Jakarta (ANTARA) - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebutkan pencantuman nutri-level secara bertahap merupakan salah satu upaya pengendalian penyakit tidak menular (PTM) melalui edukasi dan informasi lewat pelabelan pangan yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin, Kepala BPOM Taruna Ikrar menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab PTM adalah pola makan tidak sehat, termasuk konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL).
“Salah satu strategi pengendalian konsumsi GGL adalah melalui penetapan pencantuman informasi nilai gizi (ING), termasuk informasi kandungan GGL pada pangan olahan dan/atau pangan olahan siap saji,” katanya.
Sebelum PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ditetapkan, pihaknya telah melakukan upaya penanggulangan PTM, antara lain dengan mengatur ketentuan terkait label gizi melalui penerbitan Peraturan BPOM Nomor 26 Tahun 2021 tentang Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan Olahan.
Adapun beberapa kebijakan label gizi pada pangan olahan yang diatur adalah pencantuman tabel informasi nilai gizi yang bersifat wajib dan kebijakan pelabelan gizi pada bagian depan label (front of pack nutrition labelling/FOPNL) yang bersifat sukarela untuk memudahkan masyarakat dalam memahami kandungan gizi pada produk.
Deputi 3 BPOM Elin Herlina menyampaikan bahwa sejalan dengan PP tersebut dan berdasarkan hasil monitoring implementasi pelabelan gizi, saat ini pihaknya sedang melakukan peninjauan terhadap ketentuan pencantuman FOPNL melalui penyusunan kebijakan format pencantuman nutri-level.
Elin menjelaskan, nutri-level ini terdiri atas empat tingkatan (level A, B, C, dan D) yang menunjukkan level pangan olahan berdasarkan kandungan GGL. Level A dengan kandungan GGL paling rendah, sementara Level D dengan kandungan GGL paling tinggi.
"Penerapan kewajiban pencantuman nutri-level pada pangan olahan dilakukan secara bertahap. Untuk tahap pertama ditargetkan pada minuman siap konsumsi dengan kandungan GGL pada level C dan level D," katanya.
Kewajiban penerapan nutri-level juga akan dibuat sejalan antara pangan olahan yang ditetapkan oleh BPOM dengan pangan olahan siap saji yang ditetapkan oleh Kemenkes.
Dalam keterangan yang sama, anggota Dewan Pertimbangan Presiden Agung Laksono menyampaikan bahwa pihaknya sedang menyusun nasihat dan pertimbangan terkait pengendalian konsumsi GGL. Agung menilai, salah satu penyebab tingginya angka kematian akibat tiga penyakit tak menular, yakni stroke, penyakit jantung, dan diabetes, adalah konsumsi GGL yang berlebihan.
Baca juga: Kurasi produk UMKM di ajang MotoGP 2024 libatkan BPOM
Baca juga: Presiden lantik Taruna Ikrar sebagai Kepala BPOM
Dia mengutip survei Kemenkes tahun 2014, yang menunjukkan bahwa sekitar 29,7 persen penduduk Indonesia sudah mengonsumsi GGL di atas standar. Karena itu, katanya, muncul wacana labelisasi yang akan menunjukkan tingkat risiko konsumsi GGL.
"Berkenaan dengan edukasi kepada publik, sedapat mungkin label ini mudah dibaca dan dimengerti masyarakat Indonesia," katanya.
Hal itu, katanya, mengingat tingkat pendidikan atau masyarakat Indonesia yang terbilang masih rendah. Dia menilai, penggunaan gambar sebagai bentuk labelisasi akan lebih menarik serta lebih mudah diterima dan dipahami.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin, Kepala BPOM Taruna Ikrar menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab PTM adalah pola makan tidak sehat, termasuk konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL).
“Salah satu strategi pengendalian konsumsi GGL adalah melalui penetapan pencantuman informasi nilai gizi (ING), termasuk informasi kandungan GGL pada pangan olahan dan/atau pangan olahan siap saji,” katanya.
Sebelum PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ditetapkan, pihaknya telah melakukan upaya penanggulangan PTM, antara lain dengan mengatur ketentuan terkait label gizi melalui penerbitan Peraturan BPOM Nomor 26 Tahun 2021 tentang Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan Olahan.
Adapun beberapa kebijakan label gizi pada pangan olahan yang diatur adalah pencantuman tabel informasi nilai gizi yang bersifat wajib dan kebijakan pelabelan gizi pada bagian depan label (front of pack nutrition labelling/FOPNL) yang bersifat sukarela untuk memudahkan masyarakat dalam memahami kandungan gizi pada produk.
Deputi 3 BPOM Elin Herlina menyampaikan bahwa sejalan dengan PP tersebut dan berdasarkan hasil monitoring implementasi pelabelan gizi, saat ini pihaknya sedang melakukan peninjauan terhadap ketentuan pencantuman FOPNL melalui penyusunan kebijakan format pencantuman nutri-level.
Elin menjelaskan, nutri-level ini terdiri atas empat tingkatan (level A, B, C, dan D) yang menunjukkan level pangan olahan berdasarkan kandungan GGL. Level A dengan kandungan GGL paling rendah, sementara Level D dengan kandungan GGL paling tinggi.
"Penerapan kewajiban pencantuman nutri-level pada pangan olahan dilakukan secara bertahap. Untuk tahap pertama ditargetkan pada minuman siap konsumsi dengan kandungan GGL pada level C dan level D," katanya.
Kewajiban penerapan nutri-level juga akan dibuat sejalan antara pangan olahan yang ditetapkan oleh BPOM dengan pangan olahan siap saji yang ditetapkan oleh Kemenkes.
Dalam keterangan yang sama, anggota Dewan Pertimbangan Presiden Agung Laksono menyampaikan bahwa pihaknya sedang menyusun nasihat dan pertimbangan terkait pengendalian konsumsi GGL. Agung menilai, salah satu penyebab tingginya angka kematian akibat tiga penyakit tak menular, yakni stroke, penyakit jantung, dan diabetes, adalah konsumsi GGL yang berlebihan.
Baca juga: Kurasi produk UMKM di ajang MotoGP 2024 libatkan BPOM
Baca juga: Presiden lantik Taruna Ikrar sebagai Kepala BPOM
Dia mengutip survei Kemenkes tahun 2014, yang menunjukkan bahwa sekitar 29,7 persen penduduk Indonesia sudah mengonsumsi GGL di atas standar. Karena itu, katanya, muncul wacana labelisasi yang akan menunjukkan tingkat risiko konsumsi GGL.
"Berkenaan dengan edukasi kepada publik, sedapat mungkin label ini mudah dibaca dan dimengerti masyarakat Indonesia," katanya.
Hal itu, katanya, mengingat tingkat pendidikan atau masyarakat Indonesia yang terbilang masih rendah. Dia menilai, penggunaan gambar sebagai bentuk labelisasi akan lebih menarik serta lebih mudah diterima dan dipahami.