Mataram (ANTARA) - Kemandirian listrik di Nusa Tenggara Barat (NTB) bukan sekadar agenda teknis, melainkan pilihan strategis yang menentukan posisi daerah dalam pembangunan nasional. 

Listrik adalah prasyarat dasar pelayanan publik, penggerak ekonomi, dan faktor utama kepercayaan investasi. Tanpa pasokan energi yang andal dan berkelanjutan, visi pembangunan daerah akan rapuh sejak awal.

Selama bertahun-tahun, sistem kelistrikan di kawasan timur Indonesia, termasuk NTB, masih ditempatkan sebagai bagian dari sistem besar yang bergantung pada Jawa-Bali. 

Ketika terjadi gangguan atau lonjakan beban di pusat, daerah ikut menanggung dampaknya. Dalam konteks ini, pernyataan Gubernur NTB bahwa daerah tidak ingin lagi menjadi beban bagi Pulau Jawa memiliki makna lebih dari sekadar retorika politik. Ia mencerminkan keinginan untuk mengubah relasi ketergantungan menjadi kemandirian.

Secara sumber daya, NTB memiliki modal yang kuat. Potensi energi terbarukan diperkirakan mencapai lebih dari 13.500 megawatt, jauh melampaui kebutuhan listrik kawasan Bali, NTB, dan NTT yang sekitar 1,2 gigawatt. 

Matahari, angin, arus laut, biomassa, hingga sampah kota menyediakan peluang besar bagi transisi energi bersih. Namun hingga kini, kontribusi energi baru terbarukan dalam sistem kelistrikan NTB masih berkisar 5 persen. 

Kesenjangan antara potensi dan realisasi ini menunjukkan bahwa persoalan utama bukan pada ketersediaan sumber, melainkan pada keberanian dan konsistensi kebijakan.

Upaya PLN dalam meningkatkan keandalan listrik patut diapresiasi. Pemeliharaan jaringan, peningkatan kualitas distribusi, dan layanan tanpa kedip di kawasan strategis menunjukkan fondasi teknis terus diperkuat. 

Namun keandalan hari ini belum tentu menjamin kemandirian esok hari. Keandalan berbicara tentang stabilitas pasokan, sedangkan kemandirian menyangkut kendali atas sumber energi itu sendiri.

Gagasan pengembangan super grid di kawasan Sunda Kecil membuka peluang baru. NTB tidak lagi diposisikan sebagai konsumen, tetapi sebagai produsen energi hijau yang memasok kawasan, termasuk Bali. 

Namun jalan menuju ke sana membutuhkan investasi besar, kepastian regulasi, kesiapan jaringan transmisi, dan sistem penyimpanan energi yang memadai. Tanpa itu, pembangkit energi terbarukan berisiko terjebak sebagai proyek terpisah yang tidak optimal.

Kemandirian listrik juga harus memuat dimensi keadilan. Program sambungan listrik gratis bagi warga kurang mampu menegaskan bahwa transisi energi tidak boleh berhenti di kawasan elite atau industri besar. Listrik harus hadir hingga pelosok desa, karena di sanalah dampak sosial dan ekonomi paling nyata dirasakan.

Tantangan lain tidak kalah penting adalah sumber daya manusia. Tanpa teknisi, perencana, dan inovator lokal yang memahami karakter wilayahnya, daerah akan tetap bergantung pada pihak luar, meski energinya berasal dari tanah sendiri.

Kemandirian listrik NTB adalah proses panjang yang menuntut konsistensi dan keberanian mengambil keputusan strategis. Energi bersih bukan tujuan akhir, melainkan fondasi agar pembangunan daerah berjalan berdaulat, adil, dan berkelanjutan. 

NTB memiliki cahaya yang cukup untuk menyalakan dirinya sendiri. Tantangan sesungguhnya adalah memastikan cahaya itu tidak padam oleh setengah langkah kebijakan.

Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Kampung nelayan NTB: Antara proyek dan keberpihakan
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Surfing NTB: Lebih dari sekadar event
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Ketika hutan Sumbawa tak lagi terjaga
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - HUT NTB: Menata arah di usia 67
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Desa berdaya, harapan baru pengentasan kemiskinan di NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Mengurai simpul sampah perkotaan NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menjaga ingatan Bumi Gora
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menguatkan Lombok Sumbawa di peta budaya
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Koruptor: Orang berilmu yang serakah


Pewarta : Abdul Hakim
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025