Mataram (ANTARA) - Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih menunjukkan angka yang relatif stabil. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada kuartal III tahun 2025, ekonomi Indonesia tumbuh 5,04 persen. Namun di balik angka itu, masih ada sekitar 24 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan (8,47 persen) dan 13,9 juta orang menganggur (4,85 persen). Artinya, meskipun perekonomian tumbuh, belum semua warga merasakan manfaatnya. Pertumbuhan kita belum sepenuhnya inklusif.
Fenomena ini sejalan dengan temuan penelitian saya dan rekan-rekan berjudul Measuring Welfare Equality: Essential Factors Supporting Inclusive Economic Growth 2021–2025. Kami menemukan bahwa pertumbuhan yang tinggi tidak otomatis menciptakan pemerataan kesejahteraan. Banyak daerah atau sektor yang tumbuh pesat, tetapi masih bergulat dengan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.
Selama satu dekade terakhir, ekonomi Indonesia memang konsisten tumbuh di kisaran lima persen per tahun. Namun, angka kemiskinan turun sangat lambat, ketimpangan pendapatan (gini ratio) bertahan di sekitar 0,38 dan pengangguran terbuka tidak berkurang signifikan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dengan demikian, belum berarti kesejahteraan yang merata.
Pertumbuhan Tanpa Pemerataan
Para ekonom menyebut fenomena ini sebagai growth without inclusion, pertumbuhan tanpa pemerataan. Ia terjadi ketika manfaat pembangunan hanya dirasakan oleh kelompok berpenghasilan tinggi atau sektor tertentu. Investasi besar memang mendorong produk domestik bruto (PDB) naik, tetapi tidak otomatis membuka lapangan kerja produktif bagi masyarakat luas. Akibatnya, jurang sosial melebar, daya beli kelompok bawah stagnan dan produktivitas daerah tidak meningkat.
Beberapa penyebab utama pertumbuhan yang tidak inklusif berasal dari struktur ekonomi yang timpang. Pertama, macetnya hilirisasi membuat daerah penghasil sumber daya alam tetap bergantung pada ekspor bahan mentah. Investasi besar di sektor tambang, misalnya, belum banyak menciptakan nilai tambah karena industri pengolah (smelter) belum berkembang. Akibatnya, daerah kaya tambang justru memiliki angka kemiskinan tinggi.
Kedua, keuntungan investasi asing tidak berputar di daerah. Sebagian besar keuntungan dikirim kembali ke luar negeri atau ke kota besar, sehingga efek pengganda ekonomi lokal sangat terbatas. Ketiga, kualitas sumber daya manusia (SDM) daerah masih rendah. Banyak sektor strategis seperti tambang dan pariwisata membutuhkan tenaga kerja terampil. Ketika SDM lokal tidak siap, posisi itu diisi pekerja dari luar daerah yang pada akhirnya juga membawa pendapatannya pulang.
Keempat, rantai pasok lokal belum terbentuk kuat. Industri hotel, restoran, dan pertambangan membutuhkan pasokan bahan baku yang stabil. Ketika pemasok lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam jumlah dan mutu tertentu, perusahaan memilih pemasok dari luar daerah. Akibatnya, investasi berjalan secara parsial dan tidak mendorong tumbuhnya ekonomi lokal secara merata.
Belajar dari Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memberikan contoh menarik. Pertumbuhan ekonomi daerah ini bisa sangat tinggi ketika ekspor tambang meningkat, namun bisa anjlok drastis ketika aktivitas tambang menurun. Artinya, ketergantungan pada satu sektor membuat ekonomi daerah rapuh dan tidak inklusif. Ketika kontribusi sektor industri pengolahan bisa menyeimbangkan sektor tambang, barulah pertumbuhan yang inklusif dapat terwujud.
Pemerintah daerah harus berperan aktif menyiapkan SDM lokal dan industri pendukung agar bisa mengambil manfaat dari investasi besar. Tanpa keterlibatan masyarakat lokal dalam rantai ekonomi, pembangunan hanya menjadi “penonton di rumah sendiri.”
Sejalan dengan Agenda SDGs
Pendekatan pertumbuhan inklusif sejalan dengan kerangka Sustainable Development Goals (SDGs). Dalam SDGs, pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan menjadi inti dari pembangunan global. Tiga tujuannya bahkan langsung berkaitan: penghapusan kemiskinan (tujuan 1), penciptaan pekerjaan layak (tujuan 8), dan pengurangan ketimpangan (tujuan 10).
Artinya, keberhasilan ekonomi tidak hanya diukur dari seberapa cepat PDB meningkat, tetapi juga seberapa adil hasilnya dibagikan. Pertumbuhan yang berkeadilan memerlukan kebijakan yang konsisten antara pusat dan daerah, yaitu bagaimana memastikan setiap kenaikan angka pertumbuhan diikuti dengan berkurangnya kemiskinan, kesenjangan dan pengangguran.
Mengarah ke Pertumbuhan yang Lebih Inklusif
Untuk mewujudkan pertumbuhan yang inklusif, ada tiga hal mendasar yang perlu diperkuat. Pertama, pemerataan investasi dan hilirisasi industri. Pemerintah perlu memastikan investasi tidak hanya berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam, tetapi juga membuka industri pengolahan di daerah. Dengan begitu, nilai tambah dan lapangan kerja bisa lebih luas.
Kedua, penguatan kualitas SDM lokal. Pendidikan vokasi, pelatihan kerja dan sertifikasi keahlian harus diarahkan sesuai kebutuhan industri di daerah. Kolaborasi antara dunia pendidikan, dunia usaha, dan pemerintah menjadi kunci agar tenaga kerja lokal bisa menjadi pemain utama, bukan hanya penonton.
Ketiga, pemberdayaan pelaku ekonomi lokal. Rantai pasok industri harus memberi ruang bagi UMKM dan koperasi sebagai penyedia barang dan jasa. Ketika pelaku usaha lokal terlibat, maka efek ekonomi menyebar lebih luas dan menciptakan keadilan sosial.
Indonesia memiliki potensi besar untuk tumbuh cepat dan adil. Namun, tanpa pemerataan, pertumbuhan hanya menjadi angka tanpa makna. Ekonomi yang tinggi tetapi timpang akan menimbulkan masalah sosial baru, ketidakpercayaan, pengangguran, dan kemiskinan yang membandel.
Pertumbuhan yang sejati bukan tentang seberapa tinggi lajunya, tetapi seberapa luas rakyat dapat merasakan hasilnya. Sudah saatnya arah pembangunan ekonomi Indonesia tidak hanya mengejar kecepatan, tetapi juga kebermaknaan bahwa pertumbuhan merangkul semua.
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mataram