Mataram (ANTARA) - Desentralisasi fiskal memberi harapan besar bahwa daerah dapat mengelola pembangunan secara mandiri. Namun, ketika dana transfer dari pusat menyusut, harapan itu berhadapan dengan kenyataan yang getir. 

Beban belanja pegawai menjadi titik paling mudah disesuaikan, dan tenaga honorer serta PPPK paruh waktu kerap menjadi pihak pertama yang terkena dampak pengetatan fiskal.

Padahal, tenaga non-ASN selama ini menjadi wajah pelayanan publik yang sesungguhnya. Mereka adalah guru di pelosok, petugas administrasi di kantor desa, hingga tenaga kesehatan di puskesmas kecil. 

Mereka bekerja dalam diam, dengan dedikasi yang sering kali melampaui status mereka yang “sementara”. Kini, status itu berada di ujung kebijakan baru yang menuntut kepastian.

Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023 menghapus istilah honorer dan menetapkan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sebagai satu-satunya jalur ASN selain PNS. Regulasi ini menuntut penataan tenaga non-ASN paling lambat Desember 2024. 

Sebagai respons, pemerintah membuka skema PPPK paruh waktu melalui Keputusan Menteri PANRB Nomor 16 Tahun 2025. Skema ini memberi payung hukum bagi pekerja non-ASN agar tidak kehilangan status, namun pada saat yang sama menimbulkan tantangan baru bagi pemerintah daerah yang harus menanggung beban gaji dari anggaran sendiri.

Di Nusa Tenggara Barat (NTB), dilema ini telah menjadi kenyataan. Berdasarkan data pemerintah, ada lebih dari 9.600 tenaga non-ASN di lingkungan Pemprov NTB, dan sebagian besar telah diusulkan menjadi PPPK paruh waktu. 

Ribuan orang kini menanti kejelasan status mereka di tengah keterbatasan fiskal daerah. Sekitar 518 di antaranya berada dalam posisi paling rentan, yakni belum jelas statusnya, namun tetap bekerja menjaga jalannya layanan publik.

Dilema ini memperlihatkan jurang antara regulasi pusat dan kemampuan daerah. Di satu sisi, pemerintah daerah wajib menata tenaga honorer sesuai aturan nasional, namun di sisi lain, pemangkasan dana transfer membuat ruang fiskal semakin sempit. 

Bagi daerah dengan pendapatan asli yang terbatas, seperti NTB, setiap keputusan tentang pegawai berarti keputusan tentang masa depan anggaran dan layanan publik itu sendiri.

Namun krisis ini juga bisa menjadi momentum reformasi. Pemerintah daerah perlu menata ulang sistem kepegawaiannya secara manusiawi dan strategis. Langkah pertama adalah verifikasi data honorer secara menyeluruh dan transparan, agar penataan tidak meninggalkan pihak yang berhak. 

Kedua, penerapan PPPK paruh waktu harus dilakukan secara bertahap pada jabatan prioritas, sembari menjamin hak dasar mereka, termasuk jaminan sosial. Ketiga, pemerintah pusat perlu memberi dukungan fiskal transisi, misalnya melalui matching fund, agar beban gaji tidak sepenuhnya dipikul daerah.

Di sisi lain, komunikasi publik juga penting. Para honorer perlu dilibatkan sebagai mitra dalam proses penataan. Keterbukaan akan mengurangi resistensi dan memperkuat legitimasi kebijakan.

Pemangkasan dana transfer pusat tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan mereka yang selama ini menopang fungsi negara di tingkat paling bawah. Krisis fiskal harus dikelola dengan keseimbangan antara efisiensi dan kemanusiaan.

Honorer dan PPPK paruh waktu bukan beban statistik, tetapi bagian dari denyut kehidupan birokrasi Indonesia. Daerah seperti NTB kini diuji. Apakah mampu menata anggaran tanpa mengorbankan pengabdian?

Jawaban atas krisis ini bukan sekadar tentang angka dalam APBD, melainkan tentang komitmen moral negara terhadap mereka yang telah lama mengabdi tanpa kepastian. 

Dalam terowongan fiskal yang gelap, pemerintah mesti memastikan satu hal sederhana, bahwa cahaya keadilan tidak padam di tangan mereka yang bekerja untuk negeri.

Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Dari Lirboyo, kita belajar arti kebijaksanaan
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - NTB di persimpangan fiskal: Saatnya mandiri dari dana pusat
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB-Luka senyap di balik seragam: Kisah pilu Brigadir Esco
 


Pewarta : Abdul Hakim
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025