Mataram (Antaranews NTB) - Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Mataram HM Kemal Islam mengatakan, isu tentang penarikan dana bantuan rumah tahan gempa meresahkan ratusan kepala keluarga yang menjadi korban gempa bumi di kota ini.
"Isu-isu seperti itu sebaiknya jangan dihembuskan sebab hal itu sangat meresahkan warga terdampak gempa yang sebenarnya juga sudah tidak tahan dengan kondisi mereka saat ini," katanya kepada sejumlah wartawan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Senin.
Pernyataan itu dikemukakannya menanggapi adanya isu pencabutan dana bantuan pembangunan rumah tahan gempa baik berupa rumah instan sederhana sehat (Risha) maupun rumah konvensional (Riko), karena pemerintah pusat menilai proses pembangunannya lambat.
Kemal mengatakan, dalam proses pembangunan Risha dan Riko sebenarnya tidak ada yang lambat. Justru dalam hal ini pemerintah pusat bisa membantu daerah untuk melakukan penekanan terhadap BUMN penyedia panel dan aksesori Risha.
"Yang menjadi persoalan dalam pembangunan rumah tahan gempa jenis Risha adalah panel dan aksesorinya atau baut yang harus sesuai dengan standar," katanya.
Untuk memenuhi kebutuhan panel, pemerintah kota telah bekerja sama dengan lima aplikator, namun kendala lagi pada penyediaan aksesorinya yang belum ada sementara masyarakat tidak boleh menggunakan aksesori lain di luar spesifikasi yang telah ditetapkan.
"Saya saja sudah coba membeli aksesori baut lain, ternyata saat mau dipasang kena tegur tim pengawas. Jadi kita harus menunggu aksesori standar dari pemerintah," katanya.
Terkait dengan itu, Kemal berharap, isu-isu tentang penarikan dana bantuan terhadap korban gempa bumi tidak lagi dihembuskan hanya karena daerah dinilai lambat. Apalagi batas waktu yang diberikan pemerintah pusat untuk menyelesaikan program pembangunan rumah tahan gempa bagi korban hingga Juni 2019.
"Jadi waktunya masih jauh. Jika ingin mempercepat realisasi program, pemerintah pusat harus bisa membantu kita. Jangan bilang kita lambat," katanya lagi.
Sementara menyinggung tentang program pembangunan Riko, Kemal mengatakan, untuk masyarakat yang memilih Riko, saat ini tidak ada masalah. Akan tetapi, proses pembangunan Riko memang relatif lambat sebab semua serba manual.
Secara rata-rata, lanjutnya, program pembangunan rumah tahan gempa di Kota Mataram baik jenis Risha maupun Riko sudah mencapai 15 persen dari 850 unit rumah yang dirobohkan.
Akan tetapi, dari sekitar 1.300 rumah rusak berat yang mendapat bantuan pembangunan rumah tahan gempa di Mataram, semuanya sudah membentuk pokmas dan validasi.
"Memang masih ada yang belum mau rumahnya dirobohkan secara total, tetapi mereka siap dirobohkan saat proses pembangunan rumah tahan gempa dimulai," ujarnya.
"Isu-isu seperti itu sebaiknya jangan dihembuskan sebab hal itu sangat meresahkan warga terdampak gempa yang sebenarnya juga sudah tidak tahan dengan kondisi mereka saat ini," katanya kepada sejumlah wartawan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Senin.
Pernyataan itu dikemukakannya menanggapi adanya isu pencabutan dana bantuan pembangunan rumah tahan gempa baik berupa rumah instan sederhana sehat (Risha) maupun rumah konvensional (Riko), karena pemerintah pusat menilai proses pembangunannya lambat.
Kemal mengatakan, dalam proses pembangunan Risha dan Riko sebenarnya tidak ada yang lambat. Justru dalam hal ini pemerintah pusat bisa membantu daerah untuk melakukan penekanan terhadap BUMN penyedia panel dan aksesori Risha.
"Yang menjadi persoalan dalam pembangunan rumah tahan gempa jenis Risha adalah panel dan aksesorinya atau baut yang harus sesuai dengan standar," katanya.
Untuk memenuhi kebutuhan panel, pemerintah kota telah bekerja sama dengan lima aplikator, namun kendala lagi pada penyediaan aksesorinya yang belum ada sementara masyarakat tidak boleh menggunakan aksesori lain di luar spesifikasi yang telah ditetapkan.
"Saya saja sudah coba membeli aksesori baut lain, ternyata saat mau dipasang kena tegur tim pengawas. Jadi kita harus menunggu aksesori standar dari pemerintah," katanya.
Terkait dengan itu, Kemal berharap, isu-isu tentang penarikan dana bantuan terhadap korban gempa bumi tidak lagi dihembuskan hanya karena daerah dinilai lambat. Apalagi batas waktu yang diberikan pemerintah pusat untuk menyelesaikan program pembangunan rumah tahan gempa bagi korban hingga Juni 2019.
"Jadi waktunya masih jauh. Jika ingin mempercepat realisasi program, pemerintah pusat harus bisa membantu kita. Jangan bilang kita lambat," katanya lagi.
Sementara menyinggung tentang program pembangunan Riko, Kemal mengatakan, untuk masyarakat yang memilih Riko, saat ini tidak ada masalah. Akan tetapi, proses pembangunan Riko memang relatif lambat sebab semua serba manual.
Secara rata-rata, lanjutnya, program pembangunan rumah tahan gempa di Kota Mataram baik jenis Risha maupun Riko sudah mencapai 15 persen dari 850 unit rumah yang dirobohkan.
Akan tetapi, dari sekitar 1.300 rumah rusak berat yang mendapat bantuan pembangunan rumah tahan gempa di Mataram, semuanya sudah membentuk pokmas dan validasi.
"Memang masih ada yang belum mau rumahnya dirobohkan secara total, tetapi mereka siap dirobohkan saat proses pembangunan rumah tahan gempa dimulai," ujarnya.