Jakarta (ANTARA) - Pengamat hukum sekaligus pegiat antikorupsi Hardjuno Wiwoho mengingatkan agar pemerintahan baru harus memprioritaskan penyelesaian masalah pengembalian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dari debitur dan obligor kepada negara.
Ia menyebutkan, dengan masih ada sekitar Rp72,25 triliun yang belum tertagih dan nilai yang seharusnya dikembalikan termasuk bunga mencapai Rp502,48 triliun, upaya untuk mengembalikan uang rakyat tersebut harus terus didorong.
"Jika pemerintahan baru tidak memberikan dukungan penuh, ada risiko bahwa upaya pengembalian dana BLBI akan terhenti atau kehilangan momentum," kata Hardjuno dalam keterangan tertulis resmi di Jakarta, Rabu.
Tercatat hingga semester I-2024, Satuan Tugas (Satgas) BLBI telah membukukan perolehan aset eks BLBI sebesar 44,7 juta meter persegi dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp38,2 triliun. Artinya, sebesar 34,59 persen hak tagih negara telah berhasil dikembalikan oleh Satgas BLBI dari kewajiban sebesar Rp110,45 triliun.
Hardjuno menilai pencapaian kinerja Satgas BLBI tersebut belum mencapai 50 persen dari kewajiban, yang membuktikan masalah BLBI memang cukup kompleks karena adanya perpaduan antara moral hazard atau risiko moral para pihak yang terlibat dan menarik kepentingan ekonomi politik yang cukup kuat.
Dia menuturkan, BLBI dahulu diberikan kepada debitur dalam bentuk tunai, sementara jumlah tunai yang yang dikumpulkan Satgas BLBI mencapai Rp1,5 triliun lantaran sebagian besar aset yang disita berupa properti dan barang jaminan dengan nilai moneter yang belum terealisasi sepenuhnya.
"Konversi aset non-tunai menjadi dana yang dapat langsung digunakan oleh negara seharusnya menjadi prioritas. Tanpa itu, hasilnya hanya akan menjadi sekumpulan aset yang belum tentu mudah di-monetisasi," ucap dia.
Lebih jauh lagi, dirinya menyebutkan terdapat potensi tambahan bunga sekitar Rp502,48 triliun, yang berasal dari hitungan bunga 6 persen per tahun sejak Januari 1998 hingga 2024. Bunga tersebut seharusnya dibayarkan para debitur kepada negara.
Dengan demikian, kata dia, itu berarti bukan hanya pokok BLBI yang belum tertagih, tetapi juga bunga yang terus bertambah selama lebih dari 26 tahun.
"Dengan bunga yang sudah mencapai ratusan triliun rupiah, terlihat betapa besar kerugian negara jika masalah ini tidak segera diselesaikan," tutur Hardjuno.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Hadi Tjahjanto berencana memperpanjang masa tugas Satgas BLBI guna menagih aset milik pemerintah.
Baca juga: Ketua HMS kecam keras obligasi rekapitulasi BLBI
Baca juga: UU Perampasan Aset dan BLBI Jadi PR Prabowo-Gibran
"Kita memerlukan perpanjangan atau perpanjangan dari Satgas ini untuk bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang kita lakukan ya terhadap obligor maupun debiturnya," kata Hadi dalam jumpa pers di Kemenko Polhukam RI, Jakarta Pusat, Jumat (5/7).
Hadi menjelaskan perpanjangan masa tugas itu sangat diperlukan karena masa kerja satgas akan berakhir pada 31 Desember 2024.
Ia menyebutkan, dengan masih ada sekitar Rp72,25 triliun yang belum tertagih dan nilai yang seharusnya dikembalikan termasuk bunga mencapai Rp502,48 triliun, upaya untuk mengembalikan uang rakyat tersebut harus terus didorong.
"Jika pemerintahan baru tidak memberikan dukungan penuh, ada risiko bahwa upaya pengembalian dana BLBI akan terhenti atau kehilangan momentum," kata Hardjuno dalam keterangan tertulis resmi di Jakarta, Rabu.
Tercatat hingga semester I-2024, Satuan Tugas (Satgas) BLBI telah membukukan perolehan aset eks BLBI sebesar 44,7 juta meter persegi dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp38,2 triliun. Artinya, sebesar 34,59 persen hak tagih negara telah berhasil dikembalikan oleh Satgas BLBI dari kewajiban sebesar Rp110,45 triliun.
Hardjuno menilai pencapaian kinerja Satgas BLBI tersebut belum mencapai 50 persen dari kewajiban, yang membuktikan masalah BLBI memang cukup kompleks karena adanya perpaduan antara moral hazard atau risiko moral para pihak yang terlibat dan menarik kepentingan ekonomi politik yang cukup kuat.
Dia menuturkan, BLBI dahulu diberikan kepada debitur dalam bentuk tunai, sementara jumlah tunai yang yang dikumpulkan Satgas BLBI mencapai Rp1,5 triliun lantaran sebagian besar aset yang disita berupa properti dan barang jaminan dengan nilai moneter yang belum terealisasi sepenuhnya.
"Konversi aset non-tunai menjadi dana yang dapat langsung digunakan oleh negara seharusnya menjadi prioritas. Tanpa itu, hasilnya hanya akan menjadi sekumpulan aset yang belum tentu mudah di-monetisasi," ucap dia.
Lebih jauh lagi, dirinya menyebutkan terdapat potensi tambahan bunga sekitar Rp502,48 triliun, yang berasal dari hitungan bunga 6 persen per tahun sejak Januari 1998 hingga 2024. Bunga tersebut seharusnya dibayarkan para debitur kepada negara.
Dengan demikian, kata dia, itu berarti bukan hanya pokok BLBI yang belum tertagih, tetapi juga bunga yang terus bertambah selama lebih dari 26 tahun.
"Dengan bunga yang sudah mencapai ratusan triliun rupiah, terlihat betapa besar kerugian negara jika masalah ini tidak segera diselesaikan," tutur Hardjuno.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Hadi Tjahjanto berencana memperpanjang masa tugas Satgas BLBI guna menagih aset milik pemerintah.
Baca juga: Ketua HMS kecam keras obligasi rekapitulasi BLBI
Baca juga: UU Perampasan Aset dan BLBI Jadi PR Prabowo-Gibran
"Kita memerlukan perpanjangan atau perpanjangan dari Satgas ini untuk bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang kita lakukan ya terhadap obligor maupun debiturnya," kata Hadi dalam jumpa pers di Kemenko Polhukam RI, Jakarta Pusat, Jumat (5/7).
Hadi menjelaskan perpanjangan masa tugas itu sangat diperlukan karena masa kerja satgas akan berakhir pada 31 Desember 2024.