Sidang kasus perundungan PPDS, Saksi sebut tindak pidana dipaksakan

id Sidang kasus perundungan PPDS,Saksi ,tindak pidana dipaksakan

Sidang kasus perundungan PPDS, Saksi sebut tindak pidana dipaksakan

Persidangan dugaan perundungan dr Aulia Risma Lestari berlanjut. (ANTARA/HO-ilham)

Mataram (ANTARA) - Persidangan dugaan perundungan dr Aulia Risma Lestari berlanjut. Dalam persidangan terungkap bahwa tidak terjadi pungutan liar dan dugaan kasus dipaksakan. Dugaan kasus dipaksakan itu disebutkan saksi dr. Yan Wisnu Prajoko, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Ketua Review Pengadilan Independen M. Roem melaporkan jalannya persidangan. Menurut Roem, dalam persidangan hari ini, saksi Auditor Ahli dari Inspektorat Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Galih Ari Sudewo menyatakan bahwa penarikan dana dari mahasiswa untuk mahasiswa bukan merupakan pungutan liar.

"Hal itu dikarena pada pasal 11 Peraturan Mendikbud No 25 tahun 2020 menyatakan bahwa di luar Uang Kuliah Tunggal (UKT), ada komponen lain yang bisa ditarik termasuk pada butir a sampai d diantaranya biaya pribadi mahasiswa dan kegiatan pembelajaran dan penelitian yang dilaksanakan secara mandiri oleh mahasiswa," ujarnya dalam keterangan tertulisnya.

Bahkan, lanjutnya, auditor kemendikbud ini juga mempertegas bahwa pembayaran ini, selain tidak dikumpulkan oleh Institusi Undip juga dana ini diinisiasi oleh mahasiswa. "Uang ternyata tidak disetorkan pada institusi Undip, jadi bila penarikan dana dilakukan atau ditarik oleh mahasiswa untuk kegiatan mahasiswa dapat dikatakan uang itu dari mahasiswa dan untuk mahasiswa, maka ini tidak dapat disebutkan sebagai pungutan liar," urainya.

Dalam persidangan tersebut juga menghadirkan Dekan Fakultas Kedokteran UNDIP, Dr Yan Wisnu Prajoko. Dalam Tanya jawab dengan jaksa penuntut umum (JPU), hakim dan penasehat hukum terungkap bahwa saksi sebagai dekan mengetahui bahwa mahasiswa PPDS itu bekerja di RS Karyadi hingga tengah malam. Bahkan sampai pagi, tanpa digaji dan tidak mendapat makan malam sekalipun. "Namun saksi mengaku tidak tahu bahwa banyak PPDS yang juga terpaksa membelikan alkes seperti ET atau alat instubasi sulit untuk pasien-pasien yang butuh tindakan cepat dan terancam kematian karena RS Karyadi tidak menyiapkan alkes tersebut," urainya.

Baca juga: Sidang perkara perundungan PPDS temukan bekas kapas alkohol dr. Aulia

Yang menarik dari kesaksian sang dekan dalam persidangan hari ini adalah saksi merasa bahwa dosen yang tidak bersalah menjadi tumbal dalam peristiwa ini. “Seharusnya saya yang dimintai tanggung jawab itu bukan dosen yang tidak bersalah” ujarnya menirukan pernyataan Dokter Yan di persidangan.

M. Roem SH.MH mengatakan, Dokter Yan juga mengakui bahwa tata kelola keuangan yang bercampur antara dana mahasiswa dan dana dari fakultas merupak kegagalan dalam kegiatan administrasi yang sebetulnya berada dibawah tanggung jawab Dekan. Sejak menjadi Dekan pada tahun 2024, hal-hal seperti ini sedang dibenahi. "Saksi dr Yan juga merasa penggunaan pasal penggelapan dan pemerasan kepada dosennya, hal itu tidak tepat dan terlalu dicari-cari," ujarnya.

Sementara Kuasa Hukum Terdakwa Moh. Soleh menuturkan, saksi lain yang dihadirkan JPU adalah Direktur Layanan Operasional RS Karyadi, Dr Mahabara Yang Putera. Ada pertanyaan menarik dari kuasa hukum yang sukar dijawab Direktur RS Karyadi. "Misalnya saja, mengapa RS Karyadi tidak menyiapkan makan malam untuk PPDS padahal mereka bekerja sampai malam hari bahkan ada yang sampai pagi," terangnya.

Baca juga: Sidang dugaan perundungan PPDS di Semarang buka fakta baru

Dalam sidang, saksi Direktur RS Karyadi ini juga menyatakan bahwa semua alkes sudah disiapkan oleh rumah sakit, padahal saat dikonfirmasi dalam persidangan ini sebelumnya terungkap bahwa banyak PPDS mengaku terpaksa harus membelikan alkes seperti ET atau alat intubasi untuk pasien dalam rangka membantu penyelamatan pasien, karena tidak disediakan rumah sakit. "Kok bisa berbeda begitu keterangan saksi dengan keterangan beberapa orang PPDS , padahal alat-alat ini cukup mahal" tanya kuasa hukum tersebut.

Dengan pertanyaan-pertanyaan itu Direktur RS Karyadi dengan santai menjawab tidak tahu. " jawaban Ini disesalkan para penasehat hukum karena tidak mendukung upaya mencari kebenaran materil perkara," urainya.

Baca juga: DPR siap memanggil Kemenkes hingga RSHS terkait kasus dokter PPDS

Dalam persidangan perkara ini seorang Hakim anggota sempat memberikan komentar untuk memberikan penghargaan sebagai pahlawan pada almarhumah residen anestesi yang meninggal dunia. Pernyataan ini menyusul pernyataan-pernyataan lain yang sering dilontrakan hakim pada sidang-sidang sebelumnya oleh sebagian pemerhati pengadilan menunjukkan indikasi pemihakan yang tidak seharusnya dilakukan seorang Hakim.

"Itulah sebabnya Pemerhati Independensi Pengadilan mengusulkan pada Badan Pengawas MA dan Komisi Judisial untuk memperhatikan persidangan karena sejak proses penyidikan sudah tampak tanda- adanya campurtangan instansi tertentu," ujar Sirait, kuasa hukum terdakwa yang lain.

Sirait meminta agar majelis hakim menghadirkan beberapa saksi fakta yang tidak dihadirkan jaksa padahal keterangan mereka sangat strategis dan menentukan. Namun, mejalis hakim menolak permintaan ini. ()

Pewarta :
Editor: Abdul Hakim
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.