Mataram (ANTARA) - Di pesisir Bima, Dompu, hingga Lombok Timur, hamparan tambak garam berkilau di bawah terik matahari. Kristal putih sederhana itu seolah menyimpan paradoks lama negeri ini: Indonesia dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, masih harus mengimpor jutaan ton garam setiap tahun.
Petani garam NTB tetap setia pada cara tradisional yakni dengan memadatkan tanah, mengalirkan air laut, dan menunggu matahari mengeringkannya. Namun perubahan iklim sering memangkas panen, harga jual jatuh, dan kehidupan mereka terjebak dalam ketidakpastian.
Padahal NTB memiliki modal besar berupa lahan pesisir luas, musim kemarau panjang, serta kultur masyarakat yang terbiasa menambak. Potensi itu seharusnya bisa menjadikan NTB motor penting swasembada garam nasional. Syaratnya jelas: keberpihakan kebijakan, akses modal yang terbuka, penerapan teknologi tepat guna, serta tata niaga yang lebih adil bagi petani.
Beberapa tahun terakhir, NTB mulai mencoba keluar dari lingkaran tradisi. Pabrik pengolahan berdiri di Bima dan Lombok, mengolah garam rakyat menjadi produk lebih bersih dan higienis. Namun, jalan menuju hilirisasi masih panjang. Kualitas bahan baku belum konsisten, modal petani terbatas, tenaga terampil masih kurang, dan dominasi tengkulak tetap kuat.
Hilirisasi tidak cukup hanya membangun pabrik; ia butuh ekosistem lengkap: perbaikan mutu di hulu, pembiayaan inklusif, penguatan koperasi, hingga tata niaga yang berpihak. Jika semua pihak berkolaborasi mulai dari pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat pesisir, maka garam NTB bisa naik kelas.
Petani tidak lagi sekadar produsen bahan mentah, melainkan bagian dari rantai industri bernilai tinggi. Hilirisasi garam pada akhirnya bukan hanya proyek ekonomi, tetapi juga cara mengangkat martabat masyarakat pesisir yang selama ini termarjinalkan.
Lebih jauh, garam juga bagian dari konsep pangan biru yakni visi yang menempatkan laut sebagai sumber pangan masa depan. Laut bukan hanya menyimpan ikan, tetapi juga garam, rumput laut, dan energi. Garam dalam kerangka pangan biru berarti produk berkelanjutan yang menopang industri sekaligus menjaga ekosistem pesisir.
Pemerintah telah menargetkan 2027 sebagai tahun berhenti impor garam melalui Perpres 126/2022. Target ini bukan sekadar soal angka produksi, tetapi juga simbol kedaulatan. Ketika negeri maritim mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, martabat bangsa ikut terjaga.
Dalam peta jalan ini, NTB dan NTT memegang peran penting. Jika potensi Bima, Dompu, dan Lombok Timur digarap optimal, kontribusinya dapat menutup defisit nasional. Garam NTB tidak hanya hadir di dapur rumah tangga, tetapi juga di industri makanan, farmasi, hingga pasar ekspor.
Garam memang butir kecil, tetapi maknanya besar. Ia menyimpan cerita tentang ketabahan petani pesisir yang bekerja di bawah terik matahari, sekaligus tantangan bagi negara untuk membuktikan keberpihakan.
NTB menunjukkan bahwa asa swasembada tidak pernah padam. Di tambak-tambak sederhana, petani menjaga tradisi sambil menunggu hadirnya inovasi. Dari sanalah jalan menuju hilirisasi dan pangan biru dimulai.
Jika dikelola dengan sungguh-sungguh, NTB dapat menjadi teladan, bahwa dari butir asin di pesisir, bisa lahir masa depan manis bagi bangsa. Garam bukan sekadar bumbu dapur, melainkan pilar kedaulatan pangan Indonesia.
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Garasi jadi paripurna, Aspirasi jangan terbakar lagi
Baca juga: Tajuk: MotoGP Mandalika 2025: Saatnya NTB berbenah di luar lintasan
Baca juga: Tajuk: Tambang NTB, Saatnya berhenti main mata
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Dana pokir, integritas dewan dan pelajaran dari gedung yang terbakar
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Temu Bisnis 2025, NTB mantapkan diri jadi rumah investasi
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Spirit Maulid di tengah bara sosial
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Gudang penyimpan, harapan baru untuk petani bawang merah NTB
Baca juga: Tajuk: NTB, Wajah Ramah Indonesia untuk wisata dunia
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Merawat bangsa dengan damai, Mencari solusi bersama
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Membaca makna dibalik api DPRD NTB