Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta Aptiani Nurjannah menyampaikan bahwa laki-laki lebih tinggi pengetahuannya terkait perubahan iklim dan transisi energi dibandingkan dengan perempuan.
"Yang mengetahui perubahan iklim, laki-laki 74 persen, perempuan 68 persen. Untuk yang tahu transisi energi, laki-laki 23 persen, perempuan 16 persen," kata Aptiani Nurjannah di Jakarta, Senin.
Hal ini berdasarkan hasil penelitian bertajuk "Ada Apa dengan Lingkungan, Analisis Gender dan Generasi" yang dilakukan oleh tim survei nasional PPIM UIN Jakarta.
Survei juga menemukan bahwa laki-laki lebih menganggap manusia sebagai penyebab perubahan iklim. Sementara perempuan menganggap manusia dan alam sebagai penyebab perubahan iklim.
Laki-laki lebih banyak setuju penyebab perubahan iklim adalah kegiatan ekonomi, ulah manusia, gaya hidup, dan konspirasi.
Baca juga: Dikbud sebut perubahan iklim pengaruhi konsentrasi belajar siswa di NTB
Sedangkan perempuan lebih banyak yang setuju tanda akhir zaman sebagai penyebab terjadinya perubahan iklim.
"Laki-laki lebih banyak setuju penyebab perubahan iklim adalah pemerintah, ormas, perusahaan. Sementara perempuan lebih banyak yang setuju perubahan iklim karena individu," katanya.
Kemudian tiga isu yang dikhawatirkan laki-laki adalah politik, korupsi, dan kerusakan lingkungan. Sementara yang dikhawatirkan bagi perempuan adalah isu kesehatan, kriminalitas, dan polusi.
"Laki-laki lebih khawatir pada isu-isu publik. Jika perempuan lebih concerned ke isu-isu di area privat," katanya.
Baca juga: Perubahan iklim ancam keberadaan pulau-pulau kecil di NTB
Perilaku pro lingkungan yang dilakukan perempuan bersifat privat, seperti membawa kantong belanja, membawa wadah makan dan botol minum, mengkonsumsi produk yang isi ulang, hemat air, dan hemat listrik.
Sementara perilaku pro lingkungan yang dilakukan laki-laki bersifat publik, seperti petisi, donasi, kampanye, kerja bakti lingkungan, mengajak orang untuk peduli lingkungan, dan menegur orang yang buang sampah sembarangan.
Baca juga: KLHK meraih penghargaan Green Eurasia atas inisiatif kebijakan iklim
Baca juga: Perangi perubahan iklim perlu tindakan kolektif
"Yang mengetahui perubahan iklim, laki-laki 74 persen, perempuan 68 persen. Untuk yang tahu transisi energi, laki-laki 23 persen, perempuan 16 persen," kata Aptiani Nurjannah di Jakarta, Senin.
Hal ini berdasarkan hasil penelitian bertajuk "Ada Apa dengan Lingkungan, Analisis Gender dan Generasi" yang dilakukan oleh tim survei nasional PPIM UIN Jakarta.
Survei juga menemukan bahwa laki-laki lebih menganggap manusia sebagai penyebab perubahan iklim. Sementara perempuan menganggap manusia dan alam sebagai penyebab perubahan iklim.
Laki-laki lebih banyak setuju penyebab perubahan iklim adalah kegiatan ekonomi, ulah manusia, gaya hidup, dan konspirasi.
Baca juga: Dikbud sebut perubahan iklim pengaruhi konsentrasi belajar siswa di NTB
Sedangkan perempuan lebih banyak yang setuju tanda akhir zaman sebagai penyebab terjadinya perubahan iklim.
"Laki-laki lebih banyak setuju penyebab perubahan iklim adalah pemerintah, ormas, perusahaan. Sementara perempuan lebih banyak yang setuju perubahan iklim karena individu," katanya.
Kemudian tiga isu yang dikhawatirkan laki-laki adalah politik, korupsi, dan kerusakan lingkungan. Sementara yang dikhawatirkan bagi perempuan adalah isu kesehatan, kriminalitas, dan polusi.
"Laki-laki lebih khawatir pada isu-isu publik. Jika perempuan lebih concerned ke isu-isu di area privat," katanya.
Baca juga: Perubahan iklim ancam keberadaan pulau-pulau kecil di NTB
Perilaku pro lingkungan yang dilakukan perempuan bersifat privat, seperti membawa kantong belanja, membawa wadah makan dan botol minum, mengkonsumsi produk yang isi ulang, hemat air, dan hemat listrik.
Sementara perilaku pro lingkungan yang dilakukan laki-laki bersifat publik, seperti petisi, donasi, kampanye, kerja bakti lingkungan, mengajak orang untuk peduli lingkungan, dan menegur orang yang buang sampah sembarangan.
Baca juga: KLHK meraih penghargaan Green Eurasia atas inisiatif kebijakan iklim
Baca juga: Perangi perubahan iklim perlu tindakan kolektif