Mataram (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat membuka peluang perhutanan sosial untuk memetik manfaat dari perdagangan karbon sebagai skema pendanaan alternatif yang bisa dimanfaatkan masyarakat adat dan kelompok masyarakat yang mengelola hutan secara sosial.
"Kami sedang menyiapkan baseline karbon yang ada di Nusa Tenggara Barat (NTB), baik dari perhutanan sosial maupun perusahaan," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB Julmansyah di Mataram, Senin.
Julmansyah mengungkapkan perhutanan sosial di NTB yang mencapai 60 ribu hektare memiliki potensi besar dalam bursa karbon.
Bahkan, ada lebih dari 15 ribu hektare yang memiliki tutupan tinggi seperti hutan yang mampu menyerap karbon lebih baik.
"Lokasi perhutanan sosial berada hampir semuanya berada di sabuk hijau Gunung Rinjani, namun ada sedikit di Sumbawa Barat dan Sumbawa," ujar Julmansyah.
Kondisi tutupan perhutanan sosial yang masih bagus memiliki ciri pohon kemiri yang di bawahnya ada durian, lalu di bawah durian ada alpukat, aren, dan kopi.
Model perhutanan sosial dengan tutupan seperti itulah yang akan dipromosikan oleh pemerintah NTB sebagai lokus untuk perdagangan karbon maupun offset karbon.
Julmansyah mengungkapkan ada banyak perusahaan yang sudah memohon dan meminta areal dalam bentuk perizinan berusaha pemanfaatan hutan atau PBPH untuk masuk ke pasar karbon.
Beberapa perusahaan yang sudah mengajukan permohonan kini sedang berproses di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Ke depan kami berharap pemerintah Indonesia mesti memiliki kedaulatan karbon, sehingga kita mesti mendahulukan atau memprioritaskan calon-calon pembeli yang berasal dari dalam negeri, bukan luar negeri," pungkas Julmansyah.
KLHK telah menetapkan peta jalan perdagangan karbon sektor kehutanan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.1027/MENLHK/PHL/KUM.1/9/2023 tanggal 22 September 2023.
Menurut ketentuan, perdagangan karbon bisa dilaksanakan oleh pemegang persetujuan pengelolaan perhutanan sosial yang paling rendah memperoleh klasifikasi silver dalam penyelenggaraan perhutanan sosial.
Baca juga: TNGR: Kebakaran kawasan hutan di Rinjani Lombok Timur padam
Baca juga: Puluhan hektare hutan produksi di Sambelia Lombok Timur terbakar
Syarat itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau masyarakat hukum adat pemegang persetujuan pengelolaan perhutanan sosial.
Bagi masyarakat adat ataupun kelompok masyarakat yang mengelola perhutanan sosial tidak hanya dapat mendapatkan manfaat ekonomi dari perdagangan karbon, tetapi juga manfaat ekologis dan sosial dari upaya pengurangan emisi gas rumah kaca.
"Kami sedang menyiapkan baseline karbon yang ada di Nusa Tenggara Barat (NTB), baik dari perhutanan sosial maupun perusahaan," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB Julmansyah di Mataram, Senin.
Julmansyah mengungkapkan perhutanan sosial di NTB yang mencapai 60 ribu hektare memiliki potensi besar dalam bursa karbon.
Bahkan, ada lebih dari 15 ribu hektare yang memiliki tutupan tinggi seperti hutan yang mampu menyerap karbon lebih baik.
"Lokasi perhutanan sosial berada hampir semuanya berada di sabuk hijau Gunung Rinjani, namun ada sedikit di Sumbawa Barat dan Sumbawa," ujar Julmansyah.
Kondisi tutupan perhutanan sosial yang masih bagus memiliki ciri pohon kemiri yang di bawahnya ada durian, lalu di bawah durian ada alpukat, aren, dan kopi.
Model perhutanan sosial dengan tutupan seperti itulah yang akan dipromosikan oleh pemerintah NTB sebagai lokus untuk perdagangan karbon maupun offset karbon.
Julmansyah mengungkapkan ada banyak perusahaan yang sudah memohon dan meminta areal dalam bentuk perizinan berusaha pemanfaatan hutan atau PBPH untuk masuk ke pasar karbon.
Beberapa perusahaan yang sudah mengajukan permohonan kini sedang berproses di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Ke depan kami berharap pemerintah Indonesia mesti memiliki kedaulatan karbon, sehingga kita mesti mendahulukan atau memprioritaskan calon-calon pembeli yang berasal dari dalam negeri, bukan luar negeri," pungkas Julmansyah.
KLHK telah menetapkan peta jalan perdagangan karbon sektor kehutanan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.1027/MENLHK/PHL/KUM.1/9/2023 tanggal 22 September 2023.
Menurut ketentuan, perdagangan karbon bisa dilaksanakan oleh pemegang persetujuan pengelolaan perhutanan sosial yang paling rendah memperoleh klasifikasi silver dalam penyelenggaraan perhutanan sosial.
Baca juga: TNGR: Kebakaran kawasan hutan di Rinjani Lombok Timur padam
Baca juga: Puluhan hektare hutan produksi di Sambelia Lombok Timur terbakar
Syarat itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau masyarakat hukum adat pemegang persetujuan pengelolaan perhutanan sosial.
Bagi masyarakat adat ataupun kelompok masyarakat yang mengelola perhutanan sosial tidak hanya dapat mendapatkan manfaat ekonomi dari perdagangan karbon, tetapi juga manfaat ekologis dan sosial dari upaya pengurangan emisi gas rumah kaca.