Jakarta (ANTARA) - Sekjen PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terkait kasus suap yang menjerat Harun Masiku.
Penetapan nama Hasto Kristiyanto sebagai tersangka tertuang dalam surat perintah penyidikan atau sprindik bernomor Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024 tanggal 23 Desember 2024.
Karena serah terima jabatan pimpinan KPK telah dilakukan pada 20 Desember 2024, artinya surat perintah penyidikan tersebut ditandatangani oleh pimpinan baru KPK.
Sebagai informasi, Harun Masiku ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam perkara dugaan pemberian hadiah atau janji kepada penyelenggara negara terkait dengan penetapan calon anggota DPR RI terpilih periode 2019-2024 di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia.
Baca juga: KPK tetapkan Sekjen PDIP Hasto tersangka suap Harun Masiku
Baca juga: KPK tetapkan Hasto tersangka perintangan penyidikan Harun Masiku
Walau demikian, Harun Masiku selalu mangkir dari panggilan penyidik KPK hingga dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak 17 Januari 2020.
Lalu, siapa sebenarnya Hasto Kristiyanto? Sosok yang menjadi tersangka baru dalam kasus suap dan korupsi yang melibatkan Harun Masiku ini.
Hasto Kristiyanto lahir di Yogyakarta pada 7 Juli 1966. Ia merupakan putra dari pasangan Antonius Krido Pardjono dan Yohana Sutami. Semasa kecil, Hasto dikenal memiliki minat besar terhadap budaya Jawa, khususnya kisah-kisah wayang.
Salah satu cerita favoritnya adalah Mahabharata, yang membentuk pandangannya tentang perjuangan antara kebenaran dan kebatilan.
Hasto menempuh pendidikan dasar di SD Gentan Yogyakarta (1972–1979), dilanjutkan ke SMP Negeri Gentan Yogyakarta (1979–1982), dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Kolese De Britto Yogyakarta (1982–1985). Masa remajanya diwarnai dengan minat mendalam terhadap politik dan budaya, serta aktivitas dalam berbagai organisasi.
Baca juga: KPK cegah Hasto keluar negeri setelah ditetapkan tersangka
Pada 1985, ia diterima di Fakultas Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada (UGM). Selama masa kuliah, Hasto menunjukkan bakat kepemimpinan dan aktif dalam organisasi mahasiswa, hingga dipercaya menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik UGM.
Dalam masa itu, ia mulai terinspirasi oleh pemikiran Bung Karno, yang kelak menjadi landasan ideologi politiknya.
Hasto melanjutkan pendidikan S-2 di STIE Prasetya Mulya Business School (1997–2000) dan meraih gelar S-3 di bidang Ilmu Pertahanan dari Universitas Pertahanan, Bogor (2020–2022).
Disertasinya yang berjudul "Diskursus Pemikiran Geopolitik Soekarno dan Relevansinya terhadap Pertahanan Negara" turut memberikan kontribusi penting terhadap kajian geopolitik Sukarno.
Baca juga: Selain Hasto, KPK juga tetapkan Donyy Tri sebagai tersangka atas kasus Harun Masiku
Karier profesional
Setelah lulus dari UGM pada 1991, Hasto memulai karier di PT Rekayasa Industri, sebuah BUMN yang bergerak di bidang rekayasa dan konstruksi.
Ia terlibat dalam berbagai proyek strategis, termasuk pengembangan pabrik ammonia dan kelapa sawit, serta studi pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir.
Kariernya di Rekayasa Industri berlangsung hingga 2002, dengan posisi terakhir sebagai Kepala Divisi Agroindustri.
Baca juga: Pakar: Tak ada politisasi dalam penetapan Sekjen PDIP Hasto jadi tersangka
Baca juga: Komisi III: Tak guna debatkan ada tidaknya politisasi penetapan Hasto sebagai tersangka
Karier politik
Minat Hasto terhadap politik sudah tumbuh sejak awal 1990-an. Ia belajar banyak dari akademisi UGM, Cornelis Lay, serta bergaul dengan para senior PDI di Jawa Timur.
Karier politiknya dimulai sebagai "tukang ketik" dalam rapat-rapat partai. Pada 2004, ia terpilih menjadi anggota DPR RI mewakili daerah pemilihan Jawa Timur, dan duduk di Komisi VI yang bermitra dengan berbagai kementerian strategis.
Sebagai anggota DPR, Hasto aktif dalam pembentukan sejumlah undang-undang penting, termasuk UU Penanaman Modal (2007) dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (2008).
Ia juga dikenal sebagai salah satu pengusul hak angket untuk isu-isu besar, seperti penolakan impor beras dan kenaikan harga BBM.
Baca juga: PDIP taati proses hukum terkait penetapan Hasto sebagai tersangka
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan
Hasto mulai menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan pada 2014, menggantikan Tjahjo Kumolo yang diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri. Kepemimpinannya secara resmi dikukuhkan pada Kongres IV PDI Perjuangan tahun 2015.
Hasto dikenal sukses melakukan restrukturisasi manajemen partai dengan prinsip modernisasi yang tetap mengedepankan semangat kerakyatan.
Keberhasilannya membawa PDI Perjuangan menjadi pemenang Pemilu 2019, sekaligus mendominasi berbagai Pilkada, membuatnya diangkat kembali sebagai Sekjen untuk periode 2019–2024. Hal ini menjadikannya satu-satunya Sekjen PDI Perjuangan yang menjabat dua periode berturut-turut.
Baca juga: PDIP sebut Penetapan tersangka Hasto kental politisasi
Baca juga: KPK: Tidak ada politisasi penetapan tersangka Hasto
Peran dalam kampanye politik
Hasto juga memainkan peran penting dalam kampanye politik nasional. Ia menjadi sosok kunci di balik kemenangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilkada DKI Jakarta 2012.
Pada Pilpres 2014 dan 2019, Hasto bertugas memimpin koordinasi politik untuk kemenangan Jokowi, baik sebagai Juru Bicara Tim Sukses maupun Sekretaris Tim Kampanye Nasional.
Baca juga: KPK: Sebagian uang suap kasus Harun Masiku berasal dari Hasto
Pemikiran Sukarnois
Bagi Hasto, ideologi Sukarnois tidak sekadar pemikiran politik, melainkan menjadi dasar spiritual perjuangan. Pandangan ini ia tuangkan dalam berbagai kebijakan strategis partai, termasuk saat ia menyusun disertasi yang menyoroti relevansi geopolitik Sukarno terhadap pertahanan negara.
Kehidupan pribadi
Hasto menikah dengan Maria Ekowati dan dikaruniai dua anak, Ignatius Windu Hastomo dan Agatha Puspita Asri.
Baca juga: Sosok Harun Masiku, Karier politik dan kasus hukumnya