Balikpapan (ANTARA) - Buchtar Tabuni, lelaki yang belum lagi genap 50 tahun asal Papua kembali menjadi narapidana politik setelah divonis 11 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan, Rabu.
Majelis hakim yang dipimpin Sutarmo didampingi anggota Agnes dan Bambang Condro menyatakan Tabuni terbukti melanggar Pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jo Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang makar.
Vonis majelis hakim ini jauh lebih rendah daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Adrianus Tamana yang minta Tabuni dihukum penjara 17 tahun.
Meski demikian, baik Tabuni maupun JPU tak menerima begitu saja vonis yang bisa dianggap ringan dibandingkan tuntutan tersebut.
"Hakim Yang Mulia terima kasih, saya pikir-pikir dulu karena alasan saya barang bukti parang panah segala macam itu ambil dari mana saya tidak tahu,” kata Tabuni.
Ia melanjutkan, "Kedua, Hakim Yang Mulia, bukan saya tidak mau 11 (bulan), (tapi) dari hati nurani saya ini saya merasa tidak bersalah," ujarnya lagi.
Majelis hakim memberikan waktu 7 hari bagi kedua pihak untuk menyatakan sikap atas vonis tersebut, apakah menerima ataukah naik banding. Sementara itu, Tabuni harus kembali ke dalam tahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Balikpapan.
Sebelumnya, majelis hakim dipimpin Sutarmo juga menyidangkan terdakwa Irwanus Uropmabin. Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) itu dikenai hukuman kurungan 10 bulan penjara. Uropmabin juga tidak menyatakan menerima atau banding. Bersama penasihat hukumnya Bernard Marbun menjawab untuk pikir-pikir dahulu.
Kemudian majelis yang dipimpin hakim Bambang Trenggono dengan anggota Bambang Setyo dan Herlina Rayes menjatuhkan pidana 10 bulan penjara kepada mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Cenderawasih Ferry Kombo, dan 11 bulan penjara kepada aktivis Agus Kossay.
Dalam putusannya untuk seluruh terpidana, majelis hakim menilai yel-yel "Papua Merdeka" dan "Referendum", yang diserukan para pendemo di Jayapura tanggal 19 dan 29 Agustus 2019 sebagai perbuatan makar.
Bendera Bintang Kejora yang dibawa para pendemo juga dijadikan majelis hakim sebagai pemberat.
Selanjutnya majelis yang dipimpin hakim Pujiono dengan anggota Agnes dan Arif Wicaksono memidanakan 10 bulan penjara Ketua BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) Alexander Gobay, dan aktivis Hengky Hilapok. Hakim Pujiono juga menjatuhkan hukuman 11 bulan penjara untuk aktivis Steven Itlay.
Seperti vonis ringan yang dijatuhkan pada Tabuni, semua vonis kepada yang lain juga lebih rendah dari tuntutan JPU yang berada pada kisaran 5-17 tahun. Agus Kossay dan Steven Itlay sebelumnya dituntut 15 tahun penjara.
Semua tahanan politik ini juga menyatakan pikir-pikir dahulu, apakah menerima atau mengajukan banding.
Sejak dimulai pukul 11.30 WITA, sidang secara online (daring) itu terus berlangsung hingga pukul 17.00 WITA. Ketujuh terdakwa yang berada di Rutan IIB Balikpapan yang lokasinya sebenarnya berseberangan dengan PN Balikpapan, maju bergantian menghadap majelis hakim yang juga terdiri dari 3 majelis.
Penangkapan dan proses hukum terhadap ketujuh orang ini terjadi usai kasus ujaran rasis terhadap sekelompok mahasiswa Papua di Surabaya, 17 Agustus 2019 lampau.
Peristiwa di Surabaya ini memicu unjuk rasa dan sebagiannya berbuntut rusuh yang menyebabkan jatuh korban jiwa.
Satu dari pengacara para tahanan politik Papua, Ni Nyoman Suratminingsih di PN Balikpapan, berkomunikasi dengan kliennya melalui video conference sebelum sidang putusan, Rabu (17/6/2020). (ANTARA/Novi Abdi)