Mataram (ANTARA) - Wali Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat H Ahyar Abduh meminta agar pembangunan hunian sementara (huntara) bagi nelayan Pondok Perasi yang terdampak eksekusi lahan dipercepat agar nelayan bisa segera menempati hunian yang lebih representatif.
"Apalagi sekarang intensitas hujan meningkat, kondisi tenda di lokasi pengungsian di Kelurahan Bintaro pasti tergenang," katanya kepada sejumlah wartawan di Mataram, Jumat.
Kondisi itu terjadi, katanya, karena pemerintah daerah tidak memiliki lahan lain untuk merelokasi sekitar 83 kepala keluarga (KK) nelayan warga Pondok Perasi yang terdampak eksekusi lahan selain ke Bintaro.
Lahan yang ditempati nelayan mengungsi saat ini, kata dia, merupakan lahan milik pemerintah kota yang disiapkan untuk pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) nelayan dengan luas 2 hektare. Direncanakan terbangun tahun ini dan selesai Oktober 2020.
"Selain itu, nelayan juga tidak mau direlokasi ke Rusunawa Mandalika maupun Selagas agar bisa lebih nyaman dan bebas dari genangan. Alasannya, karena nelayan tidak mau jauh dari kawasan pantai yang menjadi lahan mata pencarian," katanya.
Wali kota mengatakan, untuk menjamin puluhan KK di Pondok Perasi tidak terlantar setelah eksekusi lahan, pemerintah kota sejak awal sudah melakukan beberapa upaya.
Upaya yang dimaksudkan itu antara lain, pemerintah kota ingin membeli lahan sekitar 80 are milik dari Ratna Sari Dewi yang dinyatakan menang secara inkrah (berkekuatan hukum tetap) terhadap kepemilikan lahan tersebut.
"Namun dari sisi aturan, pembelian lahan tidak dibolehkan karena lahan masih dalam sengketa, dan kami tidak bisa masuk ke ranah hukum," katanya.
Solusi lainnya, yang telah diupayakan pemerintah kota adalah melakukan negosiasi dengan pemilik lahan agar menunda eksekusi hingga pembangunan rusunawa nelayan di Bintaro rampung.
"Solusi itupun juga tidak bisa terealisasi dengan berbagai alasan dan akhirnya kita mengambil langkah pembangunan tenda darurat di Bintaro untuk nelayan Pondok Perasi," katanya.
Dengan demikian, sebelum eksekusi dilakukan pada tanggal 6 Januari 2020, sebagian nelayan sejak tanggal 18 Desember 2019, sudah menempati lokasi pengungsian sementara sisanya bertahan di Pondok Perasi dengan keyakinan masih ada peluang hukum untuk diperjuangkan sampai eksekusi dilakukan.
"Sampai sekarang warga yang tidak mau direlokasi masih memilih tinggal di bekas lahan eksekusi dan aparat terus melakukan komunikasi agar mereka mau direlokasi agar bisa mendapatkan fasilitas yang telah kita siapkan," demikian Ahyar Abduh.
"Apalagi sekarang intensitas hujan meningkat, kondisi tenda di lokasi pengungsian di Kelurahan Bintaro pasti tergenang," katanya kepada sejumlah wartawan di Mataram, Jumat.
Kondisi itu terjadi, katanya, karena pemerintah daerah tidak memiliki lahan lain untuk merelokasi sekitar 83 kepala keluarga (KK) nelayan warga Pondok Perasi yang terdampak eksekusi lahan selain ke Bintaro.
Lahan yang ditempati nelayan mengungsi saat ini, kata dia, merupakan lahan milik pemerintah kota yang disiapkan untuk pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) nelayan dengan luas 2 hektare. Direncanakan terbangun tahun ini dan selesai Oktober 2020.
"Selain itu, nelayan juga tidak mau direlokasi ke Rusunawa Mandalika maupun Selagas agar bisa lebih nyaman dan bebas dari genangan. Alasannya, karena nelayan tidak mau jauh dari kawasan pantai yang menjadi lahan mata pencarian," katanya.
Wali kota mengatakan, untuk menjamin puluhan KK di Pondok Perasi tidak terlantar setelah eksekusi lahan, pemerintah kota sejak awal sudah melakukan beberapa upaya.
Upaya yang dimaksudkan itu antara lain, pemerintah kota ingin membeli lahan sekitar 80 are milik dari Ratna Sari Dewi yang dinyatakan menang secara inkrah (berkekuatan hukum tetap) terhadap kepemilikan lahan tersebut.
"Namun dari sisi aturan, pembelian lahan tidak dibolehkan karena lahan masih dalam sengketa, dan kami tidak bisa masuk ke ranah hukum," katanya.
Solusi lainnya, yang telah diupayakan pemerintah kota adalah melakukan negosiasi dengan pemilik lahan agar menunda eksekusi hingga pembangunan rusunawa nelayan di Bintaro rampung.
"Solusi itupun juga tidak bisa terealisasi dengan berbagai alasan dan akhirnya kita mengambil langkah pembangunan tenda darurat di Bintaro untuk nelayan Pondok Perasi," katanya.
Dengan demikian, sebelum eksekusi dilakukan pada tanggal 6 Januari 2020, sebagian nelayan sejak tanggal 18 Desember 2019, sudah menempati lokasi pengungsian sementara sisanya bertahan di Pondok Perasi dengan keyakinan masih ada peluang hukum untuk diperjuangkan sampai eksekusi dilakukan.
"Sampai sekarang warga yang tidak mau direlokasi masih memilih tinggal di bekas lahan eksekusi dan aparat terus melakukan komunikasi agar mereka mau direlokasi agar bisa mendapatkan fasilitas yang telah kita siapkan," demikian Ahyar Abduh.