Kuala Lumpur (ANTARA) - Pada 9 Desember 2024. Hujan sepanjang hari dari malam hingga siang mengguyur wilayah barat Malaysia, menciptakan udara sejuk rentang 24-28 derajat Celcius. Tak tampak sinar Matahari akibat tertutup awan tebal.
Nasrudin (45 tahun) duduk termangu sembari menyesap kopi hitam yang tertuang di dalam gelas gabus. Dia menumpuk tangan di atas meja bundar beralas taplak kain, lalu seketika urat-urat besar menonjol jelas dari ujung jemari hingga lengan menyatu dengan warna kulit kecoklatan.
"Saya berada di sini demi merancang masa depan keluarga kecil yang selalu menunggu untuk pulang," ujarnya kepada ANTARA.
Pria yang memiliki satu anak itu sudah 13 tahun menjadi pekerja migran pada sektor perkebunan di daerah Selangor, Malaysia. Dia mendapat tugas memetik buah sawit pada ladang Tuan Mee.
Jiwa seorang ayah, sekaligus suami, begitu kental melekat. Setiap malam selepas bekerja seharian, dia selalu menyempatkan waktu untuk menelepon keluarga.
Isteri bermukim di Lombok, berjualan di sekolah, sedangkan anak semata wayang yang baru saja lulus sekolah tinggi pariwisata, kini menetap di Bali untuk mencari pekerjaan. Nasrudin sebetulnya punya tiga anak, tetapi dua meninggal dunia.
Dia menerima upah setiap bulan terbilang besar untuk kelas pemetik buah, yaitu 4.000 sampai 5.000 ringgit atau sekitar Rp14 juta hingga Rp17 juta. Biaya hidup tergolong murah hanya sekitar 1.000 ringgit atau Rp3,75 juta setiap bulan.
Meski upah lumayan besar, namun dia enggan selamanya bekerja di Malaysia. Nasrudin mengirimkan uang Rp7-10 juta kepada keluarganya setiap bulan. Uang itu untuk membiayai sekolah anak semata wayangnya agar kelak punya pekerjaan layak di Indonesia dan tidak jauh dari keluarga menjadi pekerja migran seperti dirinya.
Setelah anaknya mendapatkan pekerjaan mapan dengan upah layak, Nasrudin berkomitmen pulang ke Lombok untuk membantu istri berjualan di sekolah. Dia berharap dapat menghabiskan waktu tua bersama keluarga kecilnya di kampung halaman yang berada di Desa Kebun Talo, Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Dedaunan pohon sawit bergoyang pelan tertiup angin barat daya, seolah mengamini harapan yang dilantunkan Nasrudin. Kulit buah sawit yang berwarna hitam kecokelatan menandakan waktu panen telah tiba.
Sejarah panjang
Nusa Tenggara Barat menjadi provinsi keempat penyumbang pekerja migran terbanyak di Indonesia, setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BPMI) mencatat ada 33.949 pekerja migran yang berasal dari Nusa Tenggara Barat pada tahun 2023.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Nusa Tenggara Barat menyebut 25 ribu orang tercatat menjadi pekerja migran sepanjang tahun 2024. Dari keseluruhan pekerja migran asal Nusa Tenggara Barat, sebanyak 70 persen bekerja di sektor perkebunan, terutama kelapa sawit.
Kepala Disnakertrans Nusa Tenggara Barat I Gede Putu Aryadi mengatakan penduduk Lombok mendominasi pekerja migran asal Nusa Tenggara Barat. Garis sejarah menuntun orang-orang asal daerah itu menjadi buruh pemetik buah sawit di Malaysia.
Meski tidak ada perkebunan kelapa sawit di Lombok, tapi ada banyak pohon kelapa. Mereka sudah mahir memetik kelapa sejak kecil, sehingga saat diterima kerja oleh perusahaan sawit Malaysia, mereka tidak terlalu lama beradaptasi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2023 luas perkebunan kelapa rakyat di Nusa Tenggara Barat mencapai 57,9 ribu hektare, dengan angka produksi sebanyak 50,2 ribu ton.
Di Malaysia, pekerja migran asal Lombok selalu dicari oleh perusahaan-perusahaan kelapa sawit karena mereka secara fisik lebih kuat dan gigih ketimbang pekerja migran dari negara lain, serta punya budaya yang hampir sama dengan Melayu.
Senior manajer bernama Chin Yik Loon dari perkebunan kelapa sawit Tuan Mee menuturkan pihaknya memberdayakan pekerja asal Lombok selama dua dekade.
Dari total 2.013 hektare lahan yang dimiliki oleh perusahaan itu, jumlah pekerja asal Indonesia mendominasi, dengan komposisi mencapai 43 persen dari keseluruhan pekerja yang mencapai 2.000 orang. Mayoritas pekerja migran Indonesia di wilayah itu berasal dari Pulau Lombok.
Sebagai perusahaan yang mengusung keberlanjutan, pihaknya selalu memberikan perlindungan dan keamanan kepada setiap pekerja migran dengan asuransi kesehatan, perumahan, dan gaji yang layak. Aktivitas perkebunan secara perlahan mulai beralih dari tradisional menjadi modern menggunakan mesin agar lebih efisien dan pekerja tidak terlalu letih.
Dari tahun ke tahun, para pemuda Lombok silih berganti mengisi ruang-ruang kosong pekerjaan kasar di negeri jiran itu. Mereka datang dengan mimpi besar untuk memperbaiki ekonomi keluarga, namun tidak sedikit yang menjadi pekerja migran untuk melihat dunia luar dengan lebih leluasa.
Ingin pulang
Arjunika Hendra (22 tahun) mengubur dalam-dalam impiannya untuk bekerja di dalam negeri karena gagal masuk polisi dan tentara. Selama dua tahun, usai menamatkan pendidikan sekolah menengah atas, dia mengikuti beragam tes agar masuk militer, namun garis tangan berkata lain.
Pada Agustus 2022, Hendra memutuskan berangkat ke Malaysia menjadi pekerja migran bidang perkebunan kelapa sawit, mengikuti jejak abang dan sepupu. Pemuda jangkung asal Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, itu bertugas memasukkan buah yang sudah dipetik ke dalam truk dengan gaji sekitar 2.500 ringgit atau Rp8,96 juta per bulan.
Cerita tentang gaji besar selalu menarik perhatian para pemuda Lombok untuk menjemput mimpi di luar negeri. Meski rumput tetangga lebih hijau, namun di dalam hati kecil mereka tetap lebih enak berada di kampung halaman.
Daya tahan pekerja migran muda Lombok rata-rata hanya sanggup tiga tahun. Banyak perusahaan perkebunan di Malaysia mengakui bahwa pekerja migran Lombok punya kemampuan di atas rata-rata pekerja migran lain dan berharap mereka tidak undur diri lebih cepat.
Lapangan pekerjaan yang sempit di Nusa Tenggara Barat menjadi akar masalah banyak penduduk merantau ke luar negeri. Angka remitansi atau uang yang dikirim pekerja migran ke Nusa Tenggara Barat hanya Rp195 miliar terhitung sejak Januari-Oktober 2024.
Meski Nusa Tenggara Barat dianugerahi bentang alam yang indah, bak surga yang terhampar di Bumi, namun potensi itu belum mampu menggerakkan ekonomi dan mengangkat derajat penduduk setempat.
Pada 2019, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Nusa Tenggara Barat menyebut jumlah kunjungan wisatawan ke Nusa Tenggara Barat mencapai 3,70 juta orang yang terdiri dari wisatawan Nusantara sebanyak 1,55 juta orang dan wisatawan mancanegara ada 2,15 juta orang. Nilai kontribusi pariwisata melalui akomodasi dan makan-minum hanya sebesar Rp2,68 triliun.
Angka itu tergolong sangat kecil ketimbang Provinsi Bali yang bersebelahan dengan Nusa Tenggara Barat. Dalam periode yang sama, Bali kedatangan 16,82 juta wisatawan dan menorehkan kontribusi pariwisata sebesar Rp58,69 triliun.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, kini terus berupaya agar lapangan pekerjaan terbuka luas bagi penduduk lokal. Arah pembangunan jangka panjang Nusa Tenggara Barat pada 2025-2045 berfokus terhadap pembangunan ekonomi berbasis pariwisata dan industri pengolahan.
Menjadi pekerja migran memang menjanjikan secara ekonomi. Oleh karena itu, keterbatasan pilihan lapangan pekerjaan di daerah harus segera diatasi agar tatanan sosial-budaya menjadi lebih stabil.
Nusa Tenggara Barat merupakan daerah pertanian, peternakan, dan maritim, dengan jumlah pulau mencapai 403. Bila generasi muda lokal meninggalkan daerah untuk bekerja ke negara lain, lantas siapa yang kelak menggarap tanah, laut, hewan ternak, dan industri pariwisata di Nusa Tenggara Barat?
Nusa Tenggara Barat tampaknya harus belajar kepada Kota Denpasar di Bali yang meraih predikat kota paling minim pengangguran di Indonesia. Seiring upaya pemerintah pusat dan daerah untuk memperbaiki kondisi ekonomi dari pariwisata, orang-orang Lombok dan sekitarnya, akhirnya akan memilih memilih bekerja di kampung halamannya sendiri, dari pada merantau ke negeri orang dan jauh dari keluarga.