Jakarta (ANTARA) - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mendorong dibuatnya peta jalan atau roadmap industri hasil tembakau (IHT) yang komprehensif dari seluruh stakeholder baik pemerintah, industri hingga petani.
Menurut dia, peta jalan tersebut merupakan jawaban terhadap berkembangnya polemik selama ini terkait keputusan pemerintah yang akan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23 persen pada tahun depan. Aturan ini akan membuat Harga Jual Eceran (HJE) rokok pun naik hingga 35 persen.
"Saya sangat setuju bahwa roadmap yang komprehensif itu salah satu jawaban (terhadap polemik tersebut)," katanya di Jakarta, Rabu.
Enny mengatakan roadmap yang komprehensif tersebut nantinya diharapkan mampu menjawab kepastian investasi. Sebab, pentingnya peran industri hasil tembakau bukan hanya menjadi modal kapital bagi negara tetapi juga menjadi daya tarik bagi investor untuk berinvestasi.
Senada dengan hal itu Asisten Deputi Pengembangan Industri, Kemenko Perekonomian, Atong Soekirman menyatakan pihaknya mendukung dibentuknya peta jalan IHT dan berharap terjadi komunikasi yang baik dan intensif dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder).
"Kita berharap di dalam pembentukan roadmap industri hasil tembakau ada komunikasi yang intens duduk bareng dan kalau bisa sudah menyedot tembakau petani sudah berapa banyak. Ini harus duduk bareng," ujarnya.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memandang peta jalan (roadmap) IHT masih dibutuhkan untuk segera dirancang oleh pemerintah, pasalnya, keterkaitan IHT ini sangat dalam dan luas terhadap penerimaan negara dan beberapa pihak lainnya.
"Kami melihat roadmap ini masih sangat diperlukan karena keterkaitan industri sangat dalam dan luas tadi, maka perlu suatu guidance ke depannya," ucap Kepala Subdirektorat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Mogadishu Djati Ertanto dalam diskusi Akurat Economic Forum dengan tema "Urgensi Roadmap Industri Hasil Tembakau Mengawal Kepastian Investasi".
Ia mengungkapkan, Kemenperin pernah merancang peta jalan (roadmap) IHT melalui Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 63 Tahun 2015 tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau 2015 hingga 2020.
Namun, roadmap itu dianulir oleh Mahkamah Agung (MA) karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan industri saat itu.
"Pada 2016 ternyata harus dicabut karena bertentangan dengan UU Kesehatan," imbuhnya.
Menurut dia, pemerintah harus segera bisa mencari titik tengahnya. Mulai dari sudut pandang petani maupun industri agar bisa searah, apalagi, Indonesia merupakan negara penghasil IHT terbesar ke-2 di dunia.
Dikatakannya, jika semua pemangku kepentingan sepakat meneruskan roadmap, tentunya dengan langkah-langkah terukur, sebab di beberapa negara memang tidak serta merta langsung.
"Untuk di Indonesia, perlu suatu roadmap yang bisa menjadi acuan bagi instansi pemerintah untuk membuat kebijakan atau mem-framing mereka baik operasional, rencana investasi, bahkan juga masalah ketenagakerjaan kita bisa direncanakan dengan baik," katanya.
Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai, Ditjen Bea Cukai Nirwala Dwi Heryanto mengatakan begitu pentingnya IHT bagi penerimaan negara bahkan penerimaan cukai selalu melampaui target.
"Insya Allah tahun ini juga 100 persen lebih sedikit. Kalau kata Menkeu Sri Mulyani ini bukan prestasi, tapi tradisi," kata Nirwala pada acara diskusi tersebut.
Nirwala mengatakan pentingnya IHT di Indonesia bisa terlihat dari ukuran industrinya itu sendiri. Misalnya, membandingkan BUMN saat ini nilainya Rp1.450 triliun, tapi kontribusinya pada fiskal hanya Rp160 triliun atau 9,5 persen.
Sementara itu, IHT yang nilai industrinya Rp326 triliun, berkontribusi Rp200 triliun atau 61,4 persen.
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menegaskan industri hasil tembakau merupakan primadona yang menjadi daya tarik masuknya investasi asing ke dalam negeri.
Menurut dia, peta jalan tersebut merupakan jawaban terhadap berkembangnya polemik selama ini terkait keputusan pemerintah yang akan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23 persen pada tahun depan. Aturan ini akan membuat Harga Jual Eceran (HJE) rokok pun naik hingga 35 persen.
"Saya sangat setuju bahwa roadmap yang komprehensif itu salah satu jawaban (terhadap polemik tersebut)," katanya di Jakarta, Rabu.
Enny mengatakan roadmap yang komprehensif tersebut nantinya diharapkan mampu menjawab kepastian investasi. Sebab, pentingnya peran industri hasil tembakau bukan hanya menjadi modal kapital bagi negara tetapi juga menjadi daya tarik bagi investor untuk berinvestasi.
Senada dengan hal itu Asisten Deputi Pengembangan Industri, Kemenko Perekonomian, Atong Soekirman menyatakan pihaknya mendukung dibentuknya peta jalan IHT dan berharap terjadi komunikasi yang baik dan intensif dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder).
"Kita berharap di dalam pembentukan roadmap industri hasil tembakau ada komunikasi yang intens duduk bareng dan kalau bisa sudah menyedot tembakau petani sudah berapa banyak. Ini harus duduk bareng," ujarnya.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memandang peta jalan (roadmap) IHT masih dibutuhkan untuk segera dirancang oleh pemerintah, pasalnya, keterkaitan IHT ini sangat dalam dan luas terhadap penerimaan negara dan beberapa pihak lainnya.
"Kami melihat roadmap ini masih sangat diperlukan karena keterkaitan industri sangat dalam dan luas tadi, maka perlu suatu guidance ke depannya," ucap Kepala Subdirektorat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Mogadishu Djati Ertanto dalam diskusi Akurat Economic Forum dengan tema "Urgensi Roadmap Industri Hasil Tembakau Mengawal Kepastian Investasi".
Ia mengungkapkan, Kemenperin pernah merancang peta jalan (roadmap) IHT melalui Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 63 Tahun 2015 tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau 2015 hingga 2020.
Namun, roadmap itu dianulir oleh Mahkamah Agung (MA) karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan industri saat itu.
"Pada 2016 ternyata harus dicabut karena bertentangan dengan UU Kesehatan," imbuhnya.
Menurut dia, pemerintah harus segera bisa mencari titik tengahnya. Mulai dari sudut pandang petani maupun industri agar bisa searah, apalagi, Indonesia merupakan negara penghasil IHT terbesar ke-2 di dunia.
Dikatakannya, jika semua pemangku kepentingan sepakat meneruskan roadmap, tentunya dengan langkah-langkah terukur, sebab di beberapa negara memang tidak serta merta langsung.
"Untuk di Indonesia, perlu suatu roadmap yang bisa menjadi acuan bagi instansi pemerintah untuk membuat kebijakan atau mem-framing mereka baik operasional, rencana investasi, bahkan juga masalah ketenagakerjaan kita bisa direncanakan dengan baik," katanya.
Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai, Ditjen Bea Cukai Nirwala Dwi Heryanto mengatakan begitu pentingnya IHT bagi penerimaan negara bahkan penerimaan cukai selalu melampaui target.
"Insya Allah tahun ini juga 100 persen lebih sedikit. Kalau kata Menkeu Sri Mulyani ini bukan prestasi, tapi tradisi," kata Nirwala pada acara diskusi tersebut.
Nirwala mengatakan pentingnya IHT di Indonesia bisa terlihat dari ukuran industrinya itu sendiri. Misalnya, membandingkan BUMN saat ini nilainya Rp1.450 triliun, tapi kontribusinya pada fiskal hanya Rp160 triliun atau 9,5 persen.
Sementara itu, IHT yang nilai industrinya Rp326 triliun, berkontribusi Rp200 triliun atau 61,4 persen.
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menegaskan industri hasil tembakau merupakan primadona yang menjadi daya tarik masuknya investasi asing ke dalam negeri.