Mataram (ANTARA) - Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat mengungkap kasus dugaan Warga Negara Asing (WNA) asal Amerika Serikat berinisial SRB (51) yang mengimpor obat terlarang dari India.
Direktur Reserse Narkoba Polda NTB Kombes Pol Deddy Supriadi dalam konferensi pers di Mataram, Rabu, mengatakan impor obat terlarang tersebut terungkap dari giat penelusuran paket kiriman asal India ke salah satu vila yang ada di Kabupaten Lombok Tengah.
"Jadi, berkat kerja sama dan dukungan Bea Cukai Mataram, kami terapkan metode 'controlled delivery' terhadap paket kiriman dari India itu dan terungkap penerimanya WNA Amerika berinisial SRB usia 51 tahun yang sedang berwisata di salah satu vila wilayah Lombok Tengah," kata Deddy.
Obat terlarang yang dipesan SRB dari India, jelas dia, bermerek Karisoprodol dan Tapentadol. Kedua merek obat terlarang tersebut dipesan melalui situs web sebuah toko yang berdomisili di India.
"Dari interograsi, pemesanan dilakukan melalui website yang namanya Indiamart. Karisoprodol ini dibeli dengan harga 95 dolar AS, dan Tapentadol itu seharga 105 dolar AS," ujarnya.
Baca juga: Empat WNA Malaysia diduga salah gunakan izin tinggal di Lombok
Jumlah obat terlarang yang dipesan SRB dari India, jelas dia, cukup banyak. Untuk merek Karisoprodol sebanyak 599 butir dan Tapentadol sebanyak 110 butir.
"Saat itu, dia menerangkan kalau sengaja memesan untuk kepemilikan sendiri. Jadi, untuk sementara, memang belum diperoleh bukti bahwa SRB ini pernah mengedarkan obat-obatan itu," ucap dia.
Namun, dari hasil gelar perkara yang dikuatkan dengan bukti lapangan dan ahli serta hasil uji laboratorium pada BPOM Mataram, kepemilikan obat terlarang merek Karisoprodol dan Tapentadol tersebut telah melanggar aturan Nomor Urut 145 Lampiran Permenkes RI Nomor 30 Tahun 2023 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika.
"Jadi, hasil uji BPOM, khususnya Karisoprodol ini termasuk aturan Nomor Urut 145 Lampiran Permenkes RI Nomor 30 Tahun 2023 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Dari nomor urut tersebut diketahui bahwa Karisoprodol masuk dalam narkotika golongan satu," kata Deddy.
Baca juga: Penyidik minta imigrasi kirim data WNA terlibat tambang ilegal di Sekotong Lombok Barat
Oleh karena itu, SRB dalam kasus kepemilikan obat terlarang tersebut ditetapkan sebagai tersangka yang diduga melanggar Pasal 114 ayat (2) dan/atau Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
"Dari penetapan SRB sebagai tersangka, kami sudah melakukan penahanan di Rutan Polda NTB," ujarnya.
Lebih lanjut, Deddy menerangkan bahwa kasus dugaan peredaran Karisaprodol dan Tapentadol inu baru kali pertama terungkap di NTB.
Perihal efek dari penggunaan obat tersebut, jelas dia, dapat menimbulkan kejang pada tubuh pengguna, meredakan nyeri pada otot, dan berhalusinasi.
Baca juga: Imigrasi Mataram dapatkan informasi keberadaan WNA China terlibat tambang liar
Direktur Reserse Narkoba Polda NTB Kombes Pol Deddy Supriadi dalam konferensi pers di Mataram, Rabu, mengatakan impor obat terlarang tersebut terungkap dari giat penelusuran paket kiriman asal India ke salah satu vila yang ada di Kabupaten Lombok Tengah.
"Jadi, berkat kerja sama dan dukungan Bea Cukai Mataram, kami terapkan metode 'controlled delivery' terhadap paket kiriman dari India itu dan terungkap penerimanya WNA Amerika berinisial SRB usia 51 tahun yang sedang berwisata di salah satu vila wilayah Lombok Tengah," kata Deddy.
Obat terlarang yang dipesan SRB dari India, jelas dia, bermerek Karisoprodol dan Tapentadol. Kedua merek obat terlarang tersebut dipesan melalui situs web sebuah toko yang berdomisili di India.
"Dari interograsi, pemesanan dilakukan melalui website yang namanya Indiamart. Karisoprodol ini dibeli dengan harga 95 dolar AS, dan Tapentadol itu seharga 105 dolar AS," ujarnya.
Baca juga: Empat WNA Malaysia diduga salah gunakan izin tinggal di Lombok
Jumlah obat terlarang yang dipesan SRB dari India, jelas dia, cukup banyak. Untuk merek Karisoprodol sebanyak 599 butir dan Tapentadol sebanyak 110 butir.
"Saat itu, dia menerangkan kalau sengaja memesan untuk kepemilikan sendiri. Jadi, untuk sementara, memang belum diperoleh bukti bahwa SRB ini pernah mengedarkan obat-obatan itu," ucap dia.
Namun, dari hasil gelar perkara yang dikuatkan dengan bukti lapangan dan ahli serta hasil uji laboratorium pada BPOM Mataram, kepemilikan obat terlarang merek Karisoprodol dan Tapentadol tersebut telah melanggar aturan Nomor Urut 145 Lampiran Permenkes RI Nomor 30 Tahun 2023 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika.
"Jadi, hasil uji BPOM, khususnya Karisoprodol ini termasuk aturan Nomor Urut 145 Lampiran Permenkes RI Nomor 30 Tahun 2023 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Dari nomor urut tersebut diketahui bahwa Karisoprodol masuk dalam narkotika golongan satu," kata Deddy.
Baca juga: Penyidik minta imigrasi kirim data WNA terlibat tambang ilegal di Sekotong Lombok Barat
Oleh karena itu, SRB dalam kasus kepemilikan obat terlarang tersebut ditetapkan sebagai tersangka yang diduga melanggar Pasal 114 ayat (2) dan/atau Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
"Dari penetapan SRB sebagai tersangka, kami sudah melakukan penahanan di Rutan Polda NTB," ujarnya.
Lebih lanjut, Deddy menerangkan bahwa kasus dugaan peredaran Karisaprodol dan Tapentadol inu baru kali pertama terungkap di NTB.
Perihal efek dari penggunaan obat tersebut, jelas dia, dapat menimbulkan kejang pada tubuh pengguna, meredakan nyeri pada otot, dan berhalusinasi.
Baca juga: Imigrasi Mataram dapatkan informasi keberadaan WNA China terlibat tambang liar