Mataram (ANTARA) - Di kaki Gunung Rinjani, wacana kereta gantung selalu hadir seperti kabut yang datang dan pergi. Ia muncul dengan gegap gempita, dibicarakan sebagai terobosan pariwisata, namun kembali memudar di tengah sederet persoalan teknis dan administratif.
Sejak peletakan batu pertama pada akhir 2022, proyek yang digadang-gadang menelan investasi triliunan rupiah itu terus berada dalam pusaran ketidakpastian.
Terbaru, fakta bahwa proyek tersebut belum pernah terdaftar dalam Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS) menjadi penanda penting bahwa rencana ini sesungguhnya belum benar-benar bergerak.
Padahal dalam imajinasi pembangunan, kereta gantung dipersepsikan bisa membuka akses baru menuju Rinjani, menghadirkan alternatif bagi wisatawan yang tidak mampu mendaki, sekaligus menambah sumber pendapatan asli daerah (PAD).
Harapan itu terasa masuk akal mengingat Rinjani merupakan salah satu ikon ekowisata paling kuat di Indonesia.
Namun, antara harapan dan realisasi ada jarak yang perlu ditelaah lebih jernih. Tidak hanya soal perizinan, tetapi juga soal kesiapan investor, daya dukung lingkungan, nalar ekonomi, dan arah kebijakan daerah.
Tulisan ini mencoba membaca ulang arah proyek yang terus dibicarakan, tetapi belum menemukan kepastian pijakan.
Investasi besar
Jika ada satu hal yang paling menonjol dari rangkaian laporan resmi tentang rencana pembangunan kereta gantung di Rinjani, maka itu adalah ketidaksinkronan antara besarnya rencana investasi dan lemahnya fondasi administratif.
Investor pernah menyampaikan nilai investasinya mencapai Rp6,7 triliun, bahkan dalam beberapa pernyataan sebelumnya disebut bisa mencapai Rp15 triliun ketika digabungkan dengan akomodasi.
Jumlah itu melampaui banyak proyek pariwisata skala provinsi lain di Indonesia. Namun hingga November 2025, proyek tersebut belum tercatat di OSS, sebuah prasyarat dasar sebelum konstruksi dimulai.
Kondisi ini memperkuat kesimpulan bahwa tahapan sejak awal tidak berjalan linear. Peletakan batu pertama di masa lalu tidak diikuti langkah administratif yang semestinya; proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) berulang kali disebut sedang menunggu pembahasan; dan perubahan izin dari Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPJWA) ke Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) juga belum selesai.
Situasi tersebut menunjukkan bahwa investor belum berada pada posisi final untuk memulai konstruksi.
Lebih jauh, dalam beberapa kesempatan pemerintah daerah di tingkat kabupaten bahkan menyatakan proyek ini sempat “batal” karena investor tidak menunjukkan perkembangan signifikan.
Hal tersebut menggambarkan ketidakseragaman informasi antarlevel pemerintahan. Untuk sebuah investasi infrastruktur pariwisata skala besar, inkonsistensi komunikasi semacam ini menjadi tanda bahwa governance proyek belum solid.
Di sisi lain, ketika investor bertahan dan menyampaikan bahwa mereka menunggu validasi AMDAL, muncul pertanyaan lanjutan. Mengapa tahapan awal yang sangat mendasar seperti pendaftaran OSS tidak dilakukan? Pertanyaan ini penting karena menyangkut kepastian hukum, tata kelola investasi, serta kepastian tata ruang kawasan konservasi.
Jika sistem administrasi dasar tidak terpenuhi, maka potensi manfaat ekonomi mulai dari penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan kunjungan, hingga kontribusi PAD tidak akan pernah sampai ke masyarakat.
Dampak ekologis
Rinjani bukan sekadar kawasan wisata. Ia adalah benteng ekologis Lombok dan rumah bagi ekosistem pegunungan yang sensitif. Karena itu, wacana kereta gantung memantik perdebatan panjang terkait dampak lingkungan.
Hingga saat ini pula, kajian teknis dan AMDAL belum rampung, sehingga belum terlihat seperti apa desain final, bagaimana mitigasi dampak, dan bagian mana dari kawasan hutan yang akan digunakan.
Sebagai kawasan taman nasional, setiap pembangunan infrastruktur harus memastikan tidak mengganggu keanekaragaman hayati dan fungsi hidrologis Rinjani.
Jalur kereta gantung disebut mencapai 10 kilometer dan lokasinya berada di area hutan lindung Karang Sidemen. Pada posisi tersebut, potensi gangguan habitat satwa, fragmentasi vegetasi, hingga risiko perubahan bentang alam perlu dikaji ketat.
Tidak semua intervensi infrastruktur bisa dianggap minim dampak, sekalipun menggunakan argumen “tiang pancang tunggal”.
Dari aspek sosial, proyek ini juga berkaitan dengan akses masyarakat lokal, ruang hidup, serta kesiapan desa sekitar dalam menghadapi lonjakan wisatawan.
Peningkatan akses jalan baik dari Pemepek maupun Pancor Dao masih dikaji, dan keduanya punya tantangan besar yakni mulai dari tebing curam hingga kebutuhan jembatan baru yang akan mengubah pola lalu lintas dan tata ruang desa.
Jika akses belum siap, maka kereta gantung hanya akan menjadi enclave wisata yang terhubung langsung ke destinasi, tanpa memberikan efek ekonomi ke desa-desa sekitarnya.
Padahal, pembangunan infrastruktur seharusnya menumbuhkan UMKM, membuka lapangan kerja alternatif, dan memperkuat ekonomi warga.
Menata ulang
Dalam situasi sekarang, pembangunan kereta gantung Rinjani berada di persimpangan krusial. Informasi resmi menunjukkan tahapannya masih sangat awal, dan banyak variabel belum dipenuhi yakni OSS kosong, AMDAL belum tuntas, izin PBPH belum terbit, dan kepastian investor berubah-ubah.
Semua ini menjadikan Rinjani rentan terhadap ketidakpastian nasib proyek.
Karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk menata ulang arah kebijakan melalui beberapa langkah solutif. Pertama, memastikan transparansi data dan proses. Pemerintah provinsi perlu membuka peta jalan (roadmap) resmi yang dapat diakses publik. Ketidakjelasan tahapan hanya akan memperbesar ruang spekulasi serta mengikis kepercayaan masyarakat.
Kedua, mengedepankan prinsip kehati-hatian ekologis. Sebelum ada kepastian AMDAL, seluruh pernyataan teknis sebaiknya tidak diambil sebagai justifikasi langsung keberlanjutan proyek. Rinjani memiliki nilai ekologis dan sosial yang jauh lebih besar dibanding nilai ekonomi jangka pendek.
Ketiga, memperkuat mekanisme partisipasi masyarakat. Aspirasi publik terutama warga desa sekitar kawasan hutan perlu didengar secara substantif. Kebijakan pembangunan pariwisata akan berhasil jika warga merasa menjadi bagian dari proses, bukan sekadar objek pembangunan.
Keempat, memperjelas skema manfaat ekonomi bagi daerah. Proyeksi PAD, model bisnis, dan pembagiannya antara pemerintah daerah, pusat dan investor harus dirinci sejak awal. Investasi besar tidak otomatis berbanding lurus dengan manfaat fiskal jika tata kelola tidak dirancang dengan matang.
Kelima, membuka opsi alternatif berbasis geosite dan ekowisata. Berbagai laporan ANTARA telah menunjukkan bahwa penguatan Geosite Rinjani dan Tambora sedang dilakukan.
Pendekatan konservasi berbasis ilmu kebumian ini dapat menjadi strategi jangka panjang yang tetap meningkatkan nilai wisata tanpa mengganggu keseimbangan alam.
Rinjani adalah simbol ketahanan ekologi, kebanggaan budaya, dan ruang spiritual masyarakat Lombok. Menimbang rencana kereta gantung berarti menimbang masa depan kawasan yang menyimpan nilai jauh lebih dalam dari sekadar angka kunjungan wisata.
Jika pembangunan dipaksakan tanpa kesiapan administratif, ekologis, dan sosial, maka risiko kerusakan bisa lebih besar dari manfaat yang dijanjikan.
Sebaliknya, jika proses dijalankan dengan disiplin tata kelola dan keberlanjutan menjadi prinsip utama, maka pembangunan apapun entah kereta gantung atau model wisata alternatif akan selaras dengan fungsi konservasi.
Pertanyaannya kini, akankah proyek ini menjadi contoh tata kelola pariwisata yang visioner, atau sekadar wacana panjang tanpa arah yang jelas?
Jawabannya bergantung pada keberanian pemerintah dan investor untuk memulai dari pondasi paling dasar yakni kepastian hukum, kajian ilmiah, dan penghormatan terhadap alam Rinjani.
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Membaca ulang arah kereta gantung Rinjani
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menguatkan tata kelola Rinjani-Tambora
