Mataram (ANTARA) - Pengamat hukum dari Universitas Mataram Prof Amiruddin menyatakan Kepolisian Resort Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, melakukan kekeliruan prosedur dalam pengiriman Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terkait kasus dugaan pemalsuan dokumen oleh Kepala Desa Kuta, Mirate.
"Yang saya terima memang penyidik telah melakukan prosedur yang keliru dalam pengiriman SPDP. Harusnya itu ditembuskan ke tersangka, namun tidak dilakukan. Ini artinya cacat prosedur. Karena cacat prosedur, maka penahanan juga cacat," kata Prof Amiruddin, yang menjadi saksi ahli pemohon dalam sidang praperadilan Polres Lombok Tengah, di Pengadilan Negeri Praya, Kabupaten Lombok Tengah, Rabu.
Kepala Desa Kuta, Mirate, mempraperadilankan Polres Lombok Tengah yang telah menetapkan status tersangka atas dugaan pemalsuan dokumen sporadik tanah dalam Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika.
Mirate bersama salah seorang warga bernama Sulaiman ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polres Lombok Tengah sejak 1 November 2019.
Di hadapan Hakim Ketua, Fita Juwiati SH, yang memimpin sidang lanjutan praperadilan Polres Lombok Tengah, Amiruddin mengatakan pengiriman SPDP kepada tersangka harus bisa dibuktikan di sidang praperadilan.
Dari informasi yang diperoleh, kata dia, penyidik Polres Lombok Tengah sudah mengirim SPDP kepada tersangka dan ada penolakan. Namun, apakah penolakan tersebut sudah dibuat dalam berita acara.
"Saya tidak tahu, itu sudah dilakukan apa tidak. Itu yang harus dibuktikan di praperadilan ini. Kalau tidak ada, maka tidak sah penetapan tersangka dan penahanan. Jadi, ini hulunya yang salah, hulunya yang cacat. Hilirnya mungkin benar," katanya.
Sebelumnya, Kasat Reskrim Polres Lombok Tengah, AKP Rafles P Girsang, membantah adanya tindakan kriminalisasi dalam penanganan kasus dugaan pemalsuan surat tanah tersebut.
"Kalau kita paksakan itu tidak, karena dua alat bukti sudah ada. Ada data-data terkait sporadik, register desa dan saksi yang diperiksa mengatakan tanah itu sudah ada sertifikat hak milik, serta minta keterangan ahli dari Badan Pertanahan Nasional bahwa tanah itu sudah ada sertifikat hak milik. Jadi dua alat bukti sudah kami teliti," tuturnya.
Rafles juga membantah bahwa tindakan penyidik dalam menetapkan status tersangka di luar mekanisme yang berlaku.
"Kami sudah ada mekanisme semua bagaimana alat bukti dan penahanan. Nanti kita lihat di pengadilan," ucapnya.
Ia juga menegaskan bahwa upaya praperadilan yang dilakukan oleh kedua tersangka merupakan hak setiap warga negara, sehingga pihaknya menyerahkan sepenuhnya masalah tersebut ke pengadilan.
"Hak dari pada tersangka melakukan uji terhadap hasil penyidikan kami. Kemarin katanya karena penahanan tidak sah," ujar Rafles.
"Yang saya terima memang penyidik telah melakukan prosedur yang keliru dalam pengiriman SPDP. Harusnya itu ditembuskan ke tersangka, namun tidak dilakukan. Ini artinya cacat prosedur. Karena cacat prosedur, maka penahanan juga cacat," kata Prof Amiruddin, yang menjadi saksi ahli pemohon dalam sidang praperadilan Polres Lombok Tengah, di Pengadilan Negeri Praya, Kabupaten Lombok Tengah, Rabu.
Kepala Desa Kuta, Mirate, mempraperadilankan Polres Lombok Tengah yang telah menetapkan status tersangka atas dugaan pemalsuan dokumen sporadik tanah dalam Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika.
Mirate bersama salah seorang warga bernama Sulaiman ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polres Lombok Tengah sejak 1 November 2019.
Di hadapan Hakim Ketua, Fita Juwiati SH, yang memimpin sidang lanjutan praperadilan Polres Lombok Tengah, Amiruddin mengatakan pengiriman SPDP kepada tersangka harus bisa dibuktikan di sidang praperadilan.
Dari informasi yang diperoleh, kata dia, penyidik Polres Lombok Tengah sudah mengirim SPDP kepada tersangka dan ada penolakan. Namun, apakah penolakan tersebut sudah dibuat dalam berita acara.
"Saya tidak tahu, itu sudah dilakukan apa tidak. Itu yang harus dibuktikan di praperadilan ini. Kalau tidak ada, maka tidak sah penetapan tersangka dan penahanan. Jadi, ini hulunya yang salah, hulunya yang cacat. Hilirnya mungkin benar," katanya.
Sebelumnya, Kasat Reskrim Polres Lombok Tengah, AKP Rafles P Girsang, membantah adanya tindakan kriminalisasi dalam penanganan kasus dugaan pemalsuan surat tanah tersebut.
"Kalau kita paksakan itu tidak, karena dua alat bukti sudah ada. Ada data-data terkait sporadik, register desa dan saksi yang diperiksa mengatakan tanah itu sudah ada sertifikat hak milik, serta minta keterangan ahli dari Badan Pertanahan Nasional bahwa tanah itu sudah ada sertifikat hak milik. Jadi dua alat bukti sudah kami teliti," tuturnya.
Rafles juga membantah bahwa tindakan penyidik dalam menetapkan status tersangka di luar mekanisme yang berlaku.
"Kami sudah ada mekanisme semua bagaimana alat bukti dan penahanan. Nanti kita lihat di pengadilan," ucapnya.
Ia juga menegaskan bahwa upaya praperadilan yang dilakukan oleh kedua tersangka merupakan hak setiap warga negara, sehingga pihaknya menyerahkan sepenuhnya masalah tersebut ke pengadilan.
"Hak dari pada tersangka melakukan uji terhadap hasil penyidikan kami. Kemarin katanya karena penahanan tidak sah," ujar Rafles.