Mataram, (Antaranews NTB) - Lima bulan berselang pascabencana alam gempa bumi di Pulau Lombok, jejak musibah dapat terlihat di sekelilingi Pulau Lombok dari ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat, Mataram ke arah Tanjung, Kabupaten Lombok Utara.

Dari tempat tersebut menuju Kecamatan Gangga, Kayangan sampai Bayan, dan kalau perlu masuki jalan-jalan kecil, maka terpampang potret sesungguhnya kondisi korban gempa di tanah Lombok yang terjadi pada 29 Juli 2018 dan gempa-gempa susulan berikutnya.

Fakta nyata terbentang, bukan hanya informasi berupa "katanya, katanya saja" saja yang berseliweran di media sosial dan percakapan warga.

Di tempat itu sebagian anak bangsa sedang jatuh bangun menghadapi musim penghujan yang baru tiba sementara mereka masih hidup dengan mengandalkan tenda-tenda biru yang menjadi atap rumah sementata. Udara dingin bercampur tetesan air hujan yang menyelusup ke sela-sela jahitan tenda itu, menjadi peristiwa harian yang harus mereka terima.

Belum terlihat hunian tetap (huntap) seperti yang digaung-gaungkan melalui suara merdu penguasa, sebagai janji untuk membantu korban bencana.

Janji-janji tersebut seolah kini bisu, tidak ada yang mempedulikan jeritan hati korban bahkan kalah nyaring dengan persiapan pemilihan presiden (pilpres) 2019.

Hunian tetap yang berdiri sejauh ini merupakan hasil kerja mandiri warga alias tanpa mendapat bantuan dari pemerintah untuk membangunnya.

Harus diakui memang ada lembaga atau pejabat yang datang secara pribadi ke Lombok, meskipun juga tercium aroma pencitraan tetapi kehadiran mereka belum mampu ikut menyelesaikan penderitaan korban.

Selama lima bulan menanti bantuan, warga terlihat letih termasuk harus mengurus persyaratan dengan sederet birokrasi.

Di beberapa titik pemerintah sudah membangun hunian sementara atau huntara, namun sayang proses pembangunannya tidak menyesuaikan dengan kontur geografis setempat, misalnya membangun di tanah lapangan yang berceruk. Akibatnya saat hujan tiba, huntara yang pun tergenang air, sehingga penghuni harus kerepotan menghadapinya sembari menahan udara dingin.

Seorang warga Desa Mambalan, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat, Apink Alkaff, Minggu, bahwa dia belum melihat ada upaya pemerintah dalam membangunan huntap di wilayahnya.

"Untuk di wilayah kami, huntap bantuan pemerintah itu belum ada," ujar inisiator komunitas relawan Mata Kali yang mendedikasikan kegiatan kemanusiaannya untuk mendampingi korban gempa di wilayah Lombok Barat bagian Utara tersebut.

Meski demikian, Apink yang telah bergerak bersama kelompok pemuda dari desanya ini membantu korban gempa dengan cara mandiri. Berbagai bantuan dari para donatur dimanfaatkannya bersama komunitas relawan Mata Kali untuk membangun berbagai fasilitas kebutuhan korban gempa.

"Sekarang kami sedang membangun beberapa masjid di sejumlah titik desa. Jadi tidak hanya di desa kami saja, desa yang ada di sekitar juga menjadi sasaran kami untuk menyalurkan bantuan dari donatur," ujarnya.

Sarana belajar mengajar untuk anak-anak sekolah, saluran pipa air bersih, fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK), maupun hunian sementara, jelasnya banyak yang sudah bisa dimanfaatkan korban gempa.

Kondisi sedikit berbeda dialami korban gempa dari Lombok Utara yang tinggal dekat dengan gerbang jalur pendakian menuju kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR).

Nur Saad, warga Dusun Senaru, Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, mengatakan bahwa di desanya belum nampak adanya pembangunan huntap seperti yang dijanjikan pemerintah.

"Belum ada huntap. Bagaimana mau ada, yang jadi syarat pembangunannya saja belum ada, seperti pokmas (kelompok masyarakat) itu belum ada di sini," kata Nur yang berprofesi sebagai pegiat wisata pendakian dari gerbang Senaru.

Padahal sudah ada kontraktor yang menawarkan diri untuk membantu korban gempa membangun huntap atau pun fasilitas umum di wilayah setempat.

"Malah kontraktornya siap memberikan sosialisasi huntap yang direncanakan dari pemerintah itu," ujarnya.

Namun kembali lagi, sebutnya aparatur pemerintah desa yang ada di wilayah setempat acuh dengan upaya warganya ini.

"Saya sudah coba sampaikan ini ke kepala dusun, sambungkan dengan pihak desa, tapi tidak ada respon. Jadi bagaimana mau jalan, bagaimana mau ada huntap kalau begini kondisinya," ucap Nur.

Begitu juga dengan yang disampaikan Rusmala, warga Desa Sembalun, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur. Pegiat wisata yang tinggal di kaki Gunung Rinjani bagian Timur ini juga mengeluhkan hal senada dengan korban gempa lainnya.

"Belum ada huntap di sini. Tidak tahu kapan dibangun, sejauh ini yang saya lihat warga pada mandiri, ada yang bertahan di dalam tenda, ada juga yang sudah bangun rumahnya sendiri tapi itu lagi, mereka utang," kata Rusmala, yang juga berprofesi sebagai petani kebun stroberi dan kopi di Sembalun.



Huntap kebanjiran

Nursimah, ibu dua anak dari Dusun Longken, Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, yang ditemui Antara ketika sedang berkumpul dengan warga setempat mengeluhkan janji-janji pemerintah. Mereka mengaku jenuh dengan kegiatan pemerintah yang tak kunjung tuntas melakukan rapat pembahasan huntap tersebut.

Nursimah bersama warga Dusun Longken, Desa Sajang, berharap pemerintah untuk segera mencairkan dana bantuan tersebut, mengingat musim penghujan telah tiba.

"Berapa saja sudah walaupun Rp30 juta dikasih, saya tidak masalah, yang penting cepat dicairkan," kata Nursimah, warga yang rumahnya telah tercatat dalam kategori rusak berat di Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Selasa.

Selain Nursimah, warga lainnya, Ahmad yang juga mendengarkan pernyataan tersebut meminta hal yang sama kepada pemerintah.

"Ini harus cepat kalau tidak entar tenda kami duluan dilarikan hujan angin," ujarnya.

Kepala Desa Sajang Lalu Kanahan mengaku bahwa warga kerap datang dan mempertanyakan realisasi dari huntap tersebut.

Sejak konsep huntap mulai disosialisasikan pemerintah, tegasnya, hingga saat ini belum ada satu pun bangunan yang berdiri di Kecamatan Sembalun.

"Ini fakta di lapangan, sampai dua bulan ini belum ada realisasi pembangunan di Sembalun," ujarnya.

Sama halnya dengan yang disampaikan Kepala Desa Timba Gading, Ridwan Hardi bahwa pihaknya sering bertatap muka dengan pemerintah daerah dan membahas terkait huntap tersebut.

"Koordinasi dan laporan kondisi perkembangan sering kita komunikasikan dengan bupati, terakhir pekan lalu. Tapi apa yang menjadi kendala realisasinya belum juga dilaksanakan, kita belum tahu pasti," kata Ridwan Hardi.

Kesemuanya itu merupakan murni jeritan dari anak bangsa tanpa ada sedikitpun tendensi untuk menjatuhkan nama baik pemerintah. Karena itu, stop eksploitasi mereka hanya demi pencitraan. Segeralah bangun hunian tetap dengan tanpa segudang birokrasi yang memusingkan mereka.

Pacabencana gempa bumi Lombok pemerintah memang memberikan pertolongan dan bantuan seperti yang diungkapkan oleh staf ahli Menteri Sosial Bidang Perubahan dan Dinamika Sosial, Asep Sasa Purnama, hingga Agustus 2018 pemerintah telah menyalurkan bantuan bernilai Rp1,2 triliun dalam bentuk santunan dan pangan.

Presiden Joko Widodo juga telah menyampaikan langsung bantuan untuk perbaikan rumah rusak berat yang telah diverifikasi sebanyak 5.293 unit kepada korban gempa Lombok di Kecamatan Pemenang, Lombok Utara pada 2 September lalu. Bantuan langsung tersebut ditransfer oleh Pemerintah dalam bentuk tabungan BRI.

Namun masih banyak korban lainnya yang masih menanti bantuan seperti yang sudah dijanjikan oleh pemerintah.

Hidup sebagai pengungsi dengan fasilitas serba terbatas menuntut kesabaran, sehingga jeritan kerinduan korban gempa atas pemenuhan janji untuk mendapat bantuan untuk membangun hunian yang aman dan nyaman juga menjadi keniscayaan untuk terpenuhi.

Pewarta : Riza Fahriza
Editor : Dimas
Copyright © ANTARA 2024