Mataram (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat memanggil Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) untuk sebuah rapat dengar pendapat terkait keluarnya aturan perizinan dan pengenaan tarif penggunaan pesawat udara kecil tanpa awak atau drone bagi wisatawan yang berkunjung ke Gunung Rinjani.

"Minggu depan kita undang teman-teman BTNGR untuk diskusi dan mendengarkan penjelasan terkait kebijakan pengenaan tarif ini," kata Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB, Fathul Gani, di Mataram, Kamis.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB, kata Fathul Gani, belum bisa mengambil langkah-langkah terkait keluarnya aturan perizinan dan pengenaan tarif penggunaan drone itu, apakah meminta menunda atau membatalkan keputusan tersebut sebelum mendengar penjelasan dari BTNGR secara langsung dan komprehensif.

"Tentu ada hal yang mendasari sehingga kita perlu dengarkan penjelasan BTNGR, termasuk dari dinas terkait. Baru kita sampaikan saran dan masukan dengan mendengarkan juga para pelaku usaha terutama di sektor pariwisata dan pihak lainnya," ujarnya.

Baca juga: Penggunaan drone bagi wisatawan ke Gunung Rinjani ditarif Rp10 juta per paket

Menurut mantan Kepala Dinas Pertanian NTB ini, setiap rupiah yang dikeluarkan atau dibebankan kepada masyarakat apakah itu pendaki atau wisatawan yang berkunjung ke kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani harus ada regulasi yang memayunginya secara jelas dan transparan.

"Kenapa ini penting, supaya tidak menimbulkan gejolak di masyarakat, khususnya wisatawan yang datang ke tempat itu," katanya.

Sementara itu Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Timur, Widayat yang juga dikonfirmasi terkait hal ini menilai wajar aturan perizinan dan pengenaan tarif penggunaan drone bagi setiap wisatawan yang berkunjung ke Gunung Rinjani, asalkan mengacu pada regulasi yang berlaku.

"Karena itu wewenang BTNGR dan selama mengacu pada regulasi yang berlaku dan dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang saya pikir sah-sah saja," ujarnya melalui sambungan telepon kepada ANTARA.

Baca juga: TNGR: Penggunaan drone ganggu satwa di Gunung Rinjani Lombok

Terpenting, lanjut dia, aturan tersebut sesuai dengan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup. Jika tidak, maka dipastikan bahwa pengenaan tarif tersebut bisa disebut pungutan liar.

"Jika tarif itu tidak ada dalam regulasi atau tidak berkesesuaian dengan regulasi yang ada, maka masuk ke dalam kategori pungli dan ini patut kita pertanyakan," tegas Widayat.

Ia mengaku belum mengetahui apakah aturan tersebut nantinya akan berdampak pada tingkat kunjungan wisatawan atau pendakian ke TNGR atau destinasi-destinasi seperti Sembalun yang berada di kaki Gunung Rinjani.

"Selama ini tidak ada kaitan tamu TNGR dengan Pemerintah Kabupaten Lombok Timur termasuk Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Utara. Khusus Lombok Timur memang kita tidak pernah dapat keuntungan dari retribusi masuk, karena semua masuk ke dalam PNBP," terangnya.

Kalau pun ada kerja sama dengan BTNGR, lanjut Widayat, sifatnya terpadu antara BTNGR dengan Pemerintah Kabupaten Lombok Timur pada destinasi pemandian Joben.

"Jadi kami dengan TNGR sudah kerja sama hanya di destinasi Joben, itu pun kita harapkan bisa disinergikan dengan pengelolaan Rinjani sehingga bisa menjadi pemasukan untuk PAD Lombok Timur, karena apa fasilitas yang dilewati para pendaki itu dibangun oleh pemda," katanya.

Diketahui pada 17 September 2024 BTNGR menerbitkan pengumuman terkait prosedur penggunaan drone di kawasan TNGR yang diunggah melalui akun Instagram resmi mereka. Pengumuman itu menyikapi kondisi di lapangan karena terdapat animo pengunjung yang cukup tinggi dalam penggunaan drone di dalam kawasan TNGR.

Dalam PP Nomor 12 Tahun 2014 tersebut tertulis snapshot film komersial untuk kategori video komersil dikenakan tarif Rp10 juta per paket, pengambilan gambar melalui handycam senilai Rp1 juta per paket, dan pengambilan foto sebesar Rp250 ribu per paket.


Pewarta : Nur Imansyah
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2024