Mataram (ANTARA) - Pejabat pembuat komiten (PPK) proyek Rusun pada Satuan Non Vertikal tertentu (SNVT) Penyediaan Perumahan, Kementerian PUPR Wilayah NTB, Heru Sujarwo memberikan kesaksiannya dalam sidang korupsi dengan terdakwa Bulera.
Dalam kesaksiannya, Heru Sujarwo di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Sri Sulastri, Selasa, mengungkapkan, ada setoran lain yang masuk ke kantong terdakwa.
"Itu ada dari Pak Daeng Rp150 juta yang proyek Lotim, yang di Bima Pak Effendi Rp50 juta," kata Heru Sujarwo dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram.
Dua sumber setoran itu datang dari kontraktor pelaksana. Untuk Pak Daeng dari CV Cinta Bahagia yang merupakan pelaksana proyek Rusun NTB 1 Ponpes Ulil Albab Montong Gading, Lombok Timur, yang nilai kontraknya Rp3,48 miliar.
Kemudian dari Pak Effendi, PT Performa Trans Utama untuk pelaksana proyek Rusun NTB 3 Ponpes Al-Madinah Bolo, Kabupaten Bima dengan nilai kontrak Rp2,35 miliar.
"Itu dia sampaikan pada bulan September 2019, itu Pak Haji (Bulera) yang cerita ke saya," ujarnya.
Untuk kasus pemerasan yang terungkap dari operasi tangkap tangan ini, Heru Sujarwo sebagai bawahan terdakwa yang saat itu masih aktif menjabat Kasatker SNVT Penyediaan Perumahan, Kementerian PUPR Wilayah NTB, diminta untuk mendesak CV Jangkar Utama yang mengerjakan proyek Rusun Ponpes Modern Al-Kahfi, Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa dengan nilai kontrak Rp3,47 miliar, memberikan fee.
Seperti ucapan terdakwa Bulera soal fee dari kontraktor lain turut disampaikan kepada Kepala Cabang CV Jangkar Utama di Mataram, Eman Kadarusman. Harapannya untuk menekan agar Eman luluh karena kontraktor lain sudah lunas memberikan fee.
"Karena itu dari pimpinan makanya saya mau. Saat pertama disuruh pun saya sudah bilang saya mau fokus kerjaan saya saja," ucapnya.
Setelah disampaikan kepada Eman, terdakwa Bulera mendapatkan fee tersebut dengan jumlah Rp100 juta. Saat penyetoran itu, Bulera tertangkap tangan oleh Polresta Mataram pada 25 September 2019.
Proyek tersebut kini sudah selesai Provisional Handover (PHO) dan sedang tahap pemeliharaan. Heru mengklaim pekerjaan fisik proyek tidak ada masalah meskipun rekanan sudah dimintai uang.
Heru yang baru setahun menjadi PPK ini mengaku tidak mendapat sepeserpun uang haram itu dari Bulera. Bulera memakai uang itu alasannya untuk operasional.
"Saya tidak dapat bagian," katanya.
Perihal kesaksian Heru Sujarwo, terdakwa Bulera menyatakan menolak keterangan mantan bawahannya itu.
"Tidak benar masalah fee lima persen. Itu tidak pernah saya katakan. Kita ini minta tolong partisipasi rekanan untuk operasional," kata Bulera.
Balera juga mengatakan tidak pernah membagi-bagi uang fee itu. Uang dipakai untuk kebutuhan kantor.
"Tidak ada setoran ke atas ke bawah. Itu sekadar kalau ada tamu pergi-pergi makan bersama," ujarnya.
Dalam kesaksiannya, Heru Sujarwo di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Sri Sulastri, Selasa, mengungkapkan, ada setoran lain yang masuk ke kantong terdakwa.
"Itu ada dari Pak Daeng Rp150 juta yang proyek Lotim, yang di Bima Pak Effendi Rp50 juta," kata Heru Sujarwo dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram.
Dua sumber setoran itu datang dari kontraktor pelaksana. Untuk Pak Daeng dari CV Cinta Bahagia yang merupakan pelaksana proyek Rusun NTB 1 Ponpes Ulil Albab Montong Gading, Lombok Timur, yang nilai kontraknya Rp3,48 miliar.
Kemudian dari Pak Effendi, PT Performa Trans Utama untuk pelaksana proyek Rusun NTB 3 Ponpes Al-Madinah Bolo, Kabupaten Bima dengan nilai kontrak Rp2,35 miliar.
"Itu dia sampaikan pada bulan September 2019, itu Pak Haji (Bulera) yang cerita ke saya," ujarnya.
Untuk kasus pemerasan yang terungkap dari operasi tangkap tangan ini, Heru Sujarwo sebagai bawahan terdakwa yang saat itu masih aktif menjabat Kasatker SNVT Penyediaan Perumahan, Kementerian PUPR Wilayah NTB, diminta untuk mendesak CV Jangkar Utama yang mengerjakan proyek Rusun Ponpes Modern Al-Kahfi, Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa dengan nilai kontrak Rp3,47 miliar, memberikan fee.
Seperti ucapan terdakwa Bulera soal fee dari kontraktor lain turut disampaikan kepada Kepala Cabang CV Jangkar Utama di Mataram, Eman Kadarusman. Harapannya untuk menekan agar Eman luluh karena kontraktor lain sudah lunas memberikan fee.
"Karena itu dari pimpinan makanya saya mau. Saat pertama disuruh pun saya sudah bilang saya mau fokus kerjaan saya saja," ucapnya.
Setelah disampaikan kepada Eman, terdakwa Bulera mendapatkan fee tersebut dengan jumlah Rp100 juta. Saat penyetoran itu, Bulera tertangkap tangan oleh Polresta Mataram pada 25 September 2019.
Proyek tersebut kini sudah selesai Provisional Handover (PHO) dan sedang tahap pemeliharaan. Heru mengklaim pekerjaan fisik proyek tidak ada masalah meskipun rekanan sudah dimintai uang.
Heru yang baru setahun menjadi PPK ini mengaku tidak mendapat sepeserpun uang haram itu dari Bulera. Bulera memakai uang itu alasannya untuk operasional.
"Saya tidak dapat bagian," katanya.
Perihal kesaksian Heru Sujarwo, terdakwa Bulera menyatakan menolak keterangan mantan bawahannya itu.
"Tidak benar masalah fee lima persen. Itu tidak pernah saya katakan. Kita ini minta tolong partisipasi rekanan untuk operasional," kata Bulera.
Balera juga mengatakan tidak pernah membagi-bagi uang fee itu. Uang dipakai untuk kebutuhan kantor.
"Tidak ada setoran ke atas ke bawah. Itu sekadar kalau ada tamu pergi-pergi makan bersama," ujarnya.