Kisahnya berawal dari seorang pendakwah berasal dari Palembang, Sumatera Selatan bernama Lebai Sandar, yang menjejakkan kakinya di tanah Lombok, tepatnya di Pelabuhan Ampenan yang saat ini dikenal sebagai kota tua di pusat pemerintahan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Lebai Sandar harus berjuang menyebarkan agama Islam di saat masyarakat daerah itu, masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Hingga akhirnya berdirilah Masjid Jami Lebai Sandar, di Lingkungan Dayan Peken untuk kegiatan syiar Islam.
Namun tidak ada catatan yang pasti kapan Lebai Sandar menginjakkan kakinya di Pelabuhan Ampenan. Dari jejak tulisan di masjid, tertulis dirikan pada 17 Agustus 1904 namun bagi orang tua dahulu itu tanggal pembangunan renovasi tahap dua.
Sahlanuddin, pengurus Masjid Lebai Sandar yang mengaku juga keturunan keenam dari Lebai Sandar menyebutkan dari cerita orang tua dahulu, bahwa dahulunya masjid itu masih berdindingkan tanah dan beratapkan alang-alang.
"Persis seperti Masjid Kuno Bayan Beleq di Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara," katanya.
Kini, Masjid Jami Lebai Sandar sudah bangunan modern dan jejak bangunan masa lalunya sudah tidak ada yang tersisa. Bagi warga setempat dipercaya Masjid Lebai Sandar menjadi awal syiar Islam di daerah Pelabuhan Ampenan tersebut.
Saat ini, sejumlah peninggalan dari Lebai Sandar masih tersimpan dengan baik oleh pengurus masjid, seperti piring, gelas, dan nampan serta manuskrip Al Quran, serta tongkat dan mimbar masjid yang digunakan Lebai Sandar kala itu.
Sebenarnya Lebai Sandar tidak seorang diri tiba di Lombok, namun dirinya bersama adiknya yang dikenal dengan nama Lebai Sari. Lebai Sari inilah yang menjadi penyebar Islam di Desa Kediri, Kabupaten Lombok Barat.
Kala itu, Lebai Sandar memilih berpisah dengan kakaknya yang menyebarkan Islam di daerah Ampenan dan sekitarnya. Jejak peninggalan Lebai Sari sendiri sampai sekarang dapat terlihat dimana daerah Desa Kediri dikenal sebagai Kota Santri mengingat banyaknya pondok pesantren di daerah tersebut.
Lebai Sari menikah di Desa Kediri memiliki seorang anak yang keturunannya saat ini berada di Kediri dan Ampenan. Sedangkan kakaknya Lebai Sandar menikah dengan perempuan asal Pulau Sumbawa namun tidak dikaruniai anak.
Jika mengacu kepada keterangan Sahlanuddin, bahwa dirinya merupakan generasi keenam dari Lebai Sandar, maka bisa dikatakan Lebai Sandar menjejakkan kakinya di Ampenan itu pada 1659. Memang tidak ada catatan tertulis keberadaan Lebai Sandar dalam mensyiarkan Islam di kawasan Ampenan tersebut.
Muhammad Shafwan dalam bukunya Ampenan Kota Tua, menyebutkan kedatangan Lebai Sandar dan Lebai Sari di Pulau Lombok, menjadi tonggak baru perjalanan penyebaran Islam.
"Sebagai wilayah yang heterogen, Ampenan gampang menerima kehadiran orang lain yang datang dari berbagai penjuru, termasuk kehadiran kedua tuan lebe tersebut," katanya.
Disebutkan, di tengah masyarakat yang memegang tradisi lokal yang kental dengan pengaruh Hindu-Bali, Lebai Sandar diam-diam melakukan dialog, menyampaikan pesan dan dakwah Islam baik secara perilaku maupun penyampaian tausiyah.
Dakwah dilakukan secara tekun dan sabar sehingga banyak warga yang tertarik dan menjadi pengikutnya. Diceritakan pula, upaya syiar Islam itu tidak mudah dan sempat mengalami kendala karena kedatangan Lebai Sandar itu tercium oleh Raja Bali yang berkuasa saat itu.
"Spontan kegiatan penyebaran pun mulai dilarang. Tidak tanggung-tanggung, penggunaan terompah yang biasa dipakai para pengikutnya untuk berwudlu dilarang keras untuk digunakan," katanya.
Islam masuk ke Lombok
Kapan Islam masuk ke Pulau Lombok?. Menjadi pertanyaan yang menarik dan dikupas secara pasti karena tentunya bisa dikaitkan sedikitnya dengan kehadiran Lebai Sandar dan Lebai Sari tersebut.
Dari sejumlah tulisan melalui buku diketahui masuknya Islam di Pulau Lombok itu pada setelah keruntuhannya Kerajaan Inferior saat itu, Majapahit pada 1478. Melalui Babad Lombok menyebutkan Sunan Ratu Giri memerintahkan syiar Islam ke Lombok.
"Bukti yang paling eksplisit menjelaskan kedatangan Islam di Lombok adalah Babad Lombok, bahwa Sunan Ratu Giri memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke Indonesia bagian utara," kata H Sudirman dalam bukunya Studi Sejarah dan Budaya Lombok.
Anak laki-lakinya Sunan Ratu Giri yang dikenal dengan nama Pangeran Perapen/Sunan Prapen, diperintahkan menyebarkan Islam ke Bali, Lombok dan Sumbawa.
Akhirnya Sunan Prapen berhasil mengislamkan Raja Lombok, serta kerajaan-kerajaan lainnya, seperti Pejanggik, Langko, Parwa, Sarwadadi, Bayan, Sokong dan Sasak (Lombok Utara).
"Pengakuan raja-raja untuk memeluk ajaran Islam dan mengatakan agama itu sebagai agama resmi, rakyatpun ikut pula mengakuinya, walaupun mereka pada kenyataannya tidak melaksanakan syariat agama baru tersebut," katanya.
Hal itu disadari oleh raja dan pimpinan agama, maka untuk meratakan dan meneguhkan agama Islam ini kepada seluruh rakyat, raja-raja di Lombok mengubah adat istiadat lama dan menyesuaikan diri dengan ajaran Islam.
Sesuai dengan misi yang diemban dari Ratu Sunan Giri, maka setelah mengislamkan kerajaan-kerajaan di Pulau Lombok, Sunan Prapen melanjutkan penyebaran Islam ke Sumbawa, Dompu dan Bima. "Sepeninggal Sunan Prapen, keadaan Islam di Lombok sangat menyedihkan karena kaum wanitanya menolak memeluk agama yang baru itu," katanya.
Ia menjelaskan hal itu disebabkan masih kuatnya pengaruh agama sebelumnya dan adanya pengaruh Karangasem di Bali sebagai kerajaan yang kuat dan tangguh. Akhirnya Sunan Prapen kembali ke Lombok, mendarat melalui Sugian untuk menyerang penduduk yang masih kafir.
Penyerangan tersebut menyebabkan penduduk Lombok terpecah tiga, yakni: kelompok yang melarikan diri dan mengungsi ke gunung-gunung masuk hutan dikenal dengan Orang Boda, kelompok yang takluk dan masuk Islam dikenal sebagai Waktu Lima.
"Kelompok yang hanya takluk di bawah kekuasaan Sunan Prapen dikenal sebagai penganut Wetu Telu," katanya.
Dalam bukunya, Sudirman menyebutkan hal yang sangat patut kita kagumi dan banggakan adalah sebegitu besar pertahanan kultur budaya, keyakinan agama yang dimiliki para orang tua kita di Pulau Lombok. "Sehingga sampai sekarang, agama Islam tetap bertahan bahkan berkembang semakin meningkat," katanya.
Lebai Sandar harus berjuang menyebarkan agama Islam di saat masyarakat daerah itu, masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Hingga akhirnya berdirilah Masjid Jami Lebai Sandar, di Lingkungan Dayan Peken untuk kegiatan syiar Islam.
Namun tidak ada catatan yang pasti kapan Lebai Sandar menginjakkan kakinya di Pelabuhan Ampenan. Dari jejak tulisan di masjid, tertulis dirikan pada 17 Agustus 1904 namun bagi orang tua dahulu itu tanggal pembangunan renovasi tahap dua.
Sahlanuddin, pengurus Masjid Lebai Sandar yang mengaku juga keturunan keenam dari Lebai Sandar menyebutkan dari cerita orang tua dahulu, bahwa dahulunya masjid itu masih berdindingkan tanah dan beratapkan alang-alang.
"Persis seperti Masjid Kuno Bayan Beleq di Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara," katanya.
Kini, Masjid Jami Lebai Sandar sudah bangunan modern dan jejak bangunan masa lalunya sudah tidak ada yang tersisa. Bagi warga setempat dipercaya Masjid Lebai Sandar menjadi awal syiar Islam di daerah Pelabuhan Ampenan tersebut.
Saat ini, sejumlah peninggalan dari Lebai Sandar masih tersimpan dengan baik oleh pengurus masjid, seperti piring, gelas, dan nampan serta manuskrip Al Quran, serta tongkat dan mimbar masjid yang digunakan Lebai Sandar kala itu.
Sebenarnya Lebai Sandar tidak seorang diri tiba di Lombok, namun dirinya bersama adiknya yang dikenal dengan nama Lebai Sari. Lebai Sari inilah yang menjadi penyebar Islam di Desa Kediri, Kabupaten Lombok Barat.
Kala itu, Lebai Sandar memilih berpisah dengan kakaknya yang menyebarkan Islam di daerah Ampenan dan sekitarnya. Jejak peninggalan Lebai Sari sendiri sampai sekarang dapat terlihat dimana daerah Desa Kediri dikenal sebagai Kota Santri mengingat banyaknya pondok pesantren di daerah tersebut.
Lebai Sari menikah di Desa Kediri memiliki seorang anak yang keturunannya saat ini berada di Kediri dan Ampenan. Sedangkan kakaknya Lebai Sandar menikah dengan perempuan asal Pulau Sumbawa namun tidak dikaruniai anak.
Jika mengacu kepada keterangan Sahlanuddin, bahwa dirinya merupakan generasi keenam dari Lebai Sandar, maka bisa dikatakan Lebai Sandar menjejakkan kakinya di Ampenan itu pada 1659. Memang tidak ada catatan tertulis keberadaan Lebai Sandar dalam mensyiarkan Islam di kawasan Ampenan tersebut.
Muhammad Shafwan dalam bukunya Ampenan Kota Tua, menyebutkan kedatangan Lebai Sandar dan Lebai Sari di Pulau Lombok, menjadi tonggak baru perjalanan penyebaran Islam.
"Sebagai wilayah yang heterogen, Ampenan gampang menerima kehadiran orang lain yang datang dari berbagai penjuru, termasuk kehadiran kedua tuan lebe tersebut," katanya.
Disebutkan, di tengah masyarakat yang memegang tradisi lokal yang kental dengan pengaruh Hindu-Bali, Lebai Sandar diam-diam melakukan dialog, menyampaikan pesan dan dakwah Islam baik secara perilaku maupun penyampaian tausiyah.
Dakwah dilakukan secara tekun dan sabar sehingga banyak warga yang tertarik dan menjadi pengikutnya. Diceritakan pula, upaya syiar Islam itu tidak mudah dan sempat mengalami kendala karena kedatangan Lebai Sandar itu tercium oleh Raja Bali yang berkuasa saat itu.
"Spontan kegiatan penyebaran pun mulai dilarang. Tidak tanggung-tanggung, penggunaan terompah yang biasa dipakai para pengikutnya untuk berwudlu dilarang keras untuk digunakan," katanya.
Islam masuk ke Lombok
Kapan Islam masuk ke Pulau Lombok?. Menjadi pertanyaan yang menarik dan dikupas secara pasti karena tentunya bisa dikaitkan sedikitnya dengan kehadiran Lebai Sandar dan Lebai Sari tersebut.
Dari sejumlah tulisan melalui buku diketahui masuknya Islam di Pulau Lombok itu pada setelah keruntuhannya Kerajaan Inferior saat itu, Majapahit pada 1478. Melalui Babad Lombok menyebutkan Sunan Ratu Giri memerintahkan syiar Islam ke Lombok.
"Bukti yang paling eksplisit menjelaskan kedatangan Islam di Lombok adalah Babad Lombok, bahwa Sunan Ratu Giri memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke Indonesia bagian utara," kata H Sudirman dalam bukunya Studi Sejarah dan Budaya Lombok.
Anak laki-lakinya Sunan Ratu Giri yang dikenal dengan nama Pangeran Perapen/Sunan Prapen, diperintahkan menyebarkan Islam ke Bali, Lombok dan Sumbawa.
Akhirnya Sunan Prapen berhasil mengislamkan Raja Lombok, serta kerajaan-kerajaan lainnya, seperti Pejanggik, Langko, Parwa, Sarwadadi, Bayan, Sokong dan Sasak (Lombok Utara).
"Pengakuan raja-raja untuk memeluk ajaran Islam dan mengatakan agama itu sebagai agama resmi, rakyatpun ikut pula mengakuinya, walaupun mereka pada kenyataannya tidak melaksanakan syariat agama baru tersebut," katanya.
Hal itu disadari oleh raja dan pimpinan agama, maka untuk meratakan dan meneguhkan agama Islam ini kepada seluruh rakyat, raja-raja di Lombok mengubah adat istiadat lama dan menyesuaikan diri dengan ajaran Islam.
Sesuai dengan misi yang diemban dari Ratu Sunan Giri, maka setelah mengislamkan kerajaan-kerajaan di Pulau Lombok, Sunan Prapen melanjutkan penyebaran Islam ke Sumbawa, Dompu dan Bima. "Sepeninggal Sunan Prapen, keadaan Islam di Lombok sangat menyedihkan karena kaum wanitanya menolak memeluk agama yang baru itu," katanya.
Ia menjelaskan hal itu disebabkan masih kuatnya pengaruh agama sebelumnya dan adanya pengaruh Karangasem di Bali sebagai kerajaan yang kuat dan tangguh. Akhirnya Sunan Prapen kembali ke Lombok, mendarat melalui Sugian untuk menyerang penduduk yang masih kafir.
Penyerangan tersebut menyebabkan penduduk Lombok terpecah tiga, yakni: kelompok yang melarikan diri dan mengungsi ke gunung-gunung masuk hutan dikenal dengan Orang Boda, kelompok yang takluk dan masuk Islam dikenal sebagai Waktu Lima.
"Kelompok yang hanya takluk di bawah kekuasaan Sunan Prapen dikenal sebagai penganut Wetu Telu," katanya.
Dalam bukunya, Sudirman menyebutkan hal yang sangat patut kita kagumi dan banggakan adalah sebegitu besar pertahanan kultur budaya, keyakinan agama yang dimiliki para orang tua kita di Pulau Lombok. "Sehingga sampai sekarang, agama Islam tetap bertahan bahkan berkembang semakin meningkat," katanya.