Jakarta (ANTARA) -
Sejumlah demonstrasi belakangan ini terjadi setelah DPR mengesahkan Omnibus Law UU Cipta Kerja, namun ternyata hanya sedikit publik yang mengetahui UU tersebut.
 
Temuan survei Indometer menunjukkan sedikit sekali publik yang mendengar atau mengetahui tentang omnibus law. Hanya 31,2 persen publik yang tahu, sebagian besar sebanyak 68,8 persen mengaku sama sekali tidak tahu.
 
"Hanya 30-an persen publik yang mengetahui tentang omnibus law RUU Cipta Kerja," kata Direktur Eksekutif Survei Indometer Leonard SB dalam siaran persnya, di Jakarta, Jumat.
 
Di antara yang mengetahui itu, lanjut dia, hampir semuanya menyatakan setuju dengan omnibus law.
 
"Sebanyak 90,1 persen publik setuju, hanya 8,6 persen yang terang-terangan menolak, dan sisanya 1,3 persen tidak tahu/tidak menjawab," tutur-nya.
 
Hal itu, kata Leonard, menjadi catatan kritis bagi pemerintah, di mana rumusan kebijakan yang dinilai sangat strategis kurang dikomunikasikan kepada publik.
 
"Simpang siurnya informasi menyebabkan muncul banyak tudingan hoaks terhadap isi omnibus law yang beredar," ucap Leonard menjelaskan.
 
Seperti diketahui, RUU Cipta Kerja merupakan paket pertama dari rangkaian omnibus law yang digagas Presiden Jokowi.
 
Tujuan besarnya adalah untuk menyederhanakan regulasi, di mana perubahan terhadap puluhan UU dilakukan sekaligus, tidak satu per satu.
 
Menurut dia, minim-nya sosialisasi bisa jadi karena faktor pandemik COVID-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020.

Pembahasan cenderung dilakukan tertutup oleh pemerintah dan DPR, hingga tiba-tiba disahkan pada awal Oktober 2020. Hasil survei Indometer terkait tanggapan publik tentang Omnibus Law UU Cipta Kerja. (ANTARA/HO-Survei Indometer)
 
"Di antara yang menyatakan setuju, alasan utama adalah bahwa omnibus law bisa menciptakan lapangan kerja (75,4 persen), hanya 13,4 persen tidak setuju, dan 11,3 persen tidak tahu/tidak jawab," papar Leonard.
 
Omnibus Law RUU Cipta Kerja dilatarbelakangi situasi perang dagang Amerika dan China, di mana Indonesia dinilai tidak berhasil memetik keuntungan untuk menarik investasi. Ditambah faktor pandemik, dimana banyak terjadi PHK, kebutuhan akan omnibus law jadi semakin besar.
 
Alasan lainnya adalah memudahkan perizinan (72,1 persen setuju, 15,7 persen tidak setuju dan 12,2 persen tidak tahu/tidak menjawab), memulihkan ekonomi nasional (69,4 persen setuju,19,9 persen tidak setuju dan tidak tahu 10,7 persen), dan menghidupkan UMKM (65,3 persen setuju, 23,1 persen tidak setuju dan 11,6 persen tidak tahu).
 
Lalu mendorong investasi (60,5 persen setuju, 19,0 persen tidak setuju dan 20,5 persen tidak tahu), menyederhanakan birokrasi (56,1 persen setuju, 15,7 persen tidak setuju dan 28,2 persen tidak tahu), dan menyelesaikan tumpang-tindih perundang-undangan (52,2 persen setuju, 26,4 persen tidak setuju, dan 21,4 persen tidak tahu/tidak menjawab).
 
"Di antara sebagian kecil yang menyatakan tidak setuju, alasan terbesar adalah bahwa omnibus law merupakan intervensi asing (75,0 persen), sisanya 18,8 persen tidak setuju dan 6,3 persen tidak tahu/tidak jawab," ujar Leonard.
 
Alasan lainnya memudahkan tenaga kerja China masuk (68,8 persen setuju/21,9 persen tidak setuju/9,4 persen tidak tahu atau tidak jawab), merugikan pekerja (59,4 persen/25,0 persen/15,6 persen), PHK tanpa pesangon (46,9 persen/ 15,6 persen/37,5 persen), dan libur Lebaran ditiadakan (37,5 persen/46,9 persen/15,6 persen).
 
Naiknya pemberitaan seputar omnibus law selama sepekan belakangan bisa jadi meningkatkan pengetahuan publik.
 
"Pemerintah harus bisa menjelaskan secara transparan substansi omnibus law dan mengapa RUU itu sangat dibutuhkan Indonesia," ucap Leonard.
 
Survei Indometer dilakukan pada 25 September-5 Oktober 2020 melalui sambungan telepon kepada 1.200 responden dari seluruh provinsi yang dipilih acak dari survei sebelumnya sejak 2019. Margin of error sebesar 2,98 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Pewarta : Syaiful Hakim
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024