Jakarta (ANTARA) - Kepolisian RI menolak saran yang disampaikan Ombudsman RI dari hasil rapid assessment (RA) terkait penanganan unjuk rasa dan kericuhan pada 21-23 Mei 2019 yang menimbulkan setidaknya sembilan korban jiwa.
"Sudah kami sampaikan tadi. Meskipun demikian, insititusi kepolisian dalam hal ini dipimpin langsung Pak Irwasum menolak menerima hasil RA ini," kata anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu, di Jakarta, Kamis.
Dari RA itu, Ombudsman RI menemukan adanya maladministrasi oleh Kepolisian RI dalam menjalankan tugas dan kewenangannya menangani unjuk rasa 21-23 Mei 2019 yang berakhir ricuh.
Maladministrasi ditemukan pada beberapa tahapan, antara lain penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur dan tidak kompeten pada perencanaan dan "plotting" pasukan, cara bertindak Polri, proses hukum sampai dengan penanganan korban dan barang bukti.
Bagi Ombudsman, kata dia, penolakan ini menjadi catatan bahwa Polri sebagai sebuah institusi yang memberikan pelayanan publik konteks penegakan hukum seperti tidak mau diawasi kinerjanya.
Utamanya, kata dia, dalam rangka menjalankan perintah undang, termasuk peraturan kepolisian yang menjadi standar pelayanan dalam rangka penanggulangan demonstrasi dan unjuk rasa.
Ninik menyebutkan penolakan saran yang disampaikan Irwasum Polri Komjen Pol Moechgiyarto itu karena menganggap kewenangan Ombudsman untuk melihat persoalan tersebut terkait penegakan hukum.
"Padahal, sebagai institusi yang memiliki kewenangan pengawasan dan pelayanan publik, Ombudsman kembali pada tata cara dan tahapan dalam bidang pencegahan yang hasilnya berupa saran perbaikan untuk ke depan," katanya.
Selain itu, kata Ninik, Irwasum Polri juga membantah temuan-temuan itu, misalnya kondisi yang terjadi sudah masuk dalam kategori kerusuhan saat itu, bukan lagi unjuk rasa, dan sebagainya.
"Sudah kami sampaikan tadi. Meskipun demikian, insititusi kepolisian dalam hal ini dipimpin langsung Pak Irwasum menolak menerima hasil RA ini," kata anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu, di Jakarta, Kamis.
Dari RA itu, Ombudsman RI menemukan adanya maladministrasi oleh Kepolisian RI dalam menjalankan tugas dan kewenangannya menangani unjuk rasa 21-23 Mei 2019 yang berakhir ricuh.
Maladministrasi ditemukan pada beberapa tahapan, antara lain penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur dan tidak kompeten pada perencanaan dan "plotting" pasukan, cara bertindak Polri, proses hukum sampai dengan penanganan korban dan barang bukti.
Bagi Ombudsman, kata dia, penolakan ini menjadi catatan bahwa Polri sebagai sebuah institusi yang memberikan pelayanan publik konteks penegakan hukum seperti tidak mau diawasi kinerjanya.
Utamanya, kata dia, dalam rangka menjalankan perintah undang, termasuk peraturan kepolisian yang menjadi standar pelayanan dalam rangka penanggulangan demonstrasi dan unjuk rasa.
Ninik menyebutkan penolakan saran yang disampaikan Irwasum Polri Komjen Pol Moechgiyarto itu karena menganggap kewenangan Ombudsman untuk melihat persoalan tersebut terkait penegakan hukum.
"Padahal, sebagai institusi yang memiliki kewenangan pengawasan dan pelayanan publik, Ombudsman kembali pada tata cara dan tahapan dalam bidang pencegahan yang hasilnya berupa saran perbaikan untuk ke depan," katanya.
Selain itu, kata Ninik, Irwasum Polri juga membantah temuan-temuan itu, misalnya kondisi yang terjadi sudah masuk dalam kategori kerusuhan saat itu, bukan lagi unjuk rasa, dan sebagainya.