Mataram (ANTARA) - Petugas polisi kehutanan (polhut) berhasil mengungkap kasus perambahan hutan seluas 12 hektare yang teridentifikasi berada dalam kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Nuraksa, Nusa Tenggara Barat.
Kabid Perlindungan Hutan KSDAE Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTB Mursal dalam siaran persnya yang diterima Antara di Mataram, Kamis, mengatakan, akibat dari adanya perambahan hutan tersebut timbul kerugian negara yang nilainya ditaksir mencapai Rp45,07 miliar.
"Kerugian itu akibat kerusakan kebakaran hutan dan nilai yang dibutuhkan untuk mengembalikan ekosistem dan rehabilitasi," kata Mursal.
Dalam pengungkapannya, kasus perambahan hutan yang berada dalam blok pengelolaan Tahura Nuraksa ini diduga ulah dari masyarakat gabungan kelompok tani (gapoktan).
Hasilnya penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Gakkum LHK NTB, telah menemukan peran seorang tersangka yang diduga melakukan perambahan dengan modus operandi pembakaran lahan.
Peran tersangka dengan inisial KD alias Amaq IK, muncul berdasarkan alat buktinya yang antara lain berupa alat pembakar, peta overlay kerusakan hutan, dokumen gapoktan, dan dokumentasi lapangan.
"Dia ketua Gapoktan Lembah Rinjani diduga sebagai eksekutor yang membuka dan membakar kawasan hutan," ujarnya.
Karenanya, tersangka KD disangkakan pidana Pasal 92 Ayat 1 Huruf a Juncto Pasal 17 Ayat 2 Huruf b Undang-Undang RI Nomor 18/2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Selain sangkaan tersebut, tersangka turut dikenakan pidana Pasal 78 Ayat 3 Juncto Pasal 50 Ayat 3 Huruf d Undang-Undang RI Nomor 41/1999 tentang Kehutanan.
Tersangka juga turut dikenakan Pasal 40 Ayat 2 Juncto Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang RI Nomor 5/1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Ancaman pidananya, penjara paling lama 15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
Dari hasil pemeriksaan sementara, giat perambahan hutan dilakukan dengan alasan untuk pembukaan lahan tanam baru bagi masyarakat. Namun demikian penyidik dikatakan masih terus memburu peran intelektual alias cukong dari kasus perambahan ini.
Lebih lanjut, Mursal menjelaskan penanganan kasus ini merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam menjaga dan melestarikan hutan untuk tetap lestari. Harapnya dengan ada penegakkan hukum dapat memberikan efek jera serta menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian hutan.
"enanganan kasus ini dalam rangka menjaga eksistensi, kelestarian hutan, dan menjadikan proses penegakan hukum diharapkan memberi efek jera dan dapat menekan terjadinya degradasi dan deforestasi hutan," ucapnya.
Kabid Perlindungan Hutan KSDAE Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTB Mursal dalam siaran persnya yang diterima Antara di Mataram, Kamis, mengatakan, akibat dari adanya perambahan hutan tersebut timbul kerugian negara yang nilainya ditaksir mencapai Rp45,07 miliar.
"Kerugian itu akibat kerusakan kebakaran hutan dan nilai yang dibutuhkan untuk mengembalikan ekosistem dan rehabilitasi," kata Mursal.
Dalam pengungkapannya, kasus perambahan hutan yang berada dalam blok pengelolaan Tahura Nuraksa ini diduga ulah dari masyarakat gabungan kelompok tani (gapoktan).
Hasilnya penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Gakkum LHK NTB, telah menemukan peran seorang tersangka yang diduga melakukan perambahan dengan modus operandi pembakaran lahan.
Peran tersangka dengan inisial KD alias Amaq IK, muncul berdasarkan alat buktinya yang antara lain berupa alat pembakar, peta overlay kerusakan hutan, dokumen gapoktan, dan dokumentasi lapangan.
"Dia ketua Gapoktan Lembah Rinjani diduga sebagai eksekutor yang membuka dan membakar kawasan hutan," ujarnya.
Karenanya, tersangka KD disangkakan pidana Pasal 92 Ayat 1 Huruf a Juncto Pasal 17 Ayat 2 Huruf b Undang-Undang RI Nomor 18/2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Selain sangkaan tersebut, tersangka turut dikenakan pidana Pasal 78 Ayat 3 Juncto Pasal 50 Ayat 3 Huruf d Undang-Undang RI Nomor 41/1999 tentang Kehutanan.
Tersangka juga turut dikenakan Pasal 40 Ayat 2 Juncto Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang RI Nomor 5/1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Ancaman pidananya, penjara paling lama 15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
Dari hasil pemeriksaan sementara, giat perambahan hutan dilakukan dengan alasan untuk pembukaan lahan tanam baru bagi masyarakat. Namun demikian penyidik dikatakan masih terus memburu peran intelektual alias cukong dari kasus perambahan ini.
Lebih lanjut, Mursal menjelaskan penanganan kasus ini merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam menjaga dan melestarikan hutan untuk tetap lestari. Harapnya dengan ada penegakkan hukum dapat memberikan efek jera serta menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian hutan.
"enanganan kasus ini dalam rangka menjaga eksistensi, kelestarian hutan, dan menjadikan proses penegakan hukum diharapkan memberi efek jera dan dapat menekan terjadinya degradasi dan deforestasi hutan," ucapnya.