Lombok Timur (ANTARA) - Pagi di NTB selalu indah. Matahari naik perlahan dari balik bukit, ayam berkokok, dan bau tanah basah memenuhi udara. Tapi di balik pemandangan tenang itu, ada langkah kaki yang berat.

Langkah seorang anak muda yang harus memilih antara meraih mimpi atau membayar kebutuhan rumah.

Namanya bisa siapa saja—Adi, Sinta, atau kamu yang membaca ini. Ia tersenyum di hadapan orang lain, tapi malamnya terjaga memikirkan biaya kuliah, utang keluarga, atau adik yang butuh seragam sekolah.

Sebuah survei nasional, Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), mengungkap bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Dari jumlah itu, 5,5% sudah masuk kategori gangguan mental seperti kecemasan dan depresi.

Dan di NTB, masalah ini tak kalah nyata. Bedanya, di sini akses layanan kesehatan jiwa masih tipis—psikolog jarang, klinik konseling hampir tak terdengar. Banyak yang memilih bertahan sendiri, karena tak tahu harus ke mana meminta bantuan.

Tak ada pilihan mewah. Banyak yang bertahan dengan cara sederhana: berjalan sendirian mengelilingi kampung, menangis diam-diam di tengah malam, atau tidur lebih lama sekadar melupakan rasa cemas.

Harapan mereka pun sederhana: pasangan yang mengerti, pekerjaan tetap, rumah yang tenang. Bukan mobil mewah, bukan liburan ke luar negeri.

Namun, tekanan itu datang bertubi-tubi. Lebih dari 90% pelajar di usia 16–24 tahun mengaku kesulitan finansial atau akademik, sementara 95,4% merasakan kecemasan yang menggerogoti fokus dan semangat.

Meski begitu, anak muda NTB tidak menyerah sepenuhnya. Di sela keterbatasan, mereka mulai merintis usaha kecil, membuat konten di media sosial, atau bekerja paruh waktu. Mereka belajar bahwa kemandirian adalah satu-satunya cara untuk bisa bernapas lebih lega.

Kenapa Kita Harus Peduli?

Karena kesehatan mental bukan masalah pribadi, melainkan persoalan sosial yang berdampak ke masa depan daerah.

Karena NTB butuh generasi muda yang sehat—bukan hanya fisik, tapi juga pikiran dan hati.

Karena tidak ada mimpi yang bisa tumbuh di tanah yang kering oleh beban hidup.

Panggilan untuk Bergerak

Jika kamu guru, dengarkan muridmu.
Jika kamu orang tua, beri ruang anak untuk bercerita tanpa takut dihakimi.
Jika kamu pejabat, buka layanan konseling gratis dan mudah diakses.

Anak muda NTB tidak minta hidup tanpa rintangan. Mereka hanya ingin jalan yang cukup lapang untuk berjalan menuju mimpi, tanpa harus menyeret beban yang bukan miliknya.

*) Penulis adalah mahasiswi semester akhir Institut Agama Islam (IAI) Hamzanwadi Nahdlatul Wathan Lombok Timur
 


Pewarta : Hanifia Himmatuzzainiah *)
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025