Jakarta (ANTARA) - Ahli hukum kepailitan Universitas Airlangga (Unair) Prof. Hadi Shubhan menilai gugatan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) maupun pengesahan (homologasi) PKPU PT Bank DKI Jakarta kepada PT Waskita Beton Precast Tbk. (WSBP) merupakan domain pengadilan niaga.
"Pengadilan negeri tidak berwenang menilai hasil putusan homologasi perdamaian PKPU," ujar Shubhan saat dihubungi di Jakarta, Senin (12/8).
Bank DKI menggugat kembali WSBP melalui Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada tanggal 3 Januari 2024 dengan nomor perkara 05/Pdt.G./2024/PNJkt.Tim.
Salah satu gugatannya, yakni pembatalan persetujuan konversi utang yang sebelumnya telah dilakukan dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) pada tanggal 30 Juni 2023 serta menginginkan WSBP melakukan amendemen perjanjian perdamaian yang telah dihomologasi, khususnya utang WSBP kepada Bank DKI.
Prof. Shubhan menjelaskan bahwa PKPU bertujuan merestrukturisasi utang secara kolektif untuk menghindari kepailitan debitur. Jika debitur pailit, akan merugikan semua pemangku kepentingan, yaitu debitur, kreditur, pekerja, pemasok, pemerintah, dan sebagainya.
"Dasar hukum PKPU berada dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, yang mengesampingkan beberapa aturan lain yang terkait," tuturnya.
Saat PKPU, kata dia, debitur tidak bisa dipailitkan dan selama jangka waktu dalam PKPU debitur akan bermusyawarah dengan seluruh kreditur.
Jika hal-hal yang ditawarkan oleh debitur disetujui oleh mayoritas kreditur, pengadilan akan melakukan homologasi. Dengan demikian, debitur dan kreditur harus mematuhi hal-hal yang diatur dalam perjanjian perdamaian yang telah dihomologasi.
Kendati demikian, apabila ada kreditur yang merasa bahwa debitur telah lalai mengimplementasikan perjanjian homologasi, Shubhan menyebutkan terdapat upaya hukum berupa pengajuan pembatalan pengesahan pada saat perjanjian perdamaian sudah berkekuatan hukum tetap ke pengadilan niaga atau mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Pengadilan niaga, lanjut dia, akan memeriksa apakah benar ada kelalaian yang dilakukan debitur atas ketentuan pengesahan tersebut, sedangkan kasasi ke MA bisa dilakukan ketika kreditur yang kalah dalam pemungutan suara tidak setuju atas putusan homologasi.
Sebelumnya, WSBP telah memperoleh persetujuan kreditur untuk perdamaian dari hasil pemungutan suara atas rencana perdamaian PKPU pada tanggal 17 dan 20 Juni 2022 di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Baca juga: Wamen BUMN : Gaji karyawan Indofarma tunggu proses PKPU
Baca juga: Ini jadwal pemungutan suara Pilkada 2024
Meski begitu pada tanggal 5 Juli 2022, Bank DKI mengajukan permohonan kasasi atas pengesahan perjanjian perdamaian WSBP, kemudian pada tanggal 20 September 2022, MA memberikan putusan tolak atas gugatan kasasi dari Bank DKI. Dengan begitu, putusan pengesahan perdamaian WSBP dinyatakan berkekuatan hukum tetap (inkrah).
Walaupun putusan homologasi telah dinyatakan inkrah, Bank DKI sebagai kreditur kembali menggugat WSBP dengan nomor gugatan 800/Pdt.G/2023/PN.Jkt.Pst pada tanggal 30 November 2023 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemudian tuntutannya dicabut.
Setelah itu, Bank DKI kembali menggugat WSBP pada tanggal 3 Januari 2024, yang turut menggugat adalah notaris Ashoya Ratam sebagai Turut Tergugat I dan PT Bursa Efek Indonesia sebagai Turut Tergugat II.
"Pengadilan negeri tidak berwenang menilai hasil putusan homologasi perdamaian PKPU," ujar Shubhan saat dihubungi di Jakarta, Senin (12/8).
Bank DKI menggugat kembali WSBP melalui Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada tanggal 3 Januari 2024 dengan nomor perkara 05/Pdt.G./2024/PNJkt.Tim.
Salah satu gugatannya, yakni pembatalan persetujuan konversi utang yang sebelumnya telah dilakukan dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) pada tanggal 30 Juni 2023 serta menginginkan WSBP melakukan amendemen perjanjian perdamaian yang telah dihomologasi, khususnya utang WSBP kepada Bank DKI.
Prof. Shubhan menjelaskan bahwa PKPU bertujuan merestrukturisasi utang secara kolektif untuk menghindari kepailitan debitur. Jika debitur pailit, akan merugikan semua pemangku kepentingan, yaitu debitur, kreditur, pekerja, pemasok, pemerintah, dan sebagainya.
"Dasar hukum PKPU berada dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, yang mengesampingkan beberapa aturan lain yang terkait," tuturnya.
Saat PKPU, kata dia, debitur tidak bisa dipailitkan dan selama jangka waktu dalam PKPU debitur akan bermusyawarah dengan seluruh kreditur.
Jika hal-hal yang ditawarkan oleh debitur disetujui oleh mayoritas kreditur, pengadilan akan melakukan homologasi. Dengan demikian, debitur dan kreditur harus mematuhi hal-hal yang diatur dalam perjanjian perdamaian yang telah dihomologasi.
Kendati demikian, apabila ada kreditur yang merasa bahwa debitur telah lalai mengimplementasikan perjanjian homologasi, Shubhan menyebutkan terdapat upaya hukum berupa pengajuan pembatalan pengesahan pada saat perjanjian perdamaian sudah berkekuatan hukum tetap ke pengadilan niaga atau mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Pengadilan niaga, lanjut dia, akan memeriksa apakah benar ada kelalaian yang dilakukan debitur atas ketentuan pengesahan tersebut, sedangkan kasasi ke MA bisa dilakukan ketika kreditur yang kalah dalam pemungutan suara tidak setuju atas putusan homologasi.
Sebelumnya, WSBP telah memperoleh persetujuan kreditur untuk perdamaian dari hasil pemungutan suara atas rencana perdamaian PKPU pada tanggal 17 dan 20 Juni 2022 di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Baca juga: Wamen BUMN : Gaji karyawan Indofarma tunggu proses PKPU
Baca juga: Ini jadwal pemungutan suara Pilkada 2024
Meski begitu pada tanggal 5 Juli 2022, Bank DKI mengajukan permohonan kasasi atas pengesahan perjanjian perdamaian WSBP, kemudian pada tanggal 20 September 2022, MA memberikan putusan tolak atas gugatan kasasi dari Bank DKI. Dengan begitu, putusan pengesahan perdamaian WSBP dinyatakan berkekuatan hukum tetap (inkrah).
Walaupun putusan homologasi telah dinyatakan inkrah, Bank DKI sebagai kreditur kembali menggugat WSBP dengan nomor gugatan 800/Pdt.G/2023/PN.Jkt.Pst pada tanggal 30 November 2023 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemudian tuntutannya dicabut.
Setelah itu, Bank DKI kembali menggugat WSBP pada tanggal 3 Januari 2024, yang turut menggugat adalah notaris Ashoya Ratam sebagai Turut Tergugat I dan PT Bursa Efek Indonesia sebagai Turut Tergugat II.