Mataram (ANTARA) - Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat Komisaris Besar Polisi Artanto memastikan proses hukum 10 mahasiswa diduga sebagai provokator unjuk rasa dengan blokir jalan selama empat hari di wilayah Monta Selatan, tetap berlanjut.
"Sesuai dengan hasil gelar perkara, proses hukum dari kasus ini disimpulkan tetap berlanjut," kata Artanto di Mataram, Kamis.
Ia pun memastikan kasus yang menetapkan 10 mahasiswa sebagai tersangka tersebut tetap berada di bawah penanganan Penyidik Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Bima.
"Untuk soal penahanan di sini (Rutan Polda NTB), itu sifatnya hanya dititipkan saja. Penanganan, tetap di polres. Kami (Polda NTB) hanya lakukan asistensi dan pengawasan," ujarnya.
Perihal kabar Gubernur NTB Zulkieflimansyah meminta Bupati Bima memberi atensi dengan mengajukan penangguhan penahanan untuk 10 mahasiswa tersebut, Artanto mengaku bahwa penyidik belum ada menerima hal demikian.
"Sampai saat ini belum ada permohonan (penangguhan penahanan). Kalau pun ada, nantinya akan dikaji oleh penyidik sesuai aturan hukum," ucap dia.
Sepuluh mahasiswa yang ditahan di Rutan Polda NTB ini berasal dari sejumlah perguruan tinggi. Mereka antara lain berinisial AR (20), IT (20), dan ARH (20), dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Bima.
Selanjutnya dari Politeknik Mataram, berinisial AK (21), dan SU (21). Kemudian ada dari Universitas Muhammadiyah Bima, berinisial SA (25), dan MA (22).
Tiga lainnya, MU (23) dari Universitas Mataram, MR (19) dari Universitas Muslim Indonesia Makassar, dan AAM (22) dari Universitas Islam Makassar.
Dalam penanganan di Polres Bima, mereka telah ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 192 KUHP Juncto Pasal 63 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 38/2004 tentang Jalan, dengan ancaman hukuman sembilan tahun sampai 15 tahun penjara dan denda Rp2 Miliar.
Mereka dalam aksinya yang dimulai sejak Senin (9/5) hingga Kamis (12/5), menuntut pemerintah untuk melakukan perbaikan infrastruktur jalan di Wilayah Monta Selatan, Kabupaten Bima.
"Sesuai dengan hasil gelar perkara, proses hukum dari kasus ini disimpulkan tetap berlanjut," kata Artanto di Mataram, Kamis.
Ia pun memastikan kasus yang menetapkan 10 mahasiswa sebagai tersangka tersebut tetap berada di bawah penanganan Penyidik Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Bima.
"Untuk soal penahanan di sini (Rutan Polda NTB), itu sifatnya hanya dititipkan saja. Penanganan, tetap di polres. Kami (Polda NTB) hanya lakukan asistensi dan pengawasan," ujarnya.
Perihal kabar Gubernur NTB Zulkieflimansyah meminta Bupati Bima memberi atensi dengan mengajukan penangguhan penahanan untuk 10 mahasiswa tersebut, Artanto mengaku bahwa penyidik belum ada menerima hal demikian.
"Sampai saat ini belum ada permohonan (penangguhan penahanan). Kalau pun ada, nantinya akan dikaji oleh penyidik sesuai aturan hukum," ucap dia.
Sepuluh mahasiswa yang ditahan di Rutan Polda NTB ini berasal dari sejumlah perguruan tinggi. Mereka antara lain berinisial AR (20), IT (20), dan ARH (20), dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Bima.
Selanjutnya dari Politeknik Mataram, berinisial AK (21), dan SU (21). Kemudian ada dari Universitas Muhammadiyah Bima, berinisial SA (25), dan MA (22).
Tiga lainnya, MU (23) dari Universitas Mataram, MR (19) dari Universitas Muslim Indonesia Makassar, dan AAM (22) dari Universitas Islam Makassar.
Dalam penanganan di Polres Bima, mereka telah ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 192 KUHP Juncto Pasal 63 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 38/2004 tentang Jalan, dengan ancaman hukuman sembilan tahun sampai 15 tahun penjara dan denda Rp2 Miliar.
Mereka dalam aksinya yang dimulai sejak Senin (9/5) hingga Kamis (12/5), menuntut pemerintah untuk melakukan perbaikan infrastruktur jalan di Wilayah Monta Selatan, Kabupaten Bima.