Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyampaikan evaluasi kepada pemerintah agar lebih serius dalam memperhatikan dan menjamin pemenuhan hak pendidikan bagi semua anak Indonesia.
"Banyaknya anak yang gagal penerimaan peserta didik baru (PPDB) karena kecurangan yang terjadi di berbagai daerah menunjukkan kegagalan sistemik dalam perlindungan hak semua anak untuk mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali. Sampai kapan kecurangan dan pelanggaran hak anak ini akan terus berulang?" kata Kornas JPPI Ubaid Matraji dalam rilis yang disiarkan olehnya di Jakarta pada Selasa.
Ia mengingatkan, di balik keceriaan peringatan hari anak nasional, ada pecah tangis yang dialami oleh siswa-siswi yang menjadi korban PPDB sehingga mereka harus mengubur mimpi untuk bisa sekolah,
"Sistem PPDB yang belum berkeadilan bagi semua, dan juga proses yang diwarnai dengan banyak kecurangan, membuahkan kekecewaan dan melukai," imbuhnya.
Akibat sistem PPDB yang belum berkeadilan, ia menilai rebutan bangku sekolah yang tidak fair telah memicu kecurangan hampir di semua daerah. Berdasarkan pemantauan JPPI, modus-modus kecurangan saat PPDB sangat banyak sekali ragamnya.
Ubaid menyebutkan 5 kecurangan terbesar yang terjadi di tahun ini adalah cuci rapor (19%), sertifikat palsu (16%), jual beli kursi (15%), permainan kuota bangku yang tersedia (11%), dan manipulasi KK (10%).
Menurutnya, cuci rapor dan pemalsuan sertifikat merupakan modus lama pada jalur prestasi yang tambah marak di tahun ini. Sementara Manipulasi KK, ia mengatakan hanya terjadi di jalur zonasi.
Adapun kasus jual beli kursi yang diwarnai dengan suap dan juga permainan kuota bangku bisa terjadi di semua jalur (prestasi, zonasi, dan afirmasi).
“Memang, sebagian anak-anak yang tidak lulus PPDB ini, ada yang berhasil melanjutkan pendidikan di sekolah swasta hingga lulus tuntas. Tapi, pada sisi lain, ternyata masih ada jutaan anak Indonesia yang harus gigit jari dan menelan pil pahit karena tidak bisa sekolah," tegasnya.
Anak-anak yang tidak sekolah akibat gagal PPDB ini ada dua model. Pertama, anak yang tidak lanjut ke jenjang lebih tinggi, atau diistilahkan "Iulus tidak melanjutkan". Semisal, mereka lulus SD, tapi kemudian tidak lanjut ke jenjang SMP.
Data tahun ajaran 2023/2024 menunjukkan jumlahnya mencapai 1.267.630 anak. Kedua, mereka lanjut ke jenjang yang lebih tinggi, namun kemudian putus sekolah tidak sampai lulus (drop out). Mereka ini jumlahnya mencapai 1.153.668 anak. (Pusdatin Kemendikbud 2023/2024).
Berdasarkan data tersebut, Ubaid memperkirakan angka anak tidak sekolah (ATS) kian membengkak di tahun ajaran 2024/2025.
Hal ini terlihat dari tiga indikator utama. Pertama, jumlah kasus kecurangan PPDB yang meningkat secara jumlah dan juga sebaran lokasi pelanggaran. Hal itu jelas semakin banyak menelan korban karena potensi putus sekolah kian terbuka lebar.
Indikator kedua ialah banyaknya CPD (calon peserta didik) yang didiskualifikasi saat proses PPDB tanpa ada pendampingan untuk mendapatkan sekolah. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka ini dibiarkan dan tidak dicarikan sekolah oleh pemerintah.
Alhasil, nasib mereka tidak jelas, apakah lanjut sekolah di swasta atau mereka memutuskan untuk tidak sekolah.
Baca juga: Bandara Lombok hadirkan 'pohon impian'
Baca juga: Kemenag rilis TelePontren Hari Anak Nasional
Baca juga: Bandara Lombok hadirkan 'pohon impian'
Baca juga: Kemenag rilis TelePontren Hari Anak Nasional
Indikator yang terakhir ialah tidak adanya jaminan sekolah dari pemerintah soal nasib anak-anak pemegang KIP (Kartu Indonesia Pintar) yang gagal PPDB. Akibat kuota yang minim, tidak sebanding dengan jumlah penerima KIP, maka banyak penerima KIP hingga kini tidak dapat jatah bangku di sekolah negeri. Jika mereka dipaksa masuk swasta, kemungkinan besar gagal bayar sejumlah tagihan, lalu putus sekolah.
Ubaid berharap agar pemerintah lebih serius dalam memperhatikan dan menjamin pemenuhan hak pendidikan bagi semua anak Indonesia, tanpa terkecuali. Kecurangan PPDB, anak putus sekolah akibat gagal PPDB adalah kesalahan yang terus diulang tiap tahun sehingga ia berharap, fakta-fakta itu dilihat sebagai evidence based oleh pemerintah untuk membuat kebijakan dan juga sistem yang dapat melindungi hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan.