Mataram (ANTARA) - Ahad (7/12) pagi yang masih lembut di Jalan Ijen, Kota Malang, disusupi warna-warni busana adat Sasak dan Sumbawa.
Di tengah arus warga yang menikmati Car Free Day, parade budaya Lombok-Sumbawa melintas seperti jendela kecil yang dibuka menuju pulau seberang.
Ada semangat, ada kebanggaan, tapi juga ada pesan bahwa budaya bukan hanya tontonan. Ia adalah identitas yang diperkenalkan, dipelihara, dan diberdayakan.
Badan Promosi Pariwisata Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) bersama Dinas Pariwisata NTB memilih Malang bukan tanpa alasan. Jawa Timur, terutama Malang, adalah pasar wisata potensial bagi Lombok dan Sumbawa.
Momentum hadirnya rute penerbangan baru Lombok-Malang-Yogyakarta menambah urgensinya. Dengan konektivitas udara yang lebih mudah, promosi budaya menjadi lebih dari sekadar pertunjukan. Ia berubah menjadi strategi berkelanjutan untuk menguatkan ekosistem pariwisata daerah.
Di tengah keramaian CFD itu, terlihat sebuah pola lama yang kembali mendapat wajah baru. NTB sudah cukup lama membangun narasi budaya sebagai motor promosi pariwisata, mulai dari Bulan Budaya Lombok Sumbawa yang sejak 2015 ingin disandingkan dengan Pesta Kesenian Bali, hingga ragam festival tematik yang menyebar di banyak titik.
Pertanyaannya, apakah promosi budaya yang kian sering digelar ini sudah menjawab tantangan zaman? Atau justru perlu pendekatan baru agar tak hanya meriah sesaat, tetapi membekas dan menggerakkan masyarakat?
Panggung dan pemberdayaan
Parade di Malang hanyalah satu dari rangkaian panjang cara NTB memperkenalkan diri. Tahun-tahun sebelumnya mencatat upaya serupa, mulai dari Bulan Budaya Lombok-Sumbawa hingga festival tenun yang menempatkan wastra lokal sebagai pusat perhatian.
Tenun Sasak, Sumbawa, hingga Mbojo bukan hanya produk kriya. Ia adalah pengetahuan turun-temurun yang menghidupi ribuan perajin.
Satu kelompok penenun bahkan bisa berisi 300 orang. Angka itu menunjukkan bahwa kebudayaan, khususnya tenun, bukan sekadar estetika tetapi ekonomi rakyat.
Di sisi lain, pemerintah NTB sejak lama melihat budaya sebagai pilar penting pariwisata. Sejak 2016, potensi budaya diakui memiliki daya tarik kuat dan bahkan mampu mendorong laju kompetisi dengan daerah lain.
Karena itu, tantangan terbesar bukan lagi memperkenalkan budaya, tetapi mengemasnya sehingga relevan bagi wisatawan dan tetap otentik bagi masyarakat.
Dari parade di Malang hingga Bulan Budaya yang digelar sejak 2015, terlihat pola konsisten, yakni penguatan citra budaya untuk mendukung target kunjungan wisata.
Dulu target dua sampai tiga juta wisatawan per tahun, kini konteksnya berkembang seiring pembukaan rute udara dan perluasan pasar. Namun dinamika promosi budaya tak bisa berhenti pada panggung. Ia harus bergerak dalam tiga ranah, yakni edukasi, pemberdayaan, dan keberlanjutan.
Pertama, unsur edukasi. Festival seperti Lombok Sumbawa Tenun Festival bukan hanya ruang pamer. Ketika pemerintah daerah menggabungkannya dengan desain fashion, inkubasi UMKM, hingga pelatihan wirausaha, pesan edukatif menjadi lebih kuat.
Masyarakat diajak tidak hanya mencintai produk lokal, tetapi memahami rantai nilai yang menyertainya. Dengan demikian, promosi budaya menjadi lebih dari sekadar memikat wisatawan, melainkan membangun kecakapan ekonomi masyarakat.
Kedua, unsur pemberdayaan. Ribuan penenun, pelaku UMKM, pegiat komunitas budaya, hingga pelaku industri pariwisata terlibat dalam rangkaian kegiatan. Dalam konteks ini, promosi budaya selaras dengan prinsip “memberdayakan”.
Promosi budaya harus memberi ruang bagi masyarakat lokal untuk terlibat bukan hanya sebagai pengisi acara, tapi sebagai pemilik pengetahuan. Penguatan ini penting untuk memastikan bahwa pariwisata berbasis budaya bukan eksploitasi, melainkan simbiosis.
Ketiga, keberlanjutan. Promosi yang baik adalah promosi yang berkesinambungan. Parade di Malang, misalnya, bukan sekadar event semata. Ia dikaitkan dengan keberlanjutan rute udara Lombok-Malang-Yogyakarta, sehingga memiliki efek jangka panjang pada mobilitas wisatawan.
Ketika rute bertahan dan kunjungan meningkat, maka ekonomi daerah pun terbantu. Dalam lanskap yang lebih luas, keberlanjutan inilah yang membuat budaya berfungsi sebagai kekuatan sosial ekonomi, bukan hanya pertunjukan visual.
Namun, ada tantangan yang perlu dicermati. Panggung budaya yang terlalu mengandalkan keramaian bisa kehilangan arah jika tidak ditopang kurasi dan strategi promosi yang kuat.
Beberapa daerah telah membuktikan bahwa festival bukan tentang banyaknya acara, tetapi kekuatan cerita yang dibawa. Banyuwangi, misalnya, membungkus budayanya dalam narasi yang jelas dan konsisten. Bali bahkan menjadikan Pesta Kesenian Bali sebagai kalender budaya dunia.
NTB sudah berada di jalur yang sama, tetapi perlu memperkuat pendekatan. Bulan Budaya Lombok Sumbawa sejak 2015 ingin menyamai format festival besar, tapi tantangannya adalah membangun daya ingat dan konsistensi.
Budaya Lombok dan Sumbawa kaya, tetapi narasinya harus dirangkai dengan rapi agar memiliki daya saing di tingkat nasional.
Promosi budaya
Apa yang terjadi di Malang menunjukkan satu hal penting, yakni kebudayaan adalah jembatan identitas. Namun, jembatan itu harus dipelihara agar kokoh.
Parade budaya di ruang publik, festival tenun, hingga pawai besar seperti Bulan Budaya Lombok-Sumbawa, membuka peluang agar masyarakat di luar NTB lebih mengenal karakter unik wilayah itu. Namun, agar tidak berhenti pada perayaan, perlu langkah lanjut yang lebih strategis.
Pertama, konsolidasi kalender budaya. NTB memiliki banyak kegiatan, tetapi perlu memilih beberapa yang diangkat sebagai “ikon tahunan” agar mudah diingat dan dipromosikan secara nasional. Konsistensi jadwal dan kualitas membuat wisatawan dapat merancang kunjungan dari jauh-jauh hari.
Kedua, memperkuat ekosistem kreatif lokal. Wastra tenun yang memiliki potensi ekonomi tinggi dapat dikembangkan dengan inovasi produk tanpa kehilangan ruh tradisi. Pendidikan, pelatihan, dan inkubasi yang sudah dimulai perlu diperluas ke komunitas desa penghasil tenun agar regenerasi berjalan.
Ketiga, menghubungkan promosi budaya dengan konektivitas. Rute udara baru adalah pintu ekonomi. Ketika pariwisata ingin tumbuh, akses harus terjamin.
Promosi seperti parade budaya di Malang membuktikan bahwa pendekatan langsung pada publik kota tujuan, ternyata cukup efektif. Strategi serupa dapat dilakukan di kota-kota lain dengan potensi pasar besar.
Keempat, memperkuat rasa nasionalisme melalui kebudayaan. Budaya lokal adalah bagian dari mozaik Indonesia. Ketika masyarakat mengenal budaya Lombok dan Sumbawa, mereka sebenarnya sedang melihat salah satu wajah Indonesia. Memperkenalkan budaya berarti memperkuat identitas kebangsaan.
Promosi budaya tidak cukup hanya memamerkan yang indah. Ia perlu menyentuh hal yang lebih dalam, bahwa identitas adalah kekuatan, bahwa ekonomi kreatif berakar dari tradisi, bahwa keberlanjutan harus berpijak pada pemberdayaan. Di tengah hiruk pikuk festival, pawai, dan parade, inti dari promosi budaya adalah menjaga agar masyarakat tetap menjadi pusat.
Ketika masyarakat menjadi subjek, bukan objek, budaya akan terus hidup. Di situlah letak masa depan promosi budaya Lombok Sumbawa bukan pada sebesar apa panggungnya, tetapi seberapa kuat ia mengakar dan memberi manfaat.
NTB telah membuka ruang. Kini tugas berikutnya adalah mengisinya dengan strategi yang lebih terarah, lebih inklusif, dan lebih berkelanjutan. Sebab budaya bukan hanya tentang hari ini, tetapi tentang bagaimana kita menyiapkan identitas untuk generasi esok.
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menguatkan Lombok Sumbawa di peta budaya