Jakarta (ANTARA) - Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 4 bulan kurungan karena terbukti menerima suap Rp600 juta dari kader PDI-Perjuangan Harun Masiku dan Rp500 juta dari Sekretaris KPUD Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Payapo.
"Mengadili, menyatakan terdakwa 1 Wahyu Setiawan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan primair dan korupsi sebagaimana dakwaan kumulatif kedua. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda sebesar Rp150 juta yang bila tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama 4 bulan kurungan," kata ketua majelis hakim Susanti Arsi Wibawani di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut agar Wahyu divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sedangkan kader PDI Perjuangan Agustiani Tio Fridelina yang ikut menerima suap Rp600 juta dari Harun Masiku bersama-sama dengan Wahyu divonis 4 tahun penjara.
"Menyatakan terdakwa II Agustiani Tio Fridelina terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan primair. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp150 juta yang bila tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama 4 bulan kurungan," tutur hakim Susanti.
Vonis itu juga lebih rendah dibanding tuntutan JPU KPK yang meminta agar Agustiani divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan.
Putusan tersebut berdasarkan berdasarkan dakwaan pertama primer dari pasal 12 huruf a UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP sedangkan untuk Wahyu ditambah dengan dakwaan pasal 11 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Majelis hakim pun memutuskan tidak mencabut hak politik Wahyu pada masa waktu tertentu seperti tuntutan JPU KPK.
"Majelis tidak sependapat dengan jaksa penuntut umum untuk mencabut hak politik terdakwa," ucap hakim Susanti.
Namun, hakim tidak mengabulkan permohonan Wahyu untuk mendapat status "justice collaborator" (JC) atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.
"Majelis tidak dapat menetapkan terdakwa sebagai 'justice collaborator' karena tidak memenuhi persyaratan SEMA No. 4 tahun 2011," ujar hakim menambahkan.
Dalam dakwaan pertama, Wahyu dan Agustiani terbukti menerima uang sebesar 19 ribu dolar Singapura dan 38.350 dolar Singapura atau seluruhnya Rp600 juta dari kader PDIP Harun Masiku yang saat ini masih buron.
Tujuan penerimaan uang tersebut adalah agar Wahyu Setiawan dapat mengupayakan KPU menyetujui permohonan penggantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI PDI-Perjuangan dari dapil Sumatera Selatan 1, yakni Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Penerimaan pertama dilakukan pada 17 Desember 2019 sebesar 19 ribu dolar Singapura (sekitar Rp200 juta) yang diserahkan oleh supir kader PDIP Saeful Bahri yaitu Moh. Ilham Yulianto (atas perintah dari Saeful Bahri) dan diterima Agustiani Tio.
Setelah menerima uang tersebut Agustiani melaporkan ke Wahyu. Selanjutnya pada sore harinya di restoran di mal Pejaten Village, Agustiani menyerahkan uang tersebut ke Wahyu namun Wahyu hanya mengambil 15 ribu dolar Singapura sedangkan sisanya diambil Agustiani.
Penerimaan kedua pada 26 Desember 2019, sebesar 38.350 dolar Singapura (sekitar Rp400 juta) yang diserahkan langsung Saeful Bahri kepada Agustiani Tio di satu restoran di mal Pejaten Village. Setelah menerima uang tersebut, Agustiani melaporkan kepada Wahyu yang datang belakangan dan Wahyu meminta agar uang itu disimpan dulu oleh Agustiani.
Pada 8 Januari 2020, baru Wahyu meminta sebagian yaitu Rp50 juta untuk ditransfer ke rekening pribadi nya.
Sedangkan dalam dakwaan kedua, Wahyu Setiawan terbukti menerima uang sebesar Rp500 juta dari Sekretaris KPUD Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Papayo terkait proses seleksi Calon Anggota KPU Daerah Provinsi Papua Barat periode tahun 2020 - 2025 yaitu agar 3 Orang Asli Papua (OAP) lolos tes akhir menjadi anggota KPU Provinsi Papua Barat.
Uang diserahkan pada 3 Januari 2020 yaitu sebesar Rp500 juta yang berasal dari Gubernur Papua Dominggus Mandacan kepada Rosa. Rosa lalu menaruh uang itu di rekening nya dan meminta rekening Wahyu agar bisa mentransfer uang tersebut.
Uang Rp500 juta ditransfer ke rekening BCA atas nama Ika Indrayani yaitu istri sepupu Wahyu pada 7 Januari 2020. Thamrin juga melaporkan kepada Wahyu telah mentransferkan uang Rp500 juta tersebut.
Terkait perkara ini, Saeful Bahri sudah divonis 1 tahun dan 8 bulan penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 4 bulan kurungan sedangkan Harun Masiku masih berstatus buron.
"Mengadili, menyatakan terdakwa 1 Wahyu Setiawan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan primair dan korupsi sebagaimana dakwaan kumulatif kedua. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda sebesar Rp150 juta yang bila tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama 4 bulan kurungan," kata ketua majelis hakim Susanti Arsi Wibawani di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut agar Wahyu divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sedangkan kader PDI Perjuangan Agustiani Tio Fridelina yang ikut menerima suap Rp600 juta dari Harun Masiku bersama-sama dengan Wahyu divonis 4 tahun penjara.
"Menyatakan terdakwa II Agustiani Tio Fridelina terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan primair. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp150 juta yang bila tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama 4 bulan kurungan," tutur hakim Susanti.
Vonis itu juga lebih rendah dibanding tuntutan JPU KPK yang meminta agar Agustiani divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan.
Putusan tersebut berdasarkan berdasarkan dakwaan pertama primer dari pasal 12 huruf a UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP sedangkan untuk Wahyu ditambah dengan dakwaan pasal 11 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Majelis hakim pun memutuskan tidak mencabut hak politik Wahyu pada masa waktu tertentu seperti tuntutan JPU KPK.
"Majelis tidak sependapat dengan jaksa penuntut umum untuk mencabut hak politik terdakwa," ucap hakim Susanti.
Namun, hakim tidak mengabulkan permohonan Wahyu untuk mendapat status "justice collaborator" (JC) atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.
"Majelis tidak dapat menetapkan terdakwa sebagai 'justice collaborator' karena tidak memenuhi persyaratan SEMA No. 4 tahun 2011," ujar hakim menambahkan.
Dalam dakwaan pertama, Wahyu dan Agustiani terbukti menerima uang sebesar 19 ribu dolar Singapura dan 38.350 dolar Singapura atau seluruhnya Rp600 juta dari kader PDIP Harun Masiku yang saat ini masih buron.
Tujuan penerimaan uang tersebut adalah agar Wahyu Setiawan dapat mengupayakan KPU menyetujui permohonan penggantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI PDI-Perjuangan dari dapil Sumatera Selatan 1, yakni Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Penerimaan pertama dilakukan pada 17 Desember 2019 sebesar 19 ribu dolar Singapura (sekitar Rp200 juta) yang diserahkan oleh supir kader PDIP Saeful Bahri yaitu Moh. Ilham Yulianto (atas perintah dari Saeful Bahri) dan diterima Agustiani Tio.
Setelah menerima uang tersebut Agustiani melaporkan ke Wahyu. Selanjutnya pada sore harinya di restoran di mal Pejaten Village, Agustiani menyerahkan uang tersebut ke Wahyu namun Wahyu hanya mengambil 15 ribu dolar Singapura sedangkan sisanya diambil Agustiani.
Penerimaan kedua pada 26 Desember 2019, sebesar 38.350 dolar Singapura (sekitar Rp400 juta) yang diserahkan langsung Saeful Bahri kepada Agustiani Tio di satu restoran di mal Pejaten Village. Setelah menerima uang tersebut, Agustiani melaporkan kepada Wahyu yang datang belakangan dan Wahyu meminta agar uang itu disimpan dulu oleh Agustiani.
Pada 8 Januari 2020, baru Wahyu meminta sebagian yaitu Rp50 juta untuk ditransfer ke rekening pribadi nya.
Sedangkan dalam dakwaan kedua, Wahyu Setiawan terbukti menerima uang sebesar Rp500 juta dari Sekretaris KPUD Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Papayo terkait proses seleksi Calon Anggota KPU Daerah Provinsi Papua Barat periode tahun 2020 - 2025 yaitu agar 3 Orang Asli Papua (OAP) lolos tes akhir menjadi anggota KPU Provinsi Papua Barat.
Uang diserahkan pada 3 Januari 2020 yaitu sebesar Rp500 juta yang berasal dari Gubernur Papua Dominggus Mandacan kepada Rosa. Rosa lalu menaruh uang itu di rekening nya dan meminta rekening Wahyu agar bisa mentransfer uang tersebut.
Uang Rp500 juta ditransfer ke rekening BCA atas nama Ika Indrayani yaitu istri sepupu Wahyu pada 7 Januari 2020. Thamrin juga melaporkan kepada Wahyu telah mentransferkan uang Rp500 juta tersebut.
Terkait perkara ini, Saeful Bahri sudah divonis 1 tahun dan 8 bulan penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 4 bulan kurungan sedangkan Harun Masiku masih berstatus buron.