Mataram (ANTARA) - Majelis hakim tingkat banding pada Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat mengubah vonis pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek Rumah Sakit Pratama Maman yang merangkap sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) dari Dinas Kesehatan Kabupaten Dompu dari 8 menjadi 7 tahun penjara.

Majelis hakim yang diketuai I Wayan Wirjana dengan anggota Gede Ariawan dan Rodjai S. Irawan menyatakan hal tersebut saat membacakan amar putusan banding milik Maman di Pengadilan Tinggi NTB, Kamis.

Majelis hakim dalam sidang terbuka melalui siaran langsung di kanal YouTube Pengadilan Tinggi NTB tersebut membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram, yang menjatuhkan pidana hukuman 8 tahun penjara terhadap Maman.

"Mengubah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram Nomor: 6/PID.TPK/2025/PT MTR, tanggal 14 Januari 2025 yang dimintakan banding tersebut," kata I Wayan Wirjana membacakan amar putusan Maman.

Baca juga: Pengadilan Tipikor vonis PPK proyek RS Pratama Dompu 8 tahun penjara

Hakim dalam putusan tersebut hanya mengubah pidana sebelumnya dan pidana kurungan pengganti denda dari yang sebelumnya 4 bulan menjadi 3 bulan.

Pengadilan tingkat pertama sebelumnya menjatuhkan pidana 8 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan pengganti.

Majelis hakim menetapkan putusan tersebut dengan menyatakan terdakwa Maman telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana turut serta melakukan korupsi sebagaimana dalam dakwaan primer penuntut umum.

Dakwaan primer tersebut berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Baca juga: Hakim: Audit BPKP tak dapat jadi bukti korupsi proyek RS Pratama Dompu

Sesuai dengan dakwaan, Maman dinyatakan telah dengan sengaja membiarkan pekerjaan proyek tersebut di bawah kendali Benny yang bukan bagian dari pihak yang berkontrak.

Dari uraian persidangan pada pengadilan tingkat pertama, tercatat adanya perbedaan pendapat dalam putusan majelis hakim. Hal itu terlihat dari adanya dissenting opinion hakim ad hoc Irawan Ismail yang menyatakan hasil audit BPKP NTB senilai Rp1,35 miliar tidak dapat digunakan sebagai bukti kerugian dalam perkara ini.

Menurut dia, kerugian yang muncul dalam perkara ini telah dipulihkan berdasarkan adanya temuan audit rutin BPK Perwakilan NTB pada akhir tahun 2017 senilai Rp528 juta.

Baca juga: Diduga depresi, Tersangka Korupsi RS Pratama Dompu buang air besar di mobil tahanan

Angka kerugian itu telah ditindaklanjuti oleh pihak pelaksana proyek dari PT Sultana Anugrah milik Muh. Kadafi Marikar yang dipinjamkan kepada terdakwa Benny Burhanudin.

Benny memotong pencairan termin terakhir proyek untuk menutupi temuan audit rutin BPK senilai Rp528 juta.

Adanya pemulihan kerugian negara tersebut dianggap hakim ad hoc tidak masuk dalam pertimbangan BPKP dalam melakukan audit penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN) sesuai dengan permintaan penyidik kepolisian.

Irawan dalam pernyataan dissenting opinion menyatakan seluruh terdakwa tidak terbukti bersalah melanggar dakwaan primer dan subsider penuntut umum.

Baca juga: Sidang perdana empat terdakwa korupsi RS Pratama digelar di PN Mataram
Baca juga: PN Mataram agendakan sidang empat terdakwa korupsi RS Pratama

Pewarta : Dhimas Budi Pratama
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025