Mataram (ANTARA) - Jaksa Penuntut Umum menuntut agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram, Nusa Tenggara Barat, menjatuhkan pidana kepada terdakwa korupsi penjualan aset milik Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, Mansyur dan Lalu Jabir Zanela, dengan hukuman tujuh tahun penjara.
"Dengan ini menuntut agar Majelis Hakim menyatakan kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dengan menjatuhkan pidana hukuman selama tujuh tahun penjara," kata Ketua tim Jaksa Penuntut Umum Ihwan Suyadi membacakan tuntutan kedua terdakwa di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Mataram, Senin.
Jaksa Penuntut Umum juga menuntut Majelis Hakim membebankan kedua terdakwa untuk membayar denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan.
Kedua terdakwa dalam tuntutannya juga diminta untuk membayar uang pengganti kerugian negara senilai Rp790 juta.
"Apabila tidak diganti dalam jangka satu tahun setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda akan disita dan dilelang. Apabila tidak juga harta benda mampu menutupi nilai ganti rugi, maka terdakwa wajib menggantinya dengan pidana penjara selama tiga tahun dan enam bulan penjara," ucapnya.
Dalam tuntutan tersebut, jaksa menyatakan perbuatan kedua terdakwa telah memenuhi unsur pidana sesuai dakwaan Pasal 2 Juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20/2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dari rangkaian tuntutannya, Suyadi menyampaikan bahwa pada tahun 2012 Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat melakukan pembebasan lahan seluas 16 hektare. Lahan yang berada di Blok Nanga Bebol itu rencananya akan dibangun pasar dan terminal.
Mengetahui hal tersebut, Lalu Jabir dari kalangan masyarakat pemilik lahan membuat sandiwara dengan Mansyur yang ketika itu berperan sebagai Pejabat Sementara Kepala Desa Benete.
Sandiwara keduanya berjalan dalam pertemuan yang menggambarkan Lalu Jabir naik pitam kepada Mansyur karena keberatan perihal adanya kegiatan pembebasan lahan untuk pembangunan pasar dan terminal tersebut.
"Jadi itu hanya pura-pura. Padahal, lahan yang dimiliki Jabir tidak terkena dalam pembebasan lahan yang dilakukan pemerintah," ujarnya.
Dengan modus naik pitam, Lalu Jabir meminta Mansyur untuk menerbitkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk lahan miliknya.
Alhasil, pembuatan SKPT itu tanpa pengukuran sehingga dalam penerbitannya lahan milik Lalu Jabir masuk dalam areal pembebasan lahan dari pemerintah.
"Kemudian tanggal penerbitan SKPT itu dibuat mundur dari tanggal pembebasan lahan yang dilakukan pemerintah, supaya seakan-akan SKPT atas nama Jabir lebih dahulu terbit dibanding pembebasan lahan," ucap dia.
Dengan terbitnya SKPT tersebut, Lalu Jabir menjual dan menghibahkan lahannya ke beberapa orang, seperti, atas nama Rafiah yang membeli lahan seluas 5 are dengan harga Rp10 juta.
Kemudian atas nama Annajmussyaqib seluas 5 are dengan harga beli Rp15 juta, Abdul Muin seluas 8,7 are sebagai penerima hibah, Yandri Kinandra seluas 7 are dengan harga Rp7 juta, Daeng Masdar 1 hektare dengan harga Rp35 juta, Huswatun Hasanah 1 hektare dengan harga beli Rp30 juta, Sarifudin seluas 2,5 are sebagai penerima hibah.
Sudirman seluas dua are membeli Rp5 juta, Mulyadi 1,6 hektare membeli dengan harga Rp18 juta, Suhadi seluas 2 are dengan harga beli Rp6 juta, I Wayan Sudarsana seluas 5 are dengan harga beli Rp4 juta.
"Dari semua hasil penjualan lahan itu, Lalu Jabir menikmatinya bersama Mansyur," kata Suyadi.
Selanjutnya, untuk sisa dari lahan yang belum dijual diproses sebagai hak milik melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Kantor BPN Sumbawa Barat.
"Tetapi, setelah diukur ternyata lahan tersebut masuk ke lahan milik pemerintah yang sudah dibebaskan. Dari dasar itu mencuat dan ditangani pihak kejaksaan," ucapnya.
"Dengan ini menuntut agar Majelis Hakim menyatakan kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dengan menjatuhkan pidana hukuman selama tujuh tahun penjara," kata Ketua tim Jaksa Penuntut Umum Ihwan Suyadi membacakan tuntutan kedua terdakwa di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Mataram, Senin.
Jaksa Penuntut Umum juga menuntut Majelis Hakim membebankan kedua terdakwa untuk membayar denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan.
Kedua terdakwa dalam tuntutannya juga diminta untuk membayar uang pengganti kerugian negara senilai Rp790 juta.
"Apabila tidak diganti dalam jangka satu tahun setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda akan disita dan dilelang. Apabila tidak juga harta benda mampu menutupi nilai ganti rugi, maka terdakwa wajib menggantinya dengan pidana penjara selama tiga tahun dan enam bulan penjara," ucapnya.
Dalam tuntutan tersebut, jaksa menyatakan perbuatan kedua terdakwa telah memenuhi unsur pidana sesuai dakwaan Pasal 2 Juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20/2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dari rangkaian tuntutannya, Suyadi menyampaikan bahwa pada tahun 2012 Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat melakukan pembebasan lahan seluas 16 hektare. Lahan yang berada di Blok Nanga Bebol itu rencananya akan dibangun pasar dan terminal.
Mengetahui hal tersebut, Lalu Jabir dari kalangan masyarakat pemilik lahan membuat sandiwara dengan Mansyur yang ketika itu berperan sebagai Pejabat Sementara Kepala Desa Benete.
Sandiwara keduanya berjalan dalam pertemuan yang menggambarkan Lalu Jabir naik pitam kepada Mansyur karena keberatan perihal adanya kegiatan pembebasan lahan untuk pembangunan pasar dan terminal tersebut.
"Jadi itu hanya pura-pura. Padahal, lahan yang dimiliki Jabir tidak terkena dalam pembebasan lahan yang dilakukan pemerintah," ujarnya.
Dengan modus naik pitam, Lalu Jabir meminta Mansyur untuk menerbitkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk lahan miliknya.
Alhasil, pembuatan SKPT itu tanpa pengukuran sehingga dalam penerbitannya lahan milik Lalu Jabir masuk dalam areal pembebasan lahan dari pemerintah.
"Kemudian tanggal penerbitan SKPT itu dibuat mundur dari tanggal pembebasan lahan yang dilakukan pemerintah, supaya seakan-akan SKPT atas nama Jabir lebih dahulu terbit dibanding pembebasan lahan," ucap dia.
Dengan terbitnya SKPT tersebut, Lalu Jabir menjual dan menghibahkan lahannya ke beberapa orang, seperti, atas nama Rafiah yang membeli lahan seluas 5 are dengan harga Rp10 juta.
Kemudian atas nama Annajmussyaqib seluas 5 are dengan harga beli Rp15 juta, Abdul Muin seluas 8,7 are sebagai penerima hibah, Yandri Kinandra seluas 7 are dengan harga Rp7 juta, Daeng Masdar 1 hektare dengan harga Rp35 juta, Huswatun Hasanah 1 hektare dengan harga beli Rp30 juta, Sarifudin seluas 2,5 are sebagai penerima hibah.
Sudirman seluas dua are membeli Rp5 juta, Mulyadi 1,6 hektare membeli dengan harga Rp18 juta, Suhadi seluas 2 are dengan harga beli Rp6 juta, I Wayan Sudarsana seluas 5 are dengan harga beli Rp4 juta.
"Dari semua hasil penjualan lahan itu, Lalu Jabir menikmatinya bersama Mansyur," kata Suyadi.
Selanjutnya, untuk sisa dari lahan yang belum dijual diproses sebagai hak milik melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Kantor BPN Sumbawa Barat.
"Tetapi, setelah diukur ternyata lahan tersebut masuk ke lahan milik pemerintah yang sudah dibebaskan. Dari dasar itu mencuat dan ditangani pihak kejaksaan," ucapnya.