Mataram, 26/11 (ANTARA) - Pengurus Majelis Ulama Indonesia Nusa Tenggara Barat menyarankan pemerintah agar memperketat pengawasan penyelenggaraan ibadah haji khusus atau non-kuota, agar tidak lagi mencuat masalah di musim haji berikutnya.
"Pengawasannya harus diperketat karena hampir setiap tahun pemberangkatan haji khusus bermasalah. Di NTB dua tahun terakhir ini juga bermasalah," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nusa Tenggara Barat (NTB) Prof Syaeful Muslim, di Mataram, Sabtu.
Pada musim haji tahun ini, sebanyak 86 orang calon jamaah haji non-kuota dari Sumbawa dan Sumbawa Barat, NTB, batal berangkat setelah tiga hari ditelantarkan biro perjalanan haji dan umrah, PT Alharomain Wisata Haji.
Diduga, Biro perjalanan haji dan umrah itu terlambat mengurus administrasi para calon jemaah haji non-kuota itu sehingga belum juga berangkat ke Tanah Suci Madinah dan Mekkah, sampai 29 Oktober 2011.
Para jamaah calon haji itu tak satu pun mengantongi paspor dan visa haji, meskipun sudah bertolak dari kediamannya masing-masing di Pulau Sumbawa menuju Mataram, untuk selanjutnya diberangkatkan ke Arab Saudi.
Sebagian diantara mereka, juga mengalami hal serupa pada musim haji 2010, meskipun telah Rp50 juta sebagai Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
Syaeful selaku mantan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi NTB itu mengatakan, ia telah menyampaikan usul-sarannya terkait pengawasan ketat terhadap penyelenggaraan haji khusus/non-kuota itu kepada tim Komisi VIII DPR yang berkunjung ke wilayah NTB, dan berdialog dengan Pemprov NTB dan pihak terkait lainnya, pada Jumat (25/11).
Ia berharap tim Komisi VIII DPR itu membawa aspirasi tersebut dalam pembahasan perubahan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
"Sudah disampaikan kepada Komisi VIII DPR, tinggal mereka bahas di pusat. Pada intinya, penyelenggaraan ibadah haji non-kuota itu harus terawasi ketat, karena sudah banyak yang menjadi korban," ujar mantan Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram itu.
Menurut Syaeful, banyak biro perjalanan ibadah haji dan umrah yang memanfaatkan kuota haji khusus yang kemudian disebut-sebut sebagai haji non-kuota, yang diberikan pemerintah Arab Saudi pada setiap musim haji.
Seperti diketahui, tahun ini Pemerintah Indonesia memperoleh kuota haji sebanyak 221.000 orang, termasuk 20.000 untuk jamaah haji khusus.
BPIH untuk calon jamaah haji khusus itu mencapai Rp50 juta per orang lebih mahal dari haji reguler, namun sedikit lebih murah dari Ongkos Naik Haji (ONH) Plus.
"Karena banyak biro perjalanan yang menangani haji khusus atau non-kuota itu maka ada yang terlambat mengurus administrasi seperti visa haji sehingga jadinya terlantar di mana-mana. Itu masalahnya," ujarnya.
Selain itu, kebijakan warna paspor haji yang sama dengan warna paspor lainnya untuk keberangkatan ke luar negeri, ikut memberi kemudahan kepada biro perjalanan haji dan umrah untuk terlibat mengurus calon jamaah haji non-kuota itu.
Seringkali calon jamaah haji non-kuota diminta mengurus sendiri paspor haji, sementara biro perjalanan mengurus administrasi lainnya seperti visa haji.
"Akibatnya, selalu saja mencuat masalah. Makanya, perlu ada pembedaan warna paspor seperti yang lalu agar pemberangkatan calon jamaah haji lebih tertib dan tidak merugikan para calon haji yang sebagiannya berusia lanjut," ujarnya. (*)
"Pengawasannya harus diperketat karena hampir setiap tahun pemberangkatan haji khusus bermasalah. Di NTB dua tahun terakhir ini juga bermasalah," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nusa Tenggara Barat (NTB) Prof Syaeful Muslim, di Mataram, Sabtu.
Pada musim haji tahun ini, sebanyak 86 orang calon jamaah haji non-kuota dari Sumbawa dan Sumbawa Barat, NTB, batal berangkat setelah tiga hari ditelantarkan biro perjalanan haji dan umrah, PT Alharomain Wisata Haji.
Diduga, Biro perjalanan haji dan umrah itu terlambat mengurus administrasi para calon jemaah haji non-kuota itu sehingga belum juga berangkat ke Tanah Suci Madinah dan Mekkah, sampai 29 Oktober 2011.
Para jamaah calon haji itu tak satu pun mengantongi paspor dan visa haji, meskipun sudah bertolak dari kediamannya masing-masing di Pulau Sumbawa menuju Mataram, untuk selanjutnya diberangkatkan ke Arab Saudi.
Sebagian diantara mereka, juga mengalami hal serupa pada musim haji 2010, meskipun telah Rp50 juta sebagai Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
Syaeful selaku mantan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi NTB itu mengatakan, ia telah menyampaikan usul-sarannya terkait pengawasan ketat terhadap penyelenggaraan haji khusus/non-kuota itu kepada tim Komisi VIII DPR yang berkunjung ke wilayah NTB, dan berdialog dengan Pemprov NTB dan pihak terkait lainnya, pada Jumat (25/11).
Ia berharap tim Komisi VIII DPR itu membawa aspirasi tersebut dalam pembahasan perubahan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
"Sudah disampaikan kepada Komisi VIII DPR, tinggal mereka bahas di pusat. Pada intinya, penyelenggaraan ibadah haji non-kuota itu harus terawasi ketat, karena sudah banyak yang menjadi korban," ujar mantan Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram itu.
Menurut Syaeful, banyak biro perjalanan ibadah haji dan umrah yang memanfaatkan kuota haji khusus yang kemudian disebut-sebut sebagai haji non-kuota, yang diberikan pemerintah Arab Saudi pada setiap musim haji.
Seperti diketahui, tahun ini Pemerintah Indonesia memperoleh kuota haji sebanyak 221.000 orang, termasuk 20.000 untuk jamaah haji khusus.
BPIH untuk calon jamaah haji khusus itu mencapai Rp50 juta per orang lebih mahal dari haji reguler, namun sedikit lebih murah dari Ongkos Naik Haji (ONH) Plus.
"Karena banyak biro perjalanan yang menangani haji khusus atau non-kuota itu maka ada yang terlambat mengurus administrasi seperti visa haji sehingga jadinya terlantar di mana-mana. Itu masalahnya," ujarnya.
Selain itu, kebijakan warna paspor haji yang sama dengan warna paspor lainnya untuk keberangkatan ke luar negeri, ikut memberi kemudahan kepada biro perjalanan haji dan umrah untuk terlibat mengurus calon jamaah haji non-kuota itu.
Seringkali calon jamaah haji non-kuota diminta mengurus sendiri paspor haji, sementara biro perjalanan mengurus administrasi lainnya seperti visa haji.
"Akibatnya, selalu saja mencuat masalah. Makanya, perlu ada pembedaan warna paspor seperti yang lalu agar pemberangkatan calon jamaah haji lebih tertib dan tidak merugikan para calon haji yang sebagiannya berusia lanjut," ujarnya. (*)