Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Daerah Kepulauan harus selaras dengan arah pembangunan nasional, saat menjadi pembicara dalam Rapat Koordinasi Nasional di Jakarta, Selasa (2/12).
"Sebagai Menko Kumham Imipas, saya pastikan kebijakan hukum nasional, termasuk undang-undang pembentukan daerah kepulauan, selaras dengan pembangunan nasional, Astacita, RPJMN, serta responsif terhadap aspirasi daerah dan kebutuhan warga di lapangan,” ujar Yusril, seperti dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.
Ia mengingatkan UU Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 telah menetapkan visi Indonesia Emas yang bersatu, berdaulat, maju, dan berkelanjutan.
Visi itu dijabarkan dalam delapan misi pembangunan, 17 arah pembangunan, dan 65 indikator utama yang menekankan transformasi sosial, ekonomi, dan tata kelola, termasuk penguatan pembangunan wilayah.
Menurut Yusril, bagi daerah kepulauan terdapat tiga pesan penting Astacita, RPJPN, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang relevan dan langsung bersentuhan dengan kebutuhan daerah.
Pertama, transformasi ekonomi berbasis ekonomi biru dan maritim, termasuk hilirisasi industri kelautan. Kedua, pembangunan dari desa dan dari bawah, yang hanya bisa efektif bila karakter kepulauan diakui dalam kerangka hukum perencanaan dan penganggaran. Ketiga, penguatan reformasi hukum dan tata kelola.
Baca juga: Gubernur Sulsel wajib aktifkan kembali 2 guru ASN Luwu Utara
Oleh karenanya, kata dia, UU Daerah Kepulauan harus menjadi mekanisme penyampaian, sehingga bisa menyederhanakan, bukan menambah labirin regulasi.
"Memberi kepastian, bukan menciptakan ketidakpastian baru. Pembentukan undang-undang ini bukan agenda sektoral berdiri sendiri, melainkan bagian dari desain besar Indonesia Emas 2045,” katanya.
Maka dari itu, dia berpendapat lex specialis dibutuhkan agar visi daerah kepulauan tidak berhenti di halaman konstitusi, tetapi turun ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), hingga layanan publik di berbagai pulau terluar.
Lex specialis adalah sebuah asas hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan atau berlaku lebih utama daripada hukum yang bersifat umum.
Baca juga: Indonesia dan Portugal membuka babak baru kerja sama hukum
Menko mengkritisi selama ini regulasi cenderung menyamakan daerah kepulauan dengan daerah daratan, padahal karakter geografis dan tantangan layanannya sangat berbeda.
Karena itu, kata dia, provinsi dan kabupaten/kota kepulauan membutuhkan dasar hukum khusus terkait pendanaan, tata kelola pemerintahan, layanan publik, hingga pengelolaan sumber daya pesisir secara proporsional.
Yusril menegaskan pembahasan RUU Daerah Kepulauan tidak boleh sendiri-sendiri, tetapi harus integral dengan RUU Pemerintahan Daerah dan kerangka keuangan pusat-daerah, berjalan paralel, dan saling mengunci.
"Dengan begitu, lex specialis daerah kepulauan bukan menambah kompleksitas, melainkan menyatukan dan memperkuat regulasi yang tercecer di berbagai sektor,” ungkap Menko.
Ia juga menyoroti bahwa laut selama ini dipandang semata sebagai ruang sumber daya, perikanan, migas, dan pelayaran, bukan ruang hidup masyarakat. Perspektif itu dinilai harus berubah.
Dengan demikian, sambung Menko, UU Daerah Kepulauan harus mampu menghadirkan laut sebagai ruang layanan publik bagi warga negara yang bermukim dan hidup di atasnya.
Dirinya pun mengatakan pentingnya percepatan pembahasan RUU Daerah Kepulauan yang menjadi bagian Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Adapun rakornas tersebut bertajuk Akselerasi Pembahasan RUU Daerah Kepulauan dalam Prolegnas Prioritas 2025.
Menko menyampaikan apresiasi atas penyelenggaraan rakornas tersebut sebagai forum penting penyelarasan kebijakan pusat dan daerah. Dia juga mengajak seluruh peserta rakornas untuk terus menyuarakan kepentingan daerah kepulauan hingga ke tingkat pusat.
“Suarakan lah hal ini kepada pemerintah pusat karena tidak semua orang di pusat memahami persoalan di daerah kepulauan. Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan dapat menjadi masukan konstruktif untuk diskusi,” tutur Yusril.
