Mataram (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat melihat adanya potensi penggelembungan (mark-up) harga dalam proyek pengadaan barang dan jasa untuk penanganan COVID-19.

Asisten Bidang Intelijen (Asintel) Kejati NTB Munif di Mataram, Jumat, menerangkan, potensi tersebut bisa muncul di tengah kondisi darurat sekarang ini karena mekanisme pelaksanaan proyek tidak melalui proses lelang.

"Jadi pihak rekanan bisa ajukan hitungannya sendiri ke instansi yang bersangkutan tanpa melalui proses lelang. Disitulah, kalau tidak ada pendampingan, potensi 'mark-up' bisa muncul," kata Munif.

Biasanya, kata dia, naiknya harga barang atau jasa dalam kondisi sekarang ini karena alasan hukum ekonomi berlaku. Kebutuhan meningkat di tengah ketersediaan yang terbatas.

"Alasan itu yang sering kali digunakan, teori ekonomi," ucap dia.

Namun potensi tersebut, tegasnya, bisa dicegah. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) harus lebih selektif.

"Harus lihat harga kewajaran dan juga harus perhatikan anggaran yang tersedia, jangan sampai tidak cukup (ketersediaan anggaran), terus iya-iya saja," ujarnya.

Begitu juga dengan memberikan pendampingan saat proses pembayaran kepada pihak rekanan dengan mengedepankan fungsi pengawasan dari inspektorat atau pun BPKP.

Pendampingan itu, jelasnya, mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1/2015 tentang Percepatan Pengadaan Barang dan Jasa serta Inpres Nomor 1/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

"Jadi ketika ada penyimpangan, yang dikedepankan itu penyelesaian melalui APIP (aparat pengawasan intern pemerintah) atau inspektorat, pidana itu pilihan terakhir," katanya.

 

Pewarta : Dhimas Budi Pratama
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024