Mataram (ANTARA) - Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat Sungarpin memastikan penyidikan kasus korupsi dalam pengelolaan aset pemerintah provinsi berupa lahan seluas 65 hektare di kawasan wisata Gili Trawangan, masih berjalan.
"Itu masih berjalan, tetapi untuk detail-nya ke pidsus (pidana khusus) saja," kata Sungarpin di Mataram, Rabu.
Meskipun Sungarpin mengaku tidak mengetahui secara lengkap perihal perkembangan penyidikan kasus ini, namun ia meyakinkan bahwa pihaknya tidak akan gegabah dalam menangani suatu perkara, apalagi dalam menetapkan tersangka.
"Kalau kami tentu melihat dari unsurnya, terpenuhi tidak, kerugian negara ada tidak, itu dia," ujarnya.
Kejati NTB pada 9 Februari 2022 menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejati NTB Nomor: Print-02/N.2/Fd.1/02/2022.
Dasar pertimbangan Kejati NTB meningkatkan perkara tersebut dilihat dari hasil gelar perkara yang menyatakan adanya perbuatan melanggar hukum.
Tindak lanjut dari hasil gelar tersebut, penyidik telah menyusun agenda pemeriksaan saksi, ahli, hingga upaya penelusuran potensi kerugian negara.
Namun sejak adanya pergantian jabatan di lingkup Kejati NTB, diantaranya Kepala Kejati NTB berganti dari Tomo Sitepu ke Sungarpin dan Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB dari Gunawan Wibisono ke Ely Rahmawati, penyidikan kasus ini terkesan jalan di tempat.
Belum ada kabar yang berkaitan dengan upaya kejaksaan melakukan pemeriksaan seperti agenda di awal kasus ini naik ke tahap penyidikan.
Penanganan kasus yang berasal dari laporan masyarakat ini mengarah pada dugaan pungutan liar (pungli) perihal pemanfaatan hak pengelolaan lahan (HPL) milik Pemprov NTB yang menjadi kesepakatan dalam kontrak produksi dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI).
Persoalan itu diduga muncul sejak tahun 1998, ketika PT GTI mengantongi kesepakatan kontrak produksi dari Pemprov NTB untuk mengelola lahan.
Dalam periode tersebut muncul dugaan sejumlah pihak yang mengambil keuntungan pribadi. Dugaan itu berkaitan dengan sewa lahan secara masif dan ilegal.
Lebih lanjut, kondisi terkini di areal seluas 65 hektare kawasan Gili Trawangan, sudah terdapat bangunan permanen yang sebagian besar menjadi ladang bisnis masyarakat penunjang pariwisata.
Pemetaan situasi di atas lahan tersebut juga telah dikantongi pihak kejaksaan. Hal itu didapatkan ketika Kejati NTB menjalankan tugas sebagai jaksa pengacara negara (JPN) untuk menyelamatkan dan menertibkan aset di kawasan wisata tersebut.
Upaya penyelamatan aset ini pun sebelumnya diharapkan dapat mendongkrak pendapatan asli daerah yang diprediksi mampu memberikan keuntungan hingga triliunan rupiah.
"Itu masih berjalan, tetapi untuk detail-nya ke pidsus (pidana khusus) saja," kata Sungarpin di Mataram, Rabu.
Meskipun Sungarpin mengaku tidak mengetahui secara lengkap perihal perkembangan penyidikan kasus ini, namun ia meyakinkan bahwa pihaknya tidak akan gegabah dalam menangani suatu perkara, apalagi dalam menetapkan tersangka.
"Kalau kami tentu melihat dari unsurnya, terpenuhi tidak, kerugian negara ada tidak, itu dia," ujarnya.
Kejati NTB pada 9 Februari 2022 menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejati NTB Nomor: Print-02/N.2/Fd.1/02/2022.
Dasar pertimbangan Kejati NTB meningkatkan perkara tersebut dilihat dari hasil gelar perkara yang menyatakan adanya perbuatan melanggar hukum.
Tindak lanjut dari hasil gelar tersebut, penyidik telah menyusun agenda pemeriksaan saksi, ahli, hingga upaya penelusuran potensi kerugian negara.
Namun sejak adanya pergantian jabatan di lingkup Kejati NTB, diantaranya Kepala Kejati NTB berganti dari Tomo Sitepu ke Sungarpin dan Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB dari Gunawan Wibisono ke Ely Rahmawati, penyidikan kasus ini terkesan jalan di tempat.
Belum ada kabar yang berkaitan dengan upaya kejaksaan melakukan pemeriksaan seperti agenda di awal kasus ini naik ke tahap penyidikan.
Penanganan kasus yang berasal dari laporan masyarakat ini mengarah pada dugaan pungutan liar (pungli) perihal pemanfaatan hak pengelolaan lahan (HPL) milik Pemprov NTB yang menjadi kesepakatan dalam kontrak produksi dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI).
Persoalan itu diduga muncul sejak tahun 1998, ketika PT GTI mengantongi kesepakatan kontrak produksi dari Pemprov NTB untuk mengelola lahan.
Dalam periode tersebut muncul dugaan sejumlah pihak yang mengambil keuntungan pribadi. Dugaan itu berkaitan dengan sewa lahan secara masif dan ilegal.
Lebih lanjut, kondisi terkini di areal seluas 65 hektare kawasan Gili Trawangan, sudah terdapat bangunan permanen yang sebagian besar menjadi ladang bisnis masyarakat penunjang pariwisata.
Pemetaan situasi di atas lahan tersebut juga telah dikantongi pihak kejaksaan. Hal itu didapatkan ketika Kejati NTB menjalankan tugas sebagai jaksa pengacara negara (JPN) untuk menyelamatkan dan menertibkan aset di kawasan wisata tersebut.
Upaya penyelamatan aset ini pun sebelumnya diharapkan dapat mendongkrak pendapatan asli daerah yang diprediksi mampu memberikan keuntungan hingga triliunan rupiah.