Mataram (ANTARA) - Minggu siang di Dusun Nyiur Lembang Dalem, Lombok Barat, warga dikejutkan oleh kabar memilukan. Brigadir Esco Faska Rely, seorang polisi muda, ditemukan tak bernyawa di kebun belakang rumahnya. Lehernya terjerat tali, tubuhnya terikat pada batang pohon kecil.
Pakaian dinas yang masih melekat membuat penemuan ini segera mengundang perhatian besar. Dalam sekejap, kebun yang hening berubah menjadi pusat keramaian. Polisi, warga, dan kabar duka yang berembus cepat ke berbagai sudut.
Ironisnya, penyelidikan justru mengarah pada orang terdekatnya sendiri, sang istri, Briptu Rizka Sintiyani, yang juga anggota Polri. Fakta ini menambah lapisan tragedi yang membuat publik terperanjat.
Bagaimana mungkin konflik rumah tangga aparat bisa berakhir pada dugaan pembunuhan? Pertanyaan itu menggema di tengah masyarakat yang selama ini menaruh harapan perlindungan kepada institusi kepolisian.
Penyidik Polres Lombok Barat dan Polda NTB bergerak cepat. Lebih dari 50 saksi diperiksa secara maraton. Bukti-bukti digital dari ponsel Esco dan istrinya diekstrak untuk mengurai jejak komunikasi dan emosi.
Autopsi RS Bhayangkara mengungkap adanya luka akibat hantaman benda tumpul serta tanda jeratan di leher. Rangkaian bukti itu menguatkan dugaan tindak pidana pembunuhan, hingga Briptu RS resmi ditetapkan sebagai tersangka.
Namun, persoalan Esco tidak hanya soal siapa pelaku dan apa motifnya. Kasus ini membuka kembali diskusi publik tentang kerentanan manusia di balik seragam.
Polisi kerap dituntut menjadi pelindung masyarakat, simbol ketertiban, sekaligus benteng moral. Tetapi tragedi Esco menunjukkan bahwa seragam bukan perisai yang membuat pemakainya kebal dari konflik pribadi, stres, dan rapuhnya relasi rumah tangga.
Dari kasus ini, ada tiga pelajaran penting yang patut dicatat. Pertama, kesehatan mental aparat harus menjadi prioritas. Tekanan kerja, jam dinas panjang, risiko lapangan, hingga stigma sosial kerap menumpuk menjadi beban psikis.
Sayangnya, layanan konseling dan dukungan psikologis masih terbatas. Polri perlu membentuk unit khusus yang fokus pada kesehatan mental personel beserta keluarganya.
Kedua, manajemen konflik rumah tangga harus ditangani secara serius. Program pembinaan keluarga seharusnya tidak berhenti pada seminar formalitas, melainkan menyediakan layanan nyata--hotline rahasia, mediasi internal, hingga perlindungan bagi pasangan yang rentan. Pendekatan ini bisa mencegah konflik domestik berubah menjadi tragedi publik.
Ketiga, transparansi hukum adalah kunci kepercayaan publik. Masyarakat terlalu sering skeptis dengan istilah “pemeriksaan internal”. Karena itu, langkah kepolisian menghadirkan pemeriksaan saksi secara masif dan gelar perkara terbuka dalam kasus Esco perlu dipertahankan. Transparansi bukan hanya soal prosedur, melainkan modal legitimasi bagi Polri.
Kematian Brigadir Esco adalah luka yang mendalam, bukan hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi institusi kepolisian. Luka ini bisa menjadi pelajaran jika Polri berani menjadikannya momentum perubahan.
Sebab, seragam hanyalah kain--ia tidak menjamin moralitas. Yang menentukan adalah manusia di dalamnya yakni bagaimana ia menjaga keluarga, mengelola tekanan, dan menegakkan nilai kemanusiaan.
Kini, publik menunggu jawaban, apakah tragedi Esco menjadi titik balik menuju reformasi internal, atau sekadar menambah daftar kelam di balik seragam?
Baca juga: Tajuk - Kamar kosong di tengah euforia MotoGP: NTB bersiap atau tertinggal?
Baca juga: Tajuk - Ketika langit diam: Ujian kekeringan di Lape, Sumbawa
Baca juga: Tajuk - Bagaimana NTB menjaga euforia MotoGP dari risiko sepi penonton?"
Baca juga: Tajuk - Integritas pejabat NTB diuji: Dari mikrofon terbang hingga mantan terpidana di kursi strategis
Baca juga: Tajuk - Honorer NTB: Harapan dan kekecewaan
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Tambang dan tanggung jawab sosial berkelanjutan
Baca juga: Tajuk: Hilirisasi garam NTB, Tantangan atau peluang?