Mataram (ANTARA) - Penyidik Tipikor Polda NTB, meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menelusuri aset milik tersangka kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan alat kesenian "marching band" pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) NTB tahun 2017.
Kasubdit III Tipikor Ditreskrimsus Polda NTB AKBP Syarif Hidayat di Mataram, Selasa, menjelaskan permintaan penelusuran harta kekayaan milik tersangka ini merupakan bagian dari upaya penyidik dalam pemulihan kerugian negaranya.
"Jadi kita sudah minta PPATK untuk menelusuri harta kekayaan tersangka," kata Syarif.
Terkait dengan permintaan ini, pihaknya dikatakan telah bersurat ke PPATK. Namun demikian, surat yang telah dikirimkan secara resmi tersebut, belum mendapat tanggapan dari PPATK.
Bahkan dalam permintaannya, penyidik tipikor turut mencantumkan pernyataan kesiapan untuk memberikan dokumen pendukung jika memang hal tersebut dibutuhkan dalam penelusuran asetnya.
Lebih lanjut, salah satu penelusuran aset milik tersangka yang membutuhkan keahlian PPATK itu berkaitan dengan aliran transaksi keuangan via perbankan.
"Itu mengalirnya kemana saja. Apakah pengiriman uang itu terkait dengan proyek itu atau tidak. Hari, jamnya, itu kan juga harus dilihat," ujar dia.
Dalam kasus ini, penyidik telah menyeret peran dua tersangka, yakni mantan Kasi Kelembagaan dan Sarpras Bidang Pembinaan SMA Dinas Dikbud Provinsi NTB berinisial MI, yang merupakan PPK proyek tersebut. Selanjutnya, Direktur CV Embun Emas, berinisial LB.
Proyek pengadaan alat kesenian "marching band" dibagi dalam dua paket. Paket pertama dibuat sebagai belanja modal dengan nilai HPS Rp1,68 miliar dari pagu anggaran Rp1,70 miliar.
CV Embun Emas memenangi tender dengan penawaran Rp1,57 miliar. Alat kesenian marching band pada paket pertama ini dibagi ke lima SMA/SMK negeri.
Paket kedua disusun sebagai belanja hibah untuk pengadaan bagi empat sekolah swasta. HPS-nya senilai Rp1,062 miliar. CV Embun Emas kembali menjadi pemenang tendernya dengan harga penawaran Rp982,43 juta.
Dari rangkaian penyelidikannya, penyidik menemukan indikasi PPK dan rekanan melakukan pemufakatan jahat mulai dari tahap perencanaan dengan rekanan yang memberikan katalog spesifikasi barang. HPS pun diduga disusun bersama-sama. Dalam kasus itu kerugian negara berdasarkan hasil hitungan BPKP Perwakilan NTB dengan nilai sebesar Rp702 juta.
Kasubdit III Tipikor Ditreskrimsus Polda NTB AKBP Syarif Hidayat di Mataram, Selasa, menjelaskan permintaan penelusuran harta kekayaan milik tersangka ini merupakan bagian dari upaya penyidik dalam pemulihan kerugian negaranya.
"Jadi kita sudah minta PPATK untuk menelusuri harta kekayaan tersangka," kata Syarif.
Terkait dengan permintaan ini, pihaknya dikatakan telah bersurat ke PPATK. Namun demikian, surat yang telah dikirimkan secara resmi tersebut, belum mendapat tanggapan dari PPATK.
Bahkan dalam permintaannya, penyidik tipikor turut mencantumkan pernyataan kesiapan untuk memberikan dokumen pendukung jika memang hal tersebut dibutuhkan dalam penelusuran asetnya.
Lebih lanjut, salah satu penelusuran aset milik tersangka yang membutuhkan keahlian PPATK itu berkaitan dengan aliran transaksi keuangan via perbankan.
"Itu mengalirnya kemana saja. Apakah pengiriman uang itu terkait dengan proyek itu atau tidak. Hari, jamnya, itu kan juga harus dilihat," ujar dia.
Dalam kasus ini, penyidik telah menyeret peran dua tersangka, yakni mantan Kasi Kelembagaan dan Sarpras Bidang Pembinaan SMA Dinas Dikbud Provinsi NTB berinisial MI, yang merupakan PPK proyek tersebut. Selanjutnya, Direktur CV Embun Emas, berinisial LB.
Proyek pengadaan alat kesenian "marching band" dibagi dalam dua paket. Paket pertama dibuat sebagai belanja modal dengan nilai HPS Rp1,68 miliar dari pagu anggaran Rp1,70 miliar.
CV Embun Emas memenangi tender dengan penawaran Rp1,57 miliar. Alat kesenian marching band pada paket pertama ini dibagi ke lima SMA/SMK negeri.
Paket kedua disusun sebagai belanja hibah untuk pengadaan bagi empat sekolah swasta. HPS-nya senilai Rp1,062 miliar. CV Embun Emas kembali menjadi pemenang tendernya dengan harga penawaran Rp982,43 juta.
Dari rangkaian penyelidikannya, penyidik menemukan indikasi PPK dan rekanan melakukan pemufakatan jahat mulai dari tahap perencanaan dengan rekanan yang memberikan katalog spesifikasi barang. HPS pun diduga disusun bersama-sama. Dalam kasus itu kerugian negara berdasarkan hasil hitungan BPKP Perwakilan NTB dengan nilai sebesar Rp702 juta.