Lombok Tengah (ANTARA) - Irman Gusman calon DPD yang mengalahkan KPU pada PHPU di Mahkamah Konstitusi dipastikan kembali ke Senayan usai kembali terpilih menjadi anggota DPD RI mewakili Provinsi Sumatera Barat (Sumbar). Irman mengunci kursi keempat dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang berlangsung 13 Juli 2024 lalu.
Beberapa waktu lalu Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja menyoroti pemungutan suara ulang (PSU) anggota DPD Sumatera Barat (Sumbar) yang menghabiskan biaya hingga Rp350 miliar. Pernyataan ini dibenarkan oleh Plt Ketua KPU (lihat detiknews 19 Juli 2024). PSU itu diperintahkan Mahkamah Konstitusi (MK) lantaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak menerapkan Pemilu mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA).
Dalam pandangan Bagja, meminta agar KPU patuh pada aturan ke depannya sehingga tidak menimbulkan pemborosan uang untuk PSU. Menurutnya, uang sebanyak itu bisa dialihkan untuk kepentingan yang lain. (Lihat CNN Indonesia 20 Juli 2024).
Irman menggugat sengketa Keputusan KPU Nomor 1563/2023 soal penetapan DCT ke semua saluran hukum, termasuk ke Bawaslu RI. Melalui saluran Lembaga pengawas pemilu menolak gugatannya. Irman kemudian mengajukan banding ke PTUN Jakarta. Dalam gugatannya, Irman mengajukan beberapa pokok persoalan antara lain soal ketidakprofesionalan KPU dalam menanggapi putusan MA.
Semua dalil yang diajukan dikabulkan PTUN Jakarta pada 19 Desember 2023. KPU memiliki waktu 3 hari untuk melaksankan putusan itu dengan memasukkan nama Irman ke dalam DCT, namun KPU tidak melakukannya. Apakah saat itu KPU berpikir bahwa DCT sudah ditetapkan dan surat suara sudah on proses cetak, sehingga merevisi dummy approval surat suara adalah pemborosan anggaran? ini barangkali yang disebut cari untung dapatnya buntung. Kebijakan saat itu, kini harus dibayar mahal 350 milyar rupiah, belum terhitung anggaran kepada masing-masing calon DPD karena harus berlaga ulang, belum lagi menghitung konversi waktu limitasinya andai dihitung menjadi uang sudah berapa banyak? Seperti adigium waktu adalah uang.
Dalam konteks PSU DPD Sumbar ini, tidak kemudian seolah hanya KPU saja yang keliru, tapi hal tersebut juga timbul dari putusan Bawaslu yang dimentahkan PTUN Jakarta. Artinya Bawaslu juga mesti lebih kuat daya mitigasinya, sebab salah satu butir penting Bawaslu melaksanakan tufoksinya adalah kepekaannya membaca situasi dimasa mendatang. Betapa kita rakyat akan bangga ketika misalnya penyelengga Pemilu dan Pilkada bernama Bawaslu betul betul menjadi Pengadil Pemilu yang sesungguhnya. Ntah apa yang dipahami masyarakat tentang pengawasan partisipatif, patroli pengawasan, posko pengaduan, bahkan kampung pengawasan.
Berangkat dari kondisi itulah, di kesempatan Pilkada serentak 2024 ini, adalah momentum penebusan kinerja, jika tidak keberatan kita menggunakan ganti rugi kepercayaan publik atas riuhnya Pemilu 2024. Pilkada 2024 yang penganggarannya bersumber dari hibah APBD, jangan sampai terjadi PSU, tidak mudah mengumpulkan rupiah untuk pembeayaan Pilkada, tidak mudah meyakinkan pemerintah daerah saat para penyelenggara Pilkada mengajukan hibah daerah, tidak mudah menyusun rancangan belanja anggaran Pilkada, oleh sebab itu, case PSU DPD Sumbar adalah pelajaran untuk tidak akan pernah terulang kembali. Cukuplah PSU DPD Sumbar menjadi ‘kemudharatan' atas sikap kerja penyelenggara yang terakhir.
Para pegiat pemilu demokrasi tidak letih dan jenuh menyampaikan pandangannya demi mewujudkan Pemilu dan Pilkada untuk melangkah lebih maju, lebih baik dan lebih beradab, sebagai pemerhati Pemil dan Pilkada yang pernah menjadi penyelenggara, penulis pernah mendapat ‘guyonan’ tidak elok penyelenggara memiliki sifat linggis (keras dan tegak lurus) yang elok dan bagus adalah sifat keris (berkelok kelok tapi ujungnya lurus). Simpel menjawabnya, linggis adalah alat kerja, sementara keris adalah termasuk benda (senjata tajam). Menjadi penyelenggara adalah kerja untuk melayani daulat rakyat, bukan lain lain apalagi pansos.
Dalam perspektif teoritis PSU memang diatur secara rigit tapi tidak kemudian menjadi alasan untuk tidak dikhuwatirkan, PSU selain karena perintah putusan Mahkamah Konstitusi juga bisa karena sebab bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.
Selain itu Pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas TPS terbukti terdapat keadaan diantara: pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; petugas KPPS meminta Pemilih memberikan tanda khusus, menandatangani, atau menuliskan nama atau alamat pada surat suara yang sudah digunakan; petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh Pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau Pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan. (Lihat pasal 374 UU nomor 7 tahun 2017)
Demikian juga halnya dalam penyelenggaraan Pilkada, PSU juga dapat dilakukan karena putusan Mahkamah Konstitusi, selain itu, pemungutan suara di TPS dapat diulang jika terjadi gangguan keamanan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan. Kemudian pemungutan suara di TPS dapat diulang jika dari hasil penelitian dan pemeriksaan Panwas Kecamatan terbukti terdapat 1 (satu) atau lebih keadaan seperti pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; petugas KPPS meminta Pemilih memberi tanda khusus, menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan; petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh Pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; lebih dari seorang Pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali, pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda; dan/atau lebih dari seorang Pemilih yang tidak terdaftar sebagai Pemilih, mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS. (lihat buku kompilasi UU Pilkada, Bawaslu Kepulauan Riau 2020 halaman 73)
Sebagai bagian dari tahapan penyelenggaraan Pemilu atau Pilkada PSU satu sisi menjadi jaminan konstitusi pada sisi yang lain menjadi variabel keberhasilan penyelenggara Pemilu atau Pilkada jika PSU tidak sampai terjadi, mengingat PSU menjadi variabel ukur kesuksesan Penyelenggara terutama sekali KPU, maka dalam hal PSU terjadi, setuju tidak setuju, mesti ada pengakuan diri untuk menyatakan diri secara ikhlas teratur menyatakan ‘undur diri' karena hemat penulis sikap tersebut baik untuk edukasi bagi penyelenggara generasi berikutnya.
Demikian, semoga Pilkada 2024 hadir tanpa PSU dan hadir sebagai persembahan daulat rakyat demi kemajuan demokrasi menuju Indonesia adil makmur bagi seluruh rakyat Indonesia.
*) Penulis adalah Ketua KPU Kabupaten Lombok Tengah 2020-2024
Beberapa waktu lalu Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja menyoroti pemungutan suara ulang (PSU) anggota DPD Sumatera Barat (Sumbar) yang menghabiskan biaya hingga Rp350 miliar. Pernyataan ini dibenarkan oleh Plt Ketua KPU (lihat detiknews 19 Juli 2024). PSU itu diperintahkan Mahkamah Konstitusi (MK) lantaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak menerapkan Pemilu mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA).
Dalam pandangan Bagja, meminta agar KPU patuh pada aturan ke depannya sehingga tidak menimbulkan pemborosan uang untuk PSU. Menurutnya, uang sebanyak itu bisa dialihkan untuk kepentingan yang lain. (Lihat CNN Indonesia 20 Juli 2024).
Irman menggugat sengketa Keputusan KPU Nomor 1563/2023 soal penetapan DCT ke semua saluran hukum, termasuk ke Bawaslu RI. Melalui saluran Lembaga pengawas pemilu menolak gugatannya. Irman kemudian mengajukan banding ke PTUN Jakarta. Dalam gugatannya, Irman mengajukan beberapa pokok persoalan antara lain soal ketidakprofesionalan KPU dalam menanggapi putusan MA.
Semua dalil yang diajukan dikabulkan PTUN Jakarta pada 19 Desember 2023. KPU memiliki waktu 3 hari untuk melaksankan putusan itu dengan memasukkan nama Irman ke dalam DCT, namun KPU tidak melakukannya. Apakah saat itu KPU berpikir bahwa DCT sudah ditetapkan dan surat suara sudah on proses cetak, sehingga merevisi dummy approval surat suara adalah pemborosan anggaran? ini barangkali yang disebut cari untung dapatnya buntung. Kebijakan saat itu, kini harus dibayar mahal 350 milyar rupiah, belum terhitung anggaran kepada masing-masing calon DPD karena harus berlaga ulang, belum lagi menghitung konversi waktu limitasinya andai dihitung menjadi uang sudah berapa banyak? Seperti adigium waktu adalah uang.
Dalam konteks PSU DPD Sumbar ini, tidak kemudian seolah hanya KPU saja yang keliru, tapi hal tersebut juga timbul dari putusan Bawaslu yang dimentahkan PTUN Jakarta. Artinya Bawaslu juga mesti lebih kuat daya mitigasinya, sebab salah satu butir penting Bawaslu melaksanakan tufoksinya adalah kepekaannya membaca situasi dimasa mendatang. Betapa kita rakyat akan bangga ketika misalnya penyelengga Pemilu dan Pilkada bernama Bawaslu betul betul menjadi Pengadil Pemilu yang sesungguhnya. Ntah apa yang dipahami masyarakat tentang pengawasan partisipatif, patroli pengawasan, posko pengaduan, bahkan kampung pengawasan.
Berangkat dari kondisi itulah, di kesempatan Pilkada serentak 2024 ini, adalah momentum penebusan kinerja, jika tidak keberatan kita menggunakan ganti rugi kepercayaan publik atas riuhnya Pemilu 2024. Pilkada 2024 yang penganggarannya bersumber dari hibah APBD, jangan sampai terjadi PSU, tidak mudah mengumpulkan rupiah untuk pembeayaan Pilkada, tidak mudah meyakinkan pemerintah daerah saat para penyelenggara Pilkada mengajukan hibah daerah, tidak mudah menyusun rancangan belanja anggaran Pilkada, oleh sebab itu, case PSU DPD Sumbar adalah pelajaran untuk tidak akan pernah terulang kembali. Cukuplah PSU DPD Sumbar menjadi ‘kemudharatan' atas sikap kerja penyelenggara yang terakhir.
Para pegiat pemilu demokrasi tidak letih dan jenuh menyampaikan pandangannya demi mewujudkan Pemilu dan Pilkada untuk melangkah lebih maju, lebih baik dan lebih beradab, sebagai pemerhati Pemil dan Pilkada yang pernah menjadi penyelenggara, penulis pernah mendapat ‘guyonan’ tidak elok penyelenggara memiliki sifat linggis (keras dan tegak lurus) yang elok dan bagus adalah sifat keris (berkelok kelok tapi ujungnya lurus). Simpel menjawabnya, linggis adalah alat kerja, sementara keris adalah termasuk benda (senjata tajam). Menjadi penyelenggara adalah kerja untuk melayani daulat rakyat, bukan lain lain apalagi pansos.
Dalam perspektif teoritis PSU memang diatur secara rigit tapi tidak kemudian menjadi alasan untuk tidak dikhuwatirkan, PSU selain karena perintah putusan Mahkamah Konstitusi juga bisa karena sebab bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.
Selain itu Pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas TPS terbukti terdapat keadaan diantara: pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; petugas KPPS meminta Pemilih memberikan tanda khusus, menandatangani, atau menuliskan nama atau alamat pada surat suara yang sudah digunakan; petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh Pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau Pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan. (Lihat pasal 374 UU nomor 7 tahun 2017)
Demikian juga halnya dalam penyelenggaraan Pilkada, PSU juga dapat dilakukan karena putusan Mahkamah Konstitusi, selain itu, pemungutan suara di TPS dapat diulang jika terjadi gangguan keamanan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan. Kemudian pemungutan suara di TPS dapat diulang jika dari hasil penelitian dan pemeriksaan Panwas Kecamatan terbukti terdapat 1 (satu) atau lebih keadaan seperti pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; petugas KPPS meminta Pemilih memberi tanda khusus, menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan; petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh Pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; lebih dari seorang Pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali, pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda; dan/atau lebih dari seorang Pemilih yang tidak terdaftar sebagai Pemilih, mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS. (lihat buku kompilasi UU Pilkada, Bawaslu Kepulauan Riau 2020 halaman 73)
Sebagai bagian dari tahapan penyelenggaraan Pemilu atau Pilkada PSU satu sisi menjadi jaminan konstitusi pada sisi yang lain menjadi variabel keberhasilan penyelenggara Pemilu atau Pilkada jika PSU tidak sampai terjadi, mengingat PSU menjadi variabel ukur kesuksesan Penyelenggara terutama sekali KPU, maka dalam hal PSU terjadi, setuju tidak setuju, mesti ada pengakuan diri untuk menyatakan diri secara ikhlas teratur menyatakan ‘undur diri' karena hemat penulis sikap tersebut baik untuk edukasi bagi penyelenggara generasi berikutnya.
Demikian, semoga Pilkada 2024 hadir tanpa PSU dan hadir sebagai persembahan daulat rakyat demi kemajuan demokrasi menuju Indonesia adil makmur bagi seluruh rakyat Indonesia.
*) Penulis adalah Ketua KPU Kabupaten Lombok Tengah 2020-2024