Mataram (ANTARA) - Jaksa penuntut umum menahan Mantan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, berinisial SH, yang menjadi satu dari empat tersangka kasus korupsi proyek penambahan ruang operasi dan ICU.
"Penahanan SH kami titipkan di Lapas Kelas IIA Mataram," kata Juru Bicara Kejati NTB Efrien Saputra di Mataram, Senin.
Kegiatan penahanan SH dalam kapasitasnya sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) proyek, jelasnya, merupakan bagian dari pelaksanaan tahap dua kasus, yakni penyerahan tersangka dan barang bukti ke jaksa penuntut umum usai berkas perkara dinyatakan lengkap oleh jaksa peneliti.
Lebih lanjut untuk tiga tersangka lainnya, dipastikan Efrien sudah menjalani penahanan lebih dahulu. Namun demikian, penahanan tiga tersangka lainnya dititipkan di Rutan Polda NTB.
Untuk mereka yang menjalani penahanan tersebut adalah pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek, berinisial EB, direktur konsultan pengawas dari CV Cipta Pandu Utama berinisial DD, dan direktur perusahaan pelaksana proyek dari PT Apro Megatama, asal Makassar, Sulawesi Selatan, berinisial DT.
"Jadi sekarang tinggal proses menyiapkan surat dakwaan untuk persidangan," ujar dia.
Dengan adanya penahanan ini, kuasa hukum SH, Herman Sorenggana, menyampaikan bahwa pihaknya kini mengajukan surat penangguhan penahanan atau pengalihan status penahanan.
Pertimbangannya, kata Herman, dengan menyatakan bahwa tersangka SH telah menunjukkan sikap kooperatif dalam kasus tersebut.
"Buktinya dengan kegiatan hari ini, tahap dua ini, kami mendampingi klien kami yang menghadirkan diri ke hadapan penyidik, bukan karena dipanggil," ujar Herman.
Dia mengakui, dua kali panggilan sebelumnya tersangka SH tidak hadir. Namun ketidakhadiran tersebut, menurutnya, punya alasan yang nantinya perlu menjadi bahan penyidik membuat keputusan.
"Kan klien kami ini menjalankan tugas negara, dia jadi kasatgas di Pulau Sumbawa, itu yang jadi alasan tidak hadir panggilan tahap dua kemarin," ucap dia.
Proyek penambahan ruang operasi dan ICU ini terlaksana di tahun anggaran 2019. Proyek ini menelan dana APBD senilai Rp6,4 miliar.
Dugaan korupsi muncul karena diduga pekerjaan molor hingga menimbulkan denda. Hal itu pun mengakibatkan adanya potensi kerugian negara Rp1,75 juta. Nilai tersebut muncul berdasarkan hasil audit Inspektorat Lombok Utara.
"Penahanan SH kami titipkan di Lapas Kelas IIA Mataram," kata Juru Bicara Kejati NTB Efrien Saputra di Mataram, Senin.
Kegiatan penahanan SH dalam kapasitasnya sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) proyek, jelasnya, merupakan bagian dari pelaksanaan tahap dua kasus, yakni penyerahan tersangka dan barang bukti ke jaksa penuntut umum usai berkas perkara dinyatakan lengkap oleh jaksa peneliti.
Lebih lanjut untuk tiga tersangka lainnya, dipastikan Efrien sudah menjalani penahanan lebih dahulu. Namun demikian, penahanan tiga tersangka lainnya dititipkan di Rutan Polda NTB.
Untuk mereka yang menjalani penahanan tersebut adalah pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek, berinisial EB, direktur konsultan pengawas dari CV Cipta Pandu Utama berinisial DD, dan direktur perusahaan pelaksana proyek dari PT Apro Megatama, asal Makassar, Sulawesi Selatan, berinisial DT.
"Jadi sekarang tinggal proses menyiapkan surat dakwaan untuk persidangan," ujar dia.
Dengan adanya penahanan ini, kuasa hukum SH, Herman Sorenggana, menyampaikan bahwa pihaknya kini mengajukan surat penangguhan penahanan atau pengalihan status penahanan.
Pertimbangannya, kata Herman, dengan menyatakan bahwa tersangka SH telah menunjukkan sikap kooperatif dalam kasus tersebut.
"Buktinya dengan kegiatan hari ini, tahap dua ini, kami mendampingi klien kami yang menghadirkan diri ke hadapan penyidik, bukan karena dipanggil," ujar Herman.
Dia mengakui, dua kali panggilan sebelumnya tersangka SH tidak hadir. Namun ketidakhadiran tersebut, menurutnya, punya alasan yang nantinya perlu menjadi bahan penyidik membuat keputusan.
"Kan klien kami ini menjalankan tugas negara, dia jadi kasatgas di Pulau Sumbawa, itu yang jadi alasan tidak hadir panggilan tahap dua kemarin," ucap dia.
Proyek penambahan ruang operasi dan ICU ini terlaksana di tahun anggaran 2019. Proyek ini menelan dana APBD senilai Rp6,4 miliar.
Dugaan korupsi muncul karena diduga pekerjaan molor hingga menimbulkan denda. Hal itu pun mengakibatkan adanya potensi kerugian negara Rp1,75 juta. Nilai tersebut muncul berdasarkan hasil audit Inspektorat Lombok Utara.