian Disaster Management and Civil Protection Expo and Conference) dan konferensi GFSR (Global Forum for Sustainable Resilience) yang diselenggarakan di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, pada 11-14 September 2024.

"Event tersebut diharapkan menjadi wadah pertemuan pelaku industri dalam dan luar negeri, sehingga teknologi anak bangsa yang mumpuni mendapatkan kesempatan untuk masuk dunia industri dan ekspor ke luar negeri," katanya.

Peneliti Perekayasa Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) Universitas Gadjah Mada (UGM) Winaryo menambahkan bahwa dukungan seperti itu sangat dibutuhkan untuk menjadikan Indonesia sebagai center of excellent kebencanaan dan juga pusat studi kebencanaan global.

Hal itu dikarenakan berdasarkan laporan World Risk Report (WRR) pada 2023 Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan indeks risiko bencana alam tertinggi setelah Filipina dengan skor 43,5.

Risiko tersebut telah direspons menjadi modalitas bahan studi sampai menjadi inovasi dan teknologi dalam pengurangan risiko bencana oleh para peneliti Indonesia, menurut Winaryo hal ini tak terkecuali UGM yang mengembangkan alat bernama Deniji.

Deniji adalah alat peringatan dini bencana yang didesain khusus dengan teknologi sensor pendeteksi ketinggian muka air pada aliran sungai yang dikembangkan oleh PSBA UGM.

Ia menjelaskan, alat Deniji dilengkapi sensor yang terintegrasi dengan sistem informasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk kemudian menyampaikan kondisi aliran sungai kepada masyarakat setempat.

Baca juga: BNPB kirim bantuan untuk korban bencana di Afganistan
Baca juga: Indonesia sends aid to landslide victims in Papua New Guinea

Data yang terekam oleh sensor itu bisa dipantau secara langsung saat itu juga atau real time melalui laman internet pemerintah sehingga bisa diakses masyarakat umum.

"Hal yang penting lain, sensor pada alat tersebut juga merekam data harian yang siap digunakan untuk penelitian sebagaimana prinsip pengurangan risiko dan resiliensi berkelanjutan yang mendorong sains, rekayasa, teknologi dan inovasi dalam unsur perencanaan pembangunan menuju Indonesia emas 2045," katanya.
 

 

Pewarta : M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024