Jakarta (ANTARA) - Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) membahas relevansi pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 untuk kesejahteraan rakyat.

Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI Tifatul Sembiring, sebagaimana keterangan diterima di Jakarta, Selasa, menyoroti pasal-pasal yang dinilai sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini, seperti Pasal 2 ayat (3) tentang keputusan MPR diambil dengan suara terbanyak.

“Jangan sampai majelis permusyawaratan berubah menjadi majelis per-voting-an. Memang selama ini voting dilakukan, tetapi semangat permusyawaratan jangan hilang,” kata Tifatul dalam forum diskusi terpumpun (FGD) di Depok, Jawa Barat, Senin (17/11).

Selain itu, dia juga menyoroti Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945. Menurut dia, pasal tersebut tidak menyebutkan keberadaan desa sebagai unit pemerintahan kecil.

Dia turut menyinggung keterbatasan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Pasal 22D serta ketentuan pemberhentian presiden dan wakil presiden pada Pasal 7 yang, menurut dia, tidak memberikan ruang pemisah di antara dua jabatan tersebut.

Ketika membahas Pasal 23, Tifatul menegaskan fungsi APBN sebagai alat untuk memakmurkan rakyat. Ia lantas membedakan pendekatan anggaran era pemerintahan Joko Widodo dan saat ini.

“Di era Presiden Jokowi, banyak anggaran difokuskan untuk infrastruktur, sedangkan saat ini pemerintah menekankan bagaimana tidak ada rakyat yang kelaparan, bagaimana semua mendapat pekerjaan. Itu yang disebut multiplier effect,” tuturnya.

Dalam pembahasan Pasal 33, Tifatul menyoroti prinsip ekonomi Indonesia yang berdasar asas kekeluargaan. Namun, dia memandang, dalam praktiknya, masih banyak penyimpangan.

Terkait Pasal 34, Tifatul mengingatkan pentingnya pembedaan makna antara fakir dan miskin. Menurut dia, fakir adalah mereka yang tidak memiliki apa-apa, sementara miskin memiliki sesuatu, tetapi tidak mencukupi.

FGD bertajuk “Kajian Komprehensif terhadap UUD NRI Tahun 1945 dan Pelaksanaannya” itu digelar dengan tiga fokus utama, yaitu sistem keuangan negara, perekonomian nasional, dan kesejahteraan sosial. Turut hadir dalam diskusi tersebut, sejumlah anggota Badan Pengkajian MPR RI, yakni Darmadi Durianto, K.H. Maman Imanul Haq, A. Bakri, Andi Yuliana Paris, Sigit Purnomo, Lia Istifhama, dan Yance Samonsabra.

Selain itu, hadir juga narasumber kalangan akademisi dari berbagai lembaga dan universitas, yakni Prof. M. Nur Kholis Setiawan, Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Dian Puji Nugraha, dan M. Rizal Taufikurahman.

Dalam pemaparannya, M. Rizal Taufikurahman yang merupakan Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyoroti keterkaitan antara tripilar konstitusi ekonomi dan kondisi ekonomi Indonesia terkini.

Ia mengatakan Pasal 23, Pasal 33, dan Pasal 34 merupakan fondasi utama dalam membangun keuangan negara, perekonomian nasional, dan kesejahteraan sosial. “Setiap rupiah APBN harus diarahkan untuk kemakmuran bersama, bukan sekadar menjaga stabilitas fiskal,” ujarnya.

Rizal juga menyoroti akuntabilitas APBN yang meningkat, tetapi tidak diikuti oleh serapan APBD daerah sehingga masih terjadi ketimpangan akuntabilitas antara pusat dan daerah serta desentralisasi fiskal belum berjalan efektif.

“Pertanyaannya bukan hanya apakah UUD NRI Tahun 1945 perlu direvisi, tetapi bagaimana implementasi konstitusi dapat benar-benar dijalankan untuk mencapai keadilan sosial yang substantif,” ujarnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dian Puji Nugraha menyampaikan usulan terkait perubahan Undang-Undang Keuangan Negara, dengan fokus pada APBN, pajak, PNBP, serta independensi lembaga pengawas seperti BPK dan Bank Indonesia.

Dian menekankan pentingnya mengubah pola pikir keuangan negara menjadi keuangan publik. “Uang negara bukanlah milik negara semata, tetapi merupakan milik rakyat yang harus dikembalikan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan publik,” ujarnya.

Ia juga menekankan bahwa APBN dan sistem keuangan negara harus diarahkan untuk kesejahteraan rakyat, penguatan tata kelola publik, dan menjaga independensi lembaga negara agar dapat menjalankan fungsi pengawasan secara profesional dan transparan.

Baca juga: Sosialisasi Empat Pilar, MPR menekankan penguatan semangat kebangsaan

Di samping itu, Guru Besar Studi Islam dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. M. Nur Kholis Setiawan menekankan perlunya pembaruan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, khususnya Pasal 40 yang dinilai membatasi pemanfaatan aset wakaf.

Menurut Nur Kholis, regulasi saat ini yang melarang harta wakaf dijadikan jaminan, dijual, atau dialihkan bentuk haknya justru membuat aset wakaf tidak optimal dalam menunjang program sosial.

“Praktiknya, banyak yayasan pendidikan atau pesantren memiliki wakaf yang cukup besar, tetapi hampir tidak bisa dimanfaatkan karena keterbatasan hukum,” ujar dia.

Baca juga: Presiden tegas lindungi Investasi, tak ada toleransi untuk pungli

Ia menyoroti bahwa selama ini masyarakat mengenal wakaf hanya untuk tiga hal: madrasah, masjid, dan makam. Padahal, kata dua, perkembangan wakaf uang telah memungkinkan pengelolaan aset lebih fleksibel, termasuk untuk mendapatkan pendapatan tambahan guna membiayai kegiatan sosial.

“Ini menunjukkan perlunya reinterpretasi hukum wakaf agar aset yang dimiliki nadzir dapat dimanfaatkan secara optimal, selaras dengan tujuan kesejahteraan sosial,” imbuhnya.

Ia juga menekankan pentingnya dorongan legislatif untuk merevisi Undang-Undang Wakaf agar lebih relevan dengan kondisi saat ini. Melalui revisi itu, aset wakaf diharapkan dapat berperan lebih efektif dalam mendukung pendidikan, kesehatan, dan program kesejahteraan sosial lainnya.


Pewarta : Fath Putra Mulya
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2025