Jenewa (ANTARA) - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Rabu (4/9) merilis statistik global terkait kolera untuk tahun 2023, yang menunjukkan peningkatan sebesar 13 persen dalam jumlah kasus dan 71 persen dalam jumlah kematian dibandingkan tahun sebelumnya.

"Lebih dari 4.000 orang meninggal tahun lalu akibat penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dan diobati dengan mudah," kata WHO dalam sebuah pernyataan, mencatat bahwa 45 negara melaporkan adanya kasus kolera.

Menurut data awal, 38 persen dari kasus yang dilaporkan terjadi pada anak-anak di bawah usia lima tahun.

WHO menjelaskan bahwa konflik, perubahan iklim, kurangnya akses terhadap air bersih dan sanitasi, kemiskinan, kurangnya pembangunan, dan perpindahan penduduk akibat bencana alam berkontribusi terhadap peningkatan wabah kolera tahun lalu.

Namun, distribusi geografis kolera berubah secara signifikan dari tahun 2022 ke 2023. Disebutkan bahwa ada penurunan sebesar 32 persen dalam jumlah kasus yang dilaporkan dari Timur Tengah dan Asia, tetapi terjadi peningkatan sebesar 125 persen di Afrika.

Banyak negara di Afrika melaporkan tingginya proporsi kematian di masyarakat, "yang mengindikasikan adanya kekurangan akses terhadap pengobatan."

"Ini adalah tahun pertama di mana beberapa negara melaporkan kematian akibat kolera yang terjadi di luar fasilitas kesehatan, yang dikenal sebagai 'kematian di masyarakat'," tambahnya.

Pada 2023, Afghanistan, Republik Demokratik Kongo, Malawi, dan Somalia terus melaporkan wabah kolera yang signifikan, dengan lebih dari 10.000 kasus yang berstatus diduga atau dikonfirmasi. Ethiopia, Haiti, Mozambik, dan Zimbabwe juga melaporkan wabah baru.

Data tersebut menunjukkan bahwa krisis kolera global terus berlanjut hingga 2024, dengan 22 negara saat ini melaporkan adanya wabah aktif.

Meskipun jumlah kasus yang dilaporkan sejauh ini lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sebanyak 342.800 kasus dan 2.400 kematian telah dilaporkan kepada WHO dari seluruh benua hingga 22 Agustus.

WHO menyatakan bahwa risiko global saat ini dari kolera "sangat tinggi" dan menyesalkan bahwa permintaan dana sebesar 50 juta dolar AS (sekitar Rp772 miliar) untuk menangani wabah kolera pada 2024 belum terpenuhi.

Vaksin

Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam sebuah konferensi pers, mengatakan bahwa krisis kolera global telah menyebabkan "kekurangan parah" vaksin kolera.

Antara 2021 dan 2023, permintaan dosis vaksin untuk menangani wabah lebih tinggi dibandingkan dengan seluruh dekade sebelumnya, kata Tedros.

Baca juga: Rotavirus sebabkan 90 persen kasus diare pada bayi
Baca juga: Mantan Wali Kota Batu Eddy Rumpoko mengalami diare hingga dehidrasi sebelum meninggal

Ia mengungkapkan, sekitar 36 juta dosis diproduksi tahun lalu, atau "hanya setengah dari jumlah yang diminta oleh 14 negara yang terdampak."

Ia mengingatkan bahwa Kelompok Koordinasi Internasional, yang mengelola pasokan vaksin darurat, telah menangguhkan rejimen vaksinasi standar dua dosis sejak Oktober 2022 dan mengadopsi pendekatan dosis tunggal untuk mencapai dan melindungi lebih banyak orang dengan persediaan yang terbatas.

"Saat ini hanya ada satu produsen vaksin kolera, EUBiologics, dan kami berterima kasih atas upaya mereka dalam memperluas produksi," katanya.

"Kami mendesak produsen lain yang berencana masuk ke pasar untuk mempercepat upaya mereka dan menyediakan dosis dengan harga yang terjangkau," tambah Tedros.

Sumber: Anadolu

 


 


Pewarta : Primayanti
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024