HKTI inginkan larangan ekspor CPO dapat dicabut
kebijakan tersebut kini terbukti malah mendatangkan lebih banyak lagi kerugian
Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon menginginkan agar kebijakan terkait larangan ekspor CPO dapat dicabut karena merugikan pihak kalangan petani sawit di berbagai daerah serta tidak menyelesaikan masalah.
"Selain gagal mencapai tujuannya, yaitu menurunkan harga minyak goreng eceran di dalam negeri, kebijakan tersebut kini terbukti malah mendatangkan lebih banyak lagi kerugian, baik terhadap neraca perdagangan, maupun terhadap petani sawit dan produsen CPO kita," kata Fadli Zon dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, kebijakan tersebut tidak berangkat dari kajian matang, serta HKTI juga telah menyampaikan kepada pemerintah bahwa larangan ekspor bukanlah solusi, karena penyebab kelangkaan minyak goreng di dalam negeri bukanlah jumlah stok, melainkan soal penegakan hukum terkait kewajiban DMO (Domestic Market Obligations).
Ia mengemukakan, sejumlah alasan mengapa kebijakan tersebut tidak tepat antara lain karena kebijakan larangan ekspor CPO berangkat dari diagnosa persoalan yang tak akurat.
Sebagai gambaran, lanjutnya, produksi CPO kita pada tahun 2021 mencapai 46,88 juta ton, sementara konsumsi dalam negeri kita hanya 18,42 juta ton (39,29 persen). Di sisi lain, produksi minyak goreng sawit (MGS) pada tahun 2021 sebesar 20,22 juta ton, sementara kebutuhan dalam negeri kita hanya 5,07 juta ton (25,07 persen).
"Jadi, kelebihan pasokan minyak sawit yang ada selama ini memang diserap oleh pasar ekspor, tidak mungkin diserap semua pasar domestik," kata Fadli Zon.
Selain itu, ujar dia, sejak kebijakan itu dirilis pada 28 April 2022 lalu, harga tandan buah segar (TBS) milik petani sawit terus merosot harganya. Penurunan harga TBS kelapa sawit ini, menurut catatan HKTI, terjadi di hampir seluruh wilayah.
Ia mengingatkan bahwa selain harganya terus turun, para petani sawit juga kini terancam tak bisa menjual hasil panennya, karena sejumlah pabrik kelapa sawit mulai menolak membeli TBS dari petani dan lebih menggunakan hasil kebun sendiri.
"Pabrikan memang mau tak mau harus mengurangi kapasitas produksi akibat larangan ekspor ini. Kalau produknya tak bisa diserap pasar, bagaimana nasib jutaan petani sawit ini?" tanyanya.
Ia juga menyatakan bahwa kebijakan larangan ekspor berpotensi merugikan kinerja perdagangan karena akan menurunkan penerimaan devisa ekspor. Pada tahun 2021, sumbangan devisa ekspor minyak sawit mencapai US$35 miliar, atau lebih dari Rp500 triliun.
Selain devisa ekspor, lanjutnya, ekspor minyak sawit juga memberikan sumbangan kepada kas negara dalam bentuk pajak ekspor (bea keluar) dan pendapatan dari pungutan ekspor.
"Hilangnya potensi devisa yang cukup besar itu tentu bisa menekan nilai tukar rupiah. Secara makro, dampak kebijakan ini sudah bisa dilihat pada akhir bulan nanti," katanya.
Fadli berpendapat bahwa kebijakan larangan ekspor ini telah melemahkan posisi Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia, serta kebijakan larangan ekspor itu terbukti gagal menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri.
Ia menuturkan, harga minyak goreng rata-rata pada minggu kedua Mei ini masih berada di angka Rp24.500 per liter. Angka ini masih jauh lebih mahal dari tetapan harga eceran tertinggi yang dibuat pemerintah.
"Kegagalan ini hanya menguatkan kesimpulan di awal bahwa kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri selama ini memang bukan karena persoalan stok, melainkan karena lemahnya penegakan hukum," ucapnya.
"Selain gagal mencapai tujuannya, yaitu menurunkan harga minyak goreng eceran di dalam negeri, kebijakan tersebut kini terbukti malah mendatangkan lebih banyak lagi kerugian, baik terhadap neraca perdagangan, maupun terhadap petani sawit dan produsen CPO kita," kata Fadli Zon dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, kebijakan tersebut tidak berangkat dari kajian matang, serta HKTI juga telah menyampaikan kepada pemerintah bahwa larangan ekspor bukanlah solusi, karena penyebab kelangkaan minyak goreng di dalam negeri bukanlah jumlah stok, melainkan soal penegakan hukum terkait kewajiban DMO (Domestic Market Obligations).
Ia mengemukakan, sejumlah alasan mengapa kebijakan tersebut tidak tepat antara lain karena kebijakan larangan ekspor CPO berangkat dari diagnosa persoalan yang tak akurat.
Sebagai gambaran, lanjutnya, produksi CPO kita pada tahun 2021 mencapai 46,88 juta ton, sementara konsumsi dalam negeri kita hanya 18,42 juta ton (39,29 persen). Di sisi lain, produksi minyak goreng sawit (MGS) pada tahun 2021 sebesar 20,22 juta ton, sementara kebutuhan dalam negeri kita hanya 5,07 juta ton (25,07 persen).
"Jadi, kelebihan pasokan minyak sawit yang ada selama ini memang diserap oleh pasar ekspor, tidak mungkin diserap semua pasar domestik," kata Fadli Zon.
Selain itu, ujar dia, sejak kebijakan itu dirilis pada 28 April 2022 lalu, harga tandan buah segar (TBS) milik petani sawit terus merosot harganya. Penurunan harga TBS kelapa sawit ini, menurut catatan HKTI, terjadi di hampir seluruh wilayah.
Ia mengingatkan bahwa selain harganya terus turun, para petani sawit juga kini terancam tak bisa menjual hasil panennya, karena sejumlah pabrik kelapa sawit mulai menolak membeli TBS dari petani dan lebih menggunakan hasil kebun sendiri.
"Pabrikan memang mau tak mau harus mengurangi kapasitas produksi akibat larangan ekspor ini. Kalau produknya tak bisa diserap pasar, bagaimana nasib jutaan petani sawit ini?" tanyanya.
Ia juga menyatakan bahwa kebijakan larangan ekspor berpotensi merugikan kinerja perdagangan karena akan menurunkan penerimaan devisa ekspor. Pada tahun 2021, sumbangan devisa ekspor minyak sawit mencapai US$35 miliar, atau lebih dari Rp500 triliun.
Selain devisa ekspor, lanjutnya, ekspor minyak sawit juga memberikan sumbangan kepada kas negara dalam bentuk pajak ekspor (bea keluar) dan pendapatan dari pungutan ekspor.
"Hilangnya potensi devisa yang cukup besar itu tentu bisa menekan nilai tukar rupiah. Secara makro, dampak kebijakan ini sudah bisa dilihat pada akhir bulan nanti," katanya.
Fadli berpendapat bahwa kebijakan larangan ekspor ini telah melemahkan posisi Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia, serta kebijakan larangan ekspor itu terbukti gagal menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri.
Ia menuturkan, harga minyak goreng rata-rata pada minggu kedua Mei ini masih berada di angka Rp24.500 per liter. Angka ini masih jauh lebih mahal dari tetapan harga eceran tertinggi yang dibuat pemerintah.
"Kegagalan ini hanya menguatkan kesimpulan di awal bahwa kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri selama ini memang bukan karena persoalan stok, melainkan karena lemahnya penegakan hukum," ucapnya.