Mataram (ANTARA) - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, menjatuhkan vonis kepada pejabat pembuat komitmen proyek Rumah Sakit Pratama, Kabupaten Dompu, Maman, yang merangkap kuasa pengguna anggaran dari Dinas Kesehatan Dompu, dengan pidana selama 8 tahun penjara.
"Menjatuhkan pidana hukuman kepada terdakwa Maman dengan pidana penjara selama 8 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan pengganti," kata Ketua Majelis Hakim I Ketut Somanasa membacakan putusan terdakwa Maman di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram, Selasa malam.
Majelis hakim menetapkan putusan tersebut dengan menyatakan terdakwa Maman telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana turut serta melakukan korupsi sebagaimana dalam dakwaan primer penuntut umum.
Baca juga: Hakim: Audit BPKP tak dapat jadi bukti korupsi proyek RS Pratama Dompu
Dakwaan primer tersebut berkaitan dengan Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sesuai dakwaan, Maman dinyatakan telah dengan sengaja membiarkan pekerjaan proyek tersebut di bawah kendali Benny yang bukan bagian dari pihak yang berkontrak.
Atas putusan ini, Maman melalui penasihat hukum langsung menyatakan upaya hukum banding.
Terhadap pernyataan tersebut, penuntut umum diminta majelis untuk menyiapkan langkah hukum ke tingkat banding pada Pengadilan Tinggi NTB.
Baca juga: Diduga depresi, Tersangka Korupsi RS Pratama Dompu buang air besar di mobil tahanan
Selain Maman, majelis hakim turut membacakan putusan perkara untuk tiga terdakwa lainnya, yakni Christin Agustiningsih, Fery alias Hery, dan Benny Burhanudin.
Untuk Christin Agustiningsih dalam kapasitas sebagai konsultan pengawas dari CV Nirmana Consultant. Dalam dakwaan, Christin yang disebut penuntut umum menerima uang dari terdakwa Fery yang juga menjalankan tugas sebagai pelaksana pengawasan dari CV Nirmana Consultant di lapangan sebesar Rp49,9 juta.
Majelis dalam putusan menjatuhkan pidana hukuman kepada Christin 6 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 2 bulan kurungan pengganti dengan menyatakan perbuatan pidana terdakwa telah memenuhi dakwaan primer penuntut umum seperti yang diterapkan dalam putusan Maman.
Majelis turut membebankan terdakwa membayar uang pengganti kerugian keuangan negara senilai Rp3,5 juta yang telah dititipkan dalam persidangan dirampas untuk negara. Terdakwa Christin bersama penuntut umum atas putusan tersebut menyatakan pikir-pikir.
Selanjutnya, terdakwa lain yang menjalani persidangan yakni Fery alias Hery, majelis menjatuhkan pidana hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 2 bulan kurungan pengganti dan membebankan terdakwa membayar uang pengganti kerugian keuangan negara senilai Rp44 juta subsider 2 tahun kurungan pengganti.
Atas putusan tersebut, Fery menyatakan menerima putusan majelis. Penuntut umum usai mendengar pernyataan terdakwa turut menyatakan menerima putusan tersebut.
Baca juga: Sidang perdana empat terdakwa korupsi RS Pratama digelar di PN Mataram
Sesuai dakwaan penuntut umum, Fery terungkap menjalankan peran sebagai konsultan perencana dengan menggunakan perusahaan CV Fiscon yang berkontrak dengan pemerintah. Fery terungkap tidak memiliki kualifikasi sebagai konsultan perencana.
Fery dalam dakwaan mendapatkan pekerjaan tersebut dengan memberikan uang kepada pemilik perusahaan perencana CV Fiscon, yakni Ika Taruna Sumarprayono sebesar Rp48,4 juta atau 3 persen dari total anggaran perencanaan.
Selanjutnya, untuk terdakwa Benny Burhanudin yang berperan sebagai pemodal dan pelaksana proyek dengan meminjam bendera perusahaan milik tersangka Muh. Kadafi Marikar, yakni PT Sultana Anugrah dijatuhi pidana penjara selama 9 tahun dengan denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan pengganti.
Benny turut dibebankan membayar uang pengganti kerugian keuangan negara senilai Rp643 juta subsider 3 tahun penjara.
Atas putusan tersebut, Benny dan penuntut umum menyatakan pikir-pikir untuk mengambil upaya hukum lanjutan ke tingkat banding pada Pengadilan Tinggi NTB.
Baca juga: PN Mataram agendakan sidang empat terdakwa korupsi RS Pratama
Dari uraian persidangan, tercatat adanya perbedaan pendapat dalam putusan majelis hakim. Hal itu terlihat dari adanya dissenting opinion hakim Adhoc Irawan Ismail yang menyatakan hasil audit BPKP NTB senilai Rp1,35 miliar tidak dapat digunakan sebagai bukti kerugian dalam perkara ini.
Melainkan, kerugian yang muncul dalam perkara ini telah dipulihkan berdasarkan adanya temuan audit rutin BPK Perwakilan NTB pada akhir tahun 2017 senilai Rp528 juta.
Angka kerugian itu telah ditindaklanjuti oleh pihak pelaksana proyek dari PT Sultana Anugrah milik Muh. Kadafi Marikar yang dipinjamkan kepada terdakwa Benny Burhanudin.
Benny memotong pencairan termin terakhir proyek untuk menutupi temuan audit rutin BPK senilai Rp528 juta.
Adanya pemulihan kerugian negara tersebut dianggap hakim Adhoc tidak masuk dalam pertimbangan BPKP dalam melakukan audit penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN) sesuai permintaan penyidik kepolisian.
Sehingga, Irawan dalam pernyataan dissenting opinion menyatakan seluruh terdakwa tidak terbukti bersalah melanggar dakwaan primer dan subsider penuntut umum.
Baca juga: Korupsi RS Pratama, terungkap peran Sekda Dompu saat jabat kadikes
Baca juga: Kejati NTB tahan lima tersangka korupsi pembangunan RS Pratama Dompu
Baca juga: Lima tersangka korupsi RS Pratama Dompu dilimpahkan ke kejaksaan
Baca juga: Kejaksaan nyatakan berkas korupsi proyek rumah sakit di Dompu lengkap