Mataram (ANTARA) - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, memutuskan menolak permohonan penangguhan penahanan Sri Sudarjo, terdakwa penyebar hoaks bantuan tiga ekor sapi senilai Rp100 juta dari dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
"Dengan ini menyatakan terdakwa tetap berada dalam tahanan," kata Ketua Majelis Hakim Putu Gede Hariadi usai sidang lanjutan dengan agenda pembacaan eksepsi terdakwa Sri Sudarjo di Pengadilan Negeri Mataram, Selasa.
Adapun pertimbangan hakim tidak mengabulkan permohonan penangguhan penahanan Sri Sudarjo karena kepentingan pemeriksaan di persidangan.
Selain itu, pertimbangannya melihat ancaman pidana di atas lima tahun penjara dan adanya dukungan bukti terdakwa bisa melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.
Dasar pertimbangan itu pun disampaikan sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berdasarkan pasal 31 KUHAP.
"Untuk itu majelis hakim tidak dapat menerima penangguhan penahanan terdakwa," ujarnya.
Namun usai mendengarkan keputusan hakim yang demikian, sejumlah pengunjung sidang melakukan aksi protes hingga membuat aparat kepolisian yang berjaga mengevakuasi dan mengamankan majelis hakim ke ruangan berbeda.
Khawatir akan terjadi kericuhan, pihak kepolisian mengamankan aksi protes pengunjung sidang tersebut dan mempersilahkan mereka untuk menunggu di luar ruang persidangan.
Terkait ditolaknya penangguhan penahanan terhadap Sri Sudarjo, penasihat hukumnya, RA Yahunza Ammad enggan berkomentar. "Nanti saja ya," kata dia.
Terdakwa Sri Sudarjo merupakan Ketua Koperasi Serba Usaha (KSU) Rinjani. Dalam perkara penyebaran hoaks dana PEN tersebut, penyidik siber telah mencantumkan alat bukti dari konten "YouTube" diduga milik Sri Sudarjo berjudul "Konferensi Pers KSU Rinjani".
Dalam konten tersebut, Sri Sudarjo diduga menuding pemerintah menyembunyikan penyaluran dana PEN untuk masyarakat.
Hal demikian yang kemudian menjadi motif Sri Sudarjo menyebutkan program penyaluran KSU Rinjani yang menjanjikan bantuan tiga ekor sapi dengan anggaran Rp100 juta untuk setiap anggota, terhambat.
Unggahan itu yang diduga menimbulkan reaksi dari sejumlah anggota KSU Rinjani, melakukan unjuk rasa ke Pemprov NTB, menuntut agar program tiga ekor sapi dari dana PEN itu segera disalurkan.
Dalam persoalan tersebut, penyidik memastikan bahwa tim siber telah meminta klarifikasi kepada pihak pemerintah. Klarifikasi itu diperoleh sejak kasusnya masih ditangani di tahap penyelidikan.
Dari klarifikasi, pemerintah telah menyatakan tidak ada program atau anggaran demikian, baik dari pusat maupun daerah.
Pernyataan klarifikasi dari pemerintah itu pun telah dikuatkan dengan pemeriksaan data dan program yang sedang maupun akan berjalan.
Selain bukti dari klarifikasi, penetapan Sri Sudarjo sebagai tersangka juga dikuatkan dengan keterangan ahli di bidang bahasa maupun informasi dan transaksi elektronik.
Karena itu dalam berkas perkara, Sri Sudarjo disangkakan Pasal 14 ayat 1, 2 dan Pasal 15 Undang-Undang RI Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, yang mengatur tentang sangkaan pidana penyebar berita bohong.
Selain sangkaan tersebut, penyidik kepolisian juga menerapkan Pasal 28 ayat 2 Juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Untuk sangkaan pasal ini masih berkaitan dengan penyebaran berita bohong yang dapat menimbulkan kebencian atau permusuhan di tengah masyarakat.
Ancaman pidana dari dugaan itu tertera dalam Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan hukuman paling berat 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Ancaman pidana juga disangkakan kepada SS perihal pendistribusian informasi yang bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik, dalam hal ini tudingan ke pemerintah yang menyembunyikan penyaluran dana PEN untuk masyarakat.
Sangkaan tersebut sesuai dengan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Untuk ancaman pidana, hukuman paling berat 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, sesuai Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
"Dengan ini menyatakan terdakwa tetap berada dalam tahanan," kata Ketua Majelis Hakim Putu Gede Hariadi usai sidang lanjutan dengan agenda pembacaan eksepsi terdakwa Sri Sudarjo di Pengadilan Negeri Mataram, Selasa.
Adapun pertimbangan hakim tidak mengabulkan permohonan penangguhan penahanan Sri Sudarjo karena kepentingan pemeriksaan di persidangan.
Selain itu, pertimbangannya melihat ancaman pidana di atas lima tahun penjara dan adanya dukungan bukti terdakwa bisa melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.
Dasar pertimbangan itu pun disampaikan sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berdasarkan pasal 31 KUHAP.
"Untuk itu majelis hakim tidak dapat menerima penangguhan penahanan terdakwa," ujarnya.
Namun usai mendengarkan keputusan hakim yang demikian, sejumlah pengunjung sidang melakukan aksi protes hingga membuat aparat kepolisian yang berjaga mengevakuasi dan mengamankan majelis hakim ke ruangan berbeda.
Khawatir akan terjadi kericuhan, pihak kepolisian mengamankan aksi protes pengunjung sidang tersebut dan mempersilahkan mereka untuk menunggu di luar ruang persidangan.
Terkait ditolaknya penangguhan penahanan terhadap Sri Sudarjo, penasihat hukumnya, RA Yahunza Ammad enggan berkomentar. "Nanti saja ya," kata dia.
Terdakwa Sri Sudarjo merupakan Ketua Koperasi Serba Usaha (KSU) Rinjani. Dalam perkara penyebaran hoaks dana PEN tersebut, penyidik siber telah mencantumkan alat bukti dari konten "YouTube" diduga milik Sri Sudarjo berjudul "Konferensi Pers KSU Rinjani".
Dalam konten tersebut, Sri Sudarjo diduga menuding pemerintah menyembunyikan penyaluran dana PEN untuk masyarakat.
Hal demikian yang kemudian menjadi motif Sri Sudarjo menyebutkan program penyaluran KSU Rinjani yang menjanjikan bantuan tiga ekor sapi dengan anggaran Rp100 juta untuk setiap anggota, terhambat.
Unggahan itu yang diduga menimbulkan reaksi dari sejumlah anggota KSU Rinjani, melakukan unjuk rasa ke Pemprov NTB, menuntut agar program tiga ekor sapi dari dana PEN itu segera disalurkan.
Dalam persoalan tersebut, penyidik memastikan bahwa tim siber telah meminta klarifikasi kepada pihak pemerintah. Klarifikasi itu diperoleh sejak kasusnya masih ditangani di tahap penyelidikan.
Dari klarifikasi, pemerintah telah menyatakan tidak ada program atau anggaran demikian, baik dari pusat maupun daerah.
Pernyataan klarifikasi dari pemerintah itu pun telah dikuatkan dengan pemeriksaan data dan program yang sedang maupun akan berjalan.
Selain bukti dari klarifikasi, penetapan Sri Sudarjo sebagai tersangka juga dikuatkan dengan keterangan ahli di bidang bahasa maupun informasi dan transaksi elektronik.
Karena itu dalam berkas perkara, Sri Sudarjo disangkakan Pasal 14 ayat 1, 2 dan Pasal 15 Undang-Undang RI Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, yang mengatur tentang sangkaan pidana penyebar berita bohong.
Selain sangkaan tersebut, penyidik kepolisian juga menerapkan Pasal 28 ayat 2 Juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Untuk sangkaan pasal ini masih berkaitan dengan penyebaran berita bohong yang dapat menimbulkan kebencian atau permusuhan di tengah masyarakat.
Ancaman pidana dari dugaan itu tertera dalam Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan hukuman paling berat 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Ancaman pidana juga disangkakan kepada SS perihal pendistribusian informasi yang bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik, dalam hal ini tudingan ke pemerintah yang menyembunyikan penyaluran dana PEN untuk masyarakat.
Sangkaan tersebut sesuai dengan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Untuk ancaman pidana, hukuman paling berat 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, sesuai Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.