Mataram (ANTARA) - Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat membeberkan alur pemberangkatan perempuan berinisial LS, asal Kabupaten Lombok Timur, yang menjadi korban pekerja migran Indonesia ilegal (PMI) ke Turki.
Kepala Bidang Humas Polda NTB Komisaris Besar Polisi Artanto dalam konferensi pers di Mataram, Selasa, menjelaskan alur pemberangkatannya dari proses awal korban mendapat tawaran agen dan perekrut berinisial SH dan DH.
"Perekrutannya pada tanggal 2 Juni 2021, korban saat itu dijanjikan bekerja menjadi pengasuh manula dengan gaji Rp21 juta per tiga bulan. Kontraknya dua tahun, kata Artanto.
Korban saat itu tergiur dengan tawaran keduanya. Namun terbentur dengan usia yang masih 19 tahun. Usia demikian diketahui belum memenuhi syarat untuk bekerja sebagai PMI di luar negeri.
"Jadi agar bisa berangkat, usia dalam data pribadi korban diubah oleh kedua pelaku menjadi 23 tahun," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB Kombes Pol Hari Brata.
Sukses mengubah data pribadi korban, kedua pelaku turut memberikan uang "fit" Rp3 juta. Uang tersebut untuk uang saku korban dalam perjalanan ke negara tujuan.
"Itu salah satu cara pelaku agar korban mau berangkat melalui jasa mereka," ujarnya.
Hingga akhirnya, korban berangkat menggunakan jasa kedua pelaku. Namun sebelum akhirnya bekerja di Turki, korban ditampung di wilayah Jakarta.
"Dua pekan lamanya korban di penampungan," ucap dia.
Dari penampungan di wilayah Jakarta, korban kemudian diberangkatkan ke kawasan Timur Tengah dengan paspor dan visa kategori pelancong.
"Visanya pelancong, bukan untuk bekerja," katanya.
Sesampainya di Turki, korban dipekerjakan tidak sesuai dengan yang dijanjikan sebelumnya. Korban bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Bahkan selama bekerja tiga bulan dengan sang majikan, korban kerap mendapat perilaku buruk. Gaji yang dijanjikan cair per tiga bulan tak kunjung diterima.
"Jadi karena merasa tidak sesuai, korban langsung kabur dan minta perlindungan ke KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia)," ujar dia.
Sekitar sebulan ditampung KBRI di Ankara, Turki, korban akhirnya dipulangkan ke Indonesia pada 11 September 2021.
"Dari kepulangannya ke Tanah Air, kasusnya terungkap karena korban melapor ke polisi," katanya.
Kepolisian kini sedang melakukan pengembangan dari terungkapnya peran SH dan DH. Hari memastikan arah pengembangan kepada penampung di Jakarta.
"Jadi sebenarnya sistem mereka ini kontak putus. Tetapi walaupun demikian, jaringan mereka sudah kita dapatkan dan sudah kita petakan. Upaya ini bagian dari pengembangan untuk menangkap peran lainnya," ujar Hari Brata.
Untuk status kedua pelaku SH dan DH yang ditangkap Senin (10/1) kini telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rutan Polda NTB.
Sebagai tersangka, keduanya disangkakan Pasal 10 dan atau Pasal 11 Juncto Pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO dan Pasal 81 dan atau Pasal 83 Undang-Undang RI Nomor 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Kepala Bidang Humas Polda NTB Komisaris Besar Polisi Artanto dalam konferensi pers di Mataram, Selasa, menjelaskan alur pemberangkatannya dari proses awal korban mendapat tawaran agen dan perekrut berinisial SH dan DH.
"Perekrutannya pada tanggal 2 Juni 2021, korban saat itu dijanjikan bekerja menjadi pengasuh manula dengan gaji Rp21 juta per tiga bulan. Kontraknya dua tahun, kata Artanto.
Korban saat itu tergiur dengan tawaran keduanya. Namun terbentur dengan usia yang masih 19 tahun. Usia demikian diketahui belum memenuhi syarat untuk bekerja sebagai PMI di luar negeri.
"Jadi agar bisa berangkat, usia dalam data pribadi korban diubah oleh kedua pelaku menjadi 23 tahun," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB Kombes Pol Hari Brata.
Sukses mengubah data pribadi korban, kedua pelaku turut memberikan uang "fit" Rp3 juta. Uang tersebut untuk uang saku korban dalam perjalanan ke negara tujuan.
"Itu salah satu cara pelaku agar korban mau berangkat melalui jasa mereka," ujarnya.
Hingga akhirnya, korban berangkat menggunakan jasa kedua pelaku. Namun sebelum akhirnya bekerja di Turki, korban ditampung di wilayah Jakarta.
"Dua pekan lamanya korban di penampungan," ucap dia.
Dari penampungan di wilayah Jakarta, korban kemudian diberangkatkan ke kawasan Timur Tengah dengan paspor dan visa kategori pelancong.
"Visanya pelancong, bukan untuk bekerja," katanya.
Sesampainya di Turki, korban dipekerjakan tidak sesuai dengan yang dijanjikan sebelumnya. Korban bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Bahkan selama bekerja tiga bulan dengan sang majikan, korban kerap mendapat perilaku buruk. Gaji yang dijanjikan cair per tiga bulan tak kunjung diterima.
"Jadi karena merasa tidak sesuai, korban langsung kabur dan minta perlindungan ke KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia)," ujar dia.
Sekitar sebulan ditampung KBRI di Ankara, Turki, korban akhirnya dipulangkan ke Indonesia pada 11 September 2021.
"Dari kepulangannya ke Tanah Air, kasusnya terungkap karena korban melapor ke polisi," katanya.
Kepolisian kini sedang melakukan pengembangan dari terungkapnya peran SH dan DH. Hari memastikan arah pengembangan kepada penampung di Jakarta.
"Jadi sebenarnya sistem mereka ini kontak putus. Tetapi walaupun demikian, jaringan mereka sudah kita dapatkan dan sudah kita petakan. Upaya ini bagian dari pengembangan untuk menangkap peran lainnya," ujar Hari Brata.
Untuk status kedua pelaku SH dan DH yang ditangkap Senin (10/1) kini telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rutan Polda NTB.
Sebagai tersangka, keduanya disangkakan Pasal 10 dan atau Pasal 11 Juncto Pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO dan Pasal 81 dan atau Pasal 83 Undang-Undang RI Nomor 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.