Jakarta (ANTARA) - Rencana Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melarang rokok elektronik di Indonesia menimbulkan banyak pertentangan di masyarakat.
Salah satu pihak yang menolak rencana itu, tentu saja adalah para pengguna rokok elektronik. Mereka mengklaim bahwa rokok elektronik lebih aman karena menghasilkan uap daripada rokok biasa yang menghasilkan asap.
Karena itu, salah satu argumentasi mereka terhadap wacana pelarangan rokok elektronik adalah bila rokok elektronik dilarang mengapa rokok biasa juga tidak dilarang. Padahal rokok biasa yang menghasilkan asap lebih berbahaya.
Salah satu industri rokok multinasional yang memproduksi rokok elektronik adalah Philip Morris International. Dalam laman resminya, Philip Morris International menyatakan rokok elektronik diciptakan untuk menciptakan masa depan yang bebas asap rokok.
"Strategi perusahaan kami adalah mendukung WHO mengurangi prevalensi perokok," tulis Philip Morris International dalam laman resminya.
Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Widyastuti Soerojo mengatakan karena rokok biasa semakin ditekan di seluruh dunia, maka industri rokok multinasional kemudian mengembangkan rokok generasi baru, yaitu rokok elektronik.
Terdapat dua jenis rokok elektronik, yaitu rokok elektronik dengan cairan nikotin yang dipanaskan dan tembakau batangan yang dipanaskan. Keduanya menghasilkan uap, bukan asap.
Rokok generasi baru itu dipromosikan sebagai alat bantu bagi perokok untuk berhenti merokok, untuk menciptakan masa depan yang bebas asap rokok, mencegah tujuh juta kematian akibat rokok, mendukung kesehatan, mencegah penyakit akibat rokok, dan mengurangi risiko bahaya rokok.
Bahkan industri rokok multinasional membentuk yayasan yang mengampanyekan "dunia tanpa asap rokok" untuk mempromosikan rokok generasi baru itu.
Namun, benarkah industri rokok multinasional sudah beralih ke produk baru yang diklaim lebih aman? Tuti menduga pernyataan mendukung WHO dari industri rokok multinasional hanyalah strategi bisnis.
Industri rokok multinasional sama sekali bukan bermaksud melakukan alih bisnis dari membuat rokok biasa menjadi rokok elektronik, melainkan melakukan diversifikasi produk melalui rokok elektronik.
"Faktanya, mereka tetap memproduksi rokok biasa lebih banyak daripada rokok elektronik," ujarnya.
Tuti mengatakan fakta bahwa industri rokok multinasional hanya melakukan diversifikasi produk adalah pendaftaran merek yang dilakukan tiga industri besar di lima negara Asia Tenggara pada rentang waktu 2015 hingga 2019.
Sebanyak 357 merek rokok biasa mereka daftarkan, sedangkan rokok elektronik yang didaftarkan hanya 102 merek. Itu berarti 78 persen industri rokok multinasional itu masih menjual rokok biasa.
Pegiat Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Tubagus Haryo Karbyanto yang melakukan penelusuran data pendaftaran merek di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menemukan terdapat 156 pengajuan merek baru yang dilakukan tiga industri rokok multinasional pada rentang waktu Januari 2015 hingga April 2019.
"Dari keseluruhan merek baru yang diajukan 41 untuk rokok biasa, 10 untuk rokok elektronik cair, enam untuk tembakau batangan yang dipanaskan, dan 99 untuk lain-lain seperti logo, frasa, dan lain-lain," jelasnya.
Tubagus mengatakan temuan itu menunjukkan industri rokok multinasional tetap memproduksi dan menjual rokok biasa dalam waktu yang akan cukup panjang.
"Walaupun ada inovasi berupa produk alternatif, tetapi dalam analisis merek di atas, tidak akan signifikan menjangkau atau memperluas pasarnya," tuturnya.
Penolakan IDI
Yayasan yang mengampanyekan "dunia bebas asap rokok" ditengarai sudah masuk ke Indonesia, dan sudah mendapat penolakan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Pengurus Besar IDI dan sejumlah organisasi perhimpunan dokter spesialis dan perhimpunan dokter seminat yang menjadi anggotanya telah menyatakan menolak bekerja sama dengan yayasan yang dibentuk industri rokok multinasional.
"Setelah berdiskusi, kami sepakat menyatakan sikap menolak kerja sama dengan industri rokok, termasuk yayasan afiliasinya, dalam bentuk apapun demi melindungi generasi yang akan datang," kata Ketua Umum PB IDI Daeng M Faqih.
Daeng menyatakan sebagai garis depan dalam menjaga kesehatan masyarakat, dokter harus mengetahui ancaman-ancaman lain yang bisa muncul dari industri yang membahayakan kesehatan.
"Dunia bebas asap rokok" atau "smoke-free world" yang dikampanyekan yayasan bentukan industri rokok multinasional itu disinyalir merupakan strategi bisnis dengan menggunakan istilah "bebas rokok" atau "smoke-free" yang sudah digunakan lebih dahulu oleh kalangan kesehatan.
Dengan istilah yang mirip, kalangan kesehatan menduga industri rokok multinasional berupaya mengecoh masyarakat sebagai bagian untuk memasarkan produk tembakau baru, yaitu rokok elektronik atau tembakau yang dipanaskan.
Yayasan yang menjadi topeng pemasaran rokok elektronik tersebut disinyalir sudah masuk ke Indonesia dan mulai mendekati dan membujuk lembaga-lembaga riset, akademisi, dan universitas untuk melakukan penelitian atau kampanye yang mendukung bisnis baru tersebut.
"Rokok biasa dan rokok elektronik sama berbahayanya dan sama-sama menyebabkan kecanduan. Bahkan bisa menyebabkan kecanduan ganda, yaitu kecanduan rokok biasa dan rokok elektronik," kata Daeng.
Karena itu, Daeng berharap para praktisi kesehatan di Indonesia cukup terinformasi dan mewaspadai strategi yang dilakukan industri rokok multinasional tersebut.
Pelindungan anak
Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari mendukung rencana pemerintah untuk melarang rokok elektronik sebagai upaya melindungi anak-anak Indonesia.
"Kami sering melakukan advokasi ke sekolah-sekolah tentang bahaya rokok dan rokok elektronik. Ternyata guru-guru mengaku beberapa kali mendapati murid-muridnya membawa perangkat rokok elektronik," katanya.
Lisda mengatakan guru-guru tersebut awalnya tidak tahu bahwa perangkat yang dibawa murid-muridnya itu merupakan rokok elektronik karena memang tidak pernah melihat sebelumnya.
Saat perangkat itu ditanyakan ke murid-murid yang kedapatan membawa, mereka mengatakan bahwa itu adalah "flashdisk" atau "powerbank".
"Mereka baru sadar itu perangkat rokok elektronik saat kami melakukan advokasi dan tunjukkan," jelasnya.
Kisah pilu juga pernah Lentera Anak dapatkan melalui surat elektronik. Surat elektronik itu dari seorang ibu yang mengeluh karena mendapati perangkat rokok elektronik di tas anaknya.
"Ibu bercerita selama ini berusaha keras melindungi anaknya dari rokok. Selalu dijauhkan dari rokok. Hatinya hancur saat menemukan perangkat rokok elektronik di tas anaknya," tuturnya.
Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau IAKMI WIdyastuti Soerojo mengatakan rokok elektronik berpeluang besar akan menjadi beban ganda bagi generasi muda Indonesia.
"Masalah prevalensi perokok biasa di kalangan anak dan remaja belum selesai, kini Indonesia dihadapkan pada prevalensi perokok elektronik," katanya.
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi perokok biasa pada penduduk usia 10 tahun hingga 18 tahun adalah 9,1 persen, meningkat bila dibandingkan pada 2013 yang di angka 7,2 persen.
Sementara itu, riset yang sama menemukan prevalensi perokok elektronik penduduk usia 10 tahun hingga 18 tahun mencapai 10,9 persen.
"Remaja lebih rentan terhadap nikotin daripada dewasa, yaitu efek neurotoksik pada prefrontal cortex yang akan mengganggu perkembangan fungsi kognitif, fungsi eksekutif, daya ingat, dan kendali emosi," tuturnya.
Tuti mengatakan prefrontal cortex merupakan bagian otak yang perkembangannya paling lambat hingga seseorang berusia 20 tahun.
Prevalensi perokok biasa dan perokok elektronik, jelas bertentangan dengan visi pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing.
Karena itu, Tuti mengatakan rokok elektronik harus dilarang sebelum menimbulkan permasalahan yang sulit diatasi. Pemerintah Indonesia bisa mencontoh sikap negara-negara lain, yaitu melarang sebelum ada penelitian komprehensif yang menyatakan aman.
"Permasalahan yang timbul akibat rokok biasa saja saat ini sudah cukup sulit diatasi. Jangan sampai timbul masalah baru akibat rokok elektronik," katanya.
Tuti mengatakan pelarangan terhadap rokok elektronik bukan berarti kemudian rokok biasa dibiarkan. Yang harus dilakukan adalah rokok elektronik dilarang dan konsumsi rokok biasa ditekan.
Tekanan terhadap rokok biasa itu di seluruh dunia dilakukan melalui Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Indonesia, meskipun merupakan negara anggota WHO dan ikut ambil bagian dalam pembahasan FCTC, tetapi belum menjadi bagian dari negara pihak FCTC karena belum meratifikasi atau mengaksesinya.
Namun, untuk menekan konsumsi rokok, pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah mengumumkan kenaikan tarif cukai yang cukup tinggi pada 2020.
Salah satu pihak yang menolak rencana itu, tentu saja adalah para pengguna rokok elektronik. Mereka mengklaim bahwa rokok elektronik lebih aman karena menghasilkan uap daripada rokok biasa yang menghasilkan asap.
Karena itu, salah satu argumentasi mereka terhadap wacana pelarangan rokok elektronik adalah bila rokok elektronik dilarang mengapa rokok biasa juga tidak dilarang. Padahal rokok biasa yang menghasilkan asap lebih berbahaya.
Salah satu industri rokok multinasional yang memproduksi rokok elektronik adalah Philip Morris International. Dalam laman resminya, Philip Morris International menyatakan rokok elektronik diciptakan untuk menciptakan masa depan yang bebas asap rokok.
"Strategi perusahaan kami adalah mendukung WHO mengurangi prevalensi perokok," tulis Philip Morris International dalam laman resminya.
Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Widyastuti Soerojo mengatakan karena rokok biasa semakin ditekan di seluruh dunia, maka industri rokok multinasional kemudian mengembangkan rokok generasi baru, yaitu rokok elektronik.
Terdapat dua jenis rokok elektronik, yaitu rokok elektronik dengan cairan nikotin yang dipanaskan dan tembakau batangan yang dipanaskan. Keduanya menghasilkan uap, bukan asap.
Rokok generasi baru itu dipromosikan sebagai alat bantu bagi perokok untuk berhenti merokok, untuk menciptakan masa depan yang bebas asap rokok, mencegah tujuh juta kematian akibat rokok, mendukung kesehatan, mencegah penyakit akibat rokok, dan mengurangi risiko bahaya rokok.
Bahkan industri rokok multinasional membentuk yayasan yang mengampanyekan "dunia tanpa asap rokok" untuk mempromosikan rokok generasi baru itu.
Namun, benarkah industri rokok multinasional sudah beralih ke produk baru yang diklaim lebih aman? Tuti menduga pernyataan mendukung WHO dari industri rokok multinasional hanyalah strategi bisnis.
Industri rokok multinasional sama sekali bukan bermaksud melakukan alih bisnis dari membuat rokok biasa menjadi rokok elektronik, melainkan melakukan diversifikasi produk melalui rokok elektronik.
"Faktanya, mereka tetap memproduksi rokok biasa lebih banyak daripada rokok elektronik," ujarnya.
Tuti mengatakan fakta bahwa industri rokok multinasional hanya melakukan diversifikasi produk adalah pendaftaran merek yang dilakukan tiga industri besar di lima negara Asia Tenggara pada rentang waktu 2015 hingga 2019.
Sebanyak 357 merek rokok biasa mereka daftarkan, sedangkan rokok elektronik yang didaftarkan hanya 102 merek. Itu berarti 78 persen industri rokok multinasional itu masih menjual rokok biasa.
Pegiat Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Tubagus Haryo Karbyanto yang melakukan penelusuran data pendaftaran merek di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menemukan terdapat 156 pengajuan merek baru yang dilakukan tiga industri rokok multinasional pada rentang waktu Januari 2015 hingga April 2019.
"Dari keseluruhan merek baru yang diajukan 41 untuk rokok biasa, 10 untuk rokok elektronik cair, enam untuk tembakau batangan yang dipanaskan, dan 99 untuk lain-lain seperti logo, frasa, dan lain-lain," jelasnya.
Tubagus mengatakan temuan itu menunjukkan industri rokok multinasional tetap memproduksi dan menjual rokok biasa dalam waktu yang akan cukup panjang.
"Walaupun ada inovasi berupa produk alternatif, tetapi dalam analisis merek di atas, tidak akan signifikan menjangkau atau memperluas pasarnya," tuturnya.
Penolakan IDI
Yayasan yang mengampanyekan "dunia bebas asap rokok" ditengarai sudah masuk ke Indonesia, dan sudah mendapat penolakan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Pengurus Besar IDI dan sejumlah organisasi perhimpunan dokter spesialis dan perhimpunan dokter seminat yang menjadi anggotanya telah menyatakan menolak bekerja sama dengan yayasan yang dibentuk industri rokok multinasional.
"Setelah berdiskusi, kami sepakat menyatakan sikap menolak kerja sama dengan industri rokok, termasuk yayasan afiliasinya, dalam bentuk apapun demi melindungi generasi yang akan datang," kata Ketua Umum PB IDI Daeng M Faqih.
Daeng menyatakan sebagai garis depan dalam menjaga kesehatan masyarakat, dokter harus mengetahui ancaman-ancaman lain yang bisa muncul dari industri yang membahayakan kesehatan.
"Dunia bebas asap rokok" atau "smoke-free world" yang dikampanyekan yayasan bentukan industri rokok multinasional itu disinyalir merupakan strategi bisnis dengan menggunakan istilah "bebas rokok" atau "smoke-free" yang sudah digunakan lebih dahulu oleh kalangan kesehatan.
Dengan istilah yang mirip, kalangan kesehatan menduga industri rokok multinasional berupaya mengecoh masyarakat sebagai bagian untuk memasarkan produk tembakau baru, yaitu rokok elektronik atau tembakau yang dipanaskan.
Yayasan yang menjadi topeng pemasaran rokok elektronik tersebut disinyalir sudah masuk ke Indonesia dan mulai mendekati dan membujuk lembaga-lembaga riset, akademisi, dan universitas untuk melakukan penelitian atau kampanye yang mendukung bisnis baru tersebut.
"Rokok biasa dan rokok elektronik sama berbahayanya dan sama-sama menyebabkan kecanduan. Bahkan bisa menyebabkan kecanduan ganda, yaitu kecanduan rokok biasa dan rokok elektronik," kata Daeng.
Karena itu, Daeng berharap para praktisi kesehatan di Indonesia cukup terinformasi dan mewaspadai strategi yang dilakukan industri rokok multinasional tersebut.
Pelindungan anak
Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari mendukung rencana pemerintah untuk melarang rokok elektronik sebagai upaya melindungi anak-anak Indonesia.
"Kami sering melakukan advokasi ke sekolah-sekolah tentang bahaya rokok dan rokok elektronik. Ternyata guru-guru mengaku beberapa kali mendapati murid-muridnya membawa perangkat rokok elektronik," katanya.
Lisda mengatakan guru-guru tersebut awalnya tidak tahu bahwa perangkat yang dibawa murid-muridnya itu merupakan rokok elektronik karena memang tidak pernah melihat sebelumnya.
Saat perangkat itu ditanyakan ke murid-murid yang kedapatan membawa, mereka mengatakan bahwa itu adalah "flashdisk" atau "powerbank".
"Mereka baru sadar itu perangkat rokok elektronik saat kami melakukan advokasi dan tunjukkan," jelasnya.
Kisah pilu juga pernah Lentera Anak dapatkan melalui surat elektronik. Surat elektronik itu dari seorang ibu yang mengeluh karena mendapati perangkat rokok elektronik di tas anaknya.
"Ibu bercerita selama ini berusaha keras melindungi anaknya dari rokok. Selalu dijauhkan dari rokok. Hatinya hancur saat menemukan perangkat rokok elektronik di tas anaknya," tuturnya.
Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau IAKMI WIdyastuti Soerojo mengatakan rokok elektronik berpeluang besar akan menjadi beban ganda bagi generasi muda Indonesia.
"Masalah prevalensi perokok biasa di kalangan anak dan remaja belum selesai, kini Indonesia dihadapkan pada prevalensi perokok elektronik," katanya.
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi perokok biasa pada penduduk usia 10 tahun hingga 18 tahun adalah 9,1 persen, meningkat bila dibandingkan pada 2013 yang di angka 7,2 persen.
Sementara itu, riset yang sama menemukan prevalensi perokok elektronik penduduk usia 10 tahun hingga 18 tahun mencapai 10,9 persen.
"Remaja lebih rentan terhadap nikotin daripada dewasa, yaitu efek neurotoksik pada prefrontal cortex yang akan mengganggu perkembangan fungsi kognitif, fungsi eksekutif, daya ingat, dan kendali emosi," tuturnya.
Tuti mengatakan prefrontal cortex merupakan bagian otak yang perkembangannya paling lambat hingga seseorang berusia 20 tahun.
Prevalensi perokok biasa dan perokok elektronik, jelas bertentangan dengan visi pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing.
Karena itu, Tuti mengatakan rokok elektronik harus dilarang sebelum menimbulkan permasalahan yang sulit diatasi. Pemerintah Indonesia bisa mencontoh sikap negara-negara lain, yaitu melarang sebelum ada penelitian komprehensif yang menyatakan aman.
"Permasalahan yang timbul akibat rokok biasa saja saat ini sudah cukup sulit diatasi. Jangan sampai timbul masalah baru akibat rokok elektronik," katanya.
Tuti mengatakan pelarangan terhadap rokok elektronik bukan berarti kemudian rokok biasa dibiarkan. Yang harus dilakukan adalah rokok elektronik dilarang dan konsumsi rokok biasa ditekan.
Tekanan terhadap rokok biasa itu di seluruh dunia dilakukan melalui Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Indonesia, meskipun merupakan negara anggota WHO dan ikut ambil bagian dalam pembahasan FCTC, tetapi belum menjadi bagian dari negara pihak FCTC karena belum meratifikasi atau mengaksesinya.
Namun, untuk menekan konsumsi rokok, pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah mengumumkan kenaikan tarif cukai yang cukup tinggi pada 2020.